Manusia selama berabad-abad lamanya hingga saat ini masih tetap mempercayai tentang mukjizat-mukjizat yang diberikan Tuhan kepada para Nabi-Nya. Mukjizat tersebut sebagai bukti bentuk eksistensi Nabi sebagai wakil Tuhan sehingga Nabi bertindak sebagai penyelamat manusia dan membimbing manusia kepada jalan yang benar. Namun seiring berjalannya waktu manusia mengalami banyak perubahan, sebab dunia modern saat ini tentu manusia telah berfikir secara rasional sehingga jika ada hal-hal yang sifatnya irrasional sulit untuk diterima.
Pengetahuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami banyak perkembangan dan peningkatan, bagi manusia modern yang telah mengenal dan menggunakan alat-alat dari hasil ilmu pengetahuan dan teknologi tentu tidak mempercayai adanya mukjizat-mukjizat yang mana hal tersebut dianggap bertentangan dengan hukum alam. Dalam hal ini pula, Rudolf Bultmann sebagai seorang teolog berusaha memikirkan secara serius bagaimana sebuah kitab suci dari zaman prailmiyah dapat diterima oleh manusia modern sehingga ia menawarkan suatu konsep demitologisasi agar manusia dapat percaya apa yang ada dalam kitab suci.
Rudolf Karl Bultmann adalah seorang teolog protestan berkebangsaan Jerman yang selama tiga dasawarsa menjabat profesor studi Perjanjian Baru di Universitas Marburg-Jerman. Ia lahir di Wiefelstede, Oldenburg-Jerman, pada tanggal 20 Agustus 1884 sebagai anak pertama dari keluarga dengan latar belakang religius yang kuat, dari pasangan pendeta Evangelist-Lutheran. Ayahnya bernama Arthur Bultmann dan ibunya Helena. Setelah menyelesaikan pendidikan di Gymnasium Oldenberg (1895-1903), Bultmann belajar teologi pada universitas di Tϋbingen, Berlin, dan kemudian menyelesaikan studi doktoralnya di Marburg. Ia menikah dengan Helene Feldmann dan dikaruniai tiga orang putri. Mulai tahun 1921, ia menjadi guru besar di Marburg dengan spesialisasi bidang Perjanjian Baru dan sejarah Kristen kuno.[1]
Rudolf Bultmann belajar di universitas Marburg di bawah bimbingan Wilhelm Herman yang teologinya menjadi dasar dari seluruh pemikiran teologi Bultmann. Ia memilih bidang Perjanjian Baru karena terpengaruh oleh Johannes Weiss yang juga berasal dari Universitas Marburg. Pada tahun 1908. Rudolf Bultmann menjadi guru besar di Marburg, dimana dia berkenalan dengan Wilhelm Heitmuller yang mendorongnya untuk melakukan spesialisasi di bidang History of Religions School. Secara khusus, ia kemudian mempelajari tulisan-tulisan dari Perjanjian Baru kemudian diperbandingkan dengan catatan-catatan tentang agama-agama yang ada pada zaman gereja mula-mulanya, antara lain dengan Hellenistic Gnosticism, Jewish Apokalyptic, dan agama seorang misionaris di Afrika sedangkan neneknya adalah seorang pendeta dari pietis. Sebagai pendeta ayahnya terbuka terhadap perkembangan ilmu saat itu, sehingga “iklim liberal” sedikit banyak telah disediakan di dalam keluarga Bultmann.
Agama rahasia atau misteri religions. Pada tahun 1916 ia diangkat menjadi guru besar luar biasa di Breslau. Empat tahun kemudian, tahun 1920, ia pindah ke Giessen sebagai pengganti Professor Wilhelm Bousset dan pada tahun 1921 ia pindah ke Marburg sebagai guru besar di bidang Perjanjian Baru dan Sejarah Agama Kristen Kuno.[2] Bultmann meninggal-dunia pada tahun 1976. Sebagai seorang teolog besar abad 20 Bultmann dikenal luas karena mencetuskan ide demitologisasi Perjanjian Baru sehingga Injil Kristen dapat dimungkinkan dipisahkan dari simbol-simbol mitologis.
Secara etimologi, eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dan dari kata eks yang berarti keluar dan sistensi yang diturunkan dari kata kerja sisto berarti berdiri. Eksistensialisme sendiri adalah gerakan filsafat yang menentang esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia.[3] Dengan demikian eksistensi berarti manusia berdiri sebagai diri sendiri yang sadar bahwa dirinya ada, sehingga dengan begitu manusia secara individual menjadi sadar bahwa dia ada dan bebas.
Demitologisasi adalah tafsiran terhadap bagian-bagian Alkitab yang dianggap mitologis dengan menekankan kebenaran-kebenaran eksistensial yang terkandung dalam mitos itu. Menurut Bultmann, demitologisasi adalah metode penafsiran yang mencoba menyingkapkan rahasia di belakang konsep-konsep mitos yang dipakai dalam Perjanjian Baru.[4] Bultmann mengatakan bahwa Alkitab penuh dengan mitos karena itulah diperlukan suatu metode penafsiran untuk menyingkapkan rahasia di belakang konsep mitos itu. Mitos yang dimaksud adalah pemakaian bahasa, simbol dan gambaran yang ada di dunia ini untuk menjelaskan tentang keberadaan dan perbuatan-perbuatan Allah.[5]
Manusia modern menemukan kesulitan untuk mengerti pemberitaan perjanjian baru. Perjanjian baru mempunyai pandangan dunia yang sama sekali berbeda dengan pandangan modern tentang dunia (manusia abad 19-20). Manusia modern tidak dapat menerima lagi bahwa realitas ini dibagi atas 3 bagian, alam atas (surga), alam tengah (bumi tempat manusia dan tempat pertemuan kekuasaan ilahi dan demonis), alam bawah (neraka). Manusia modern tidak percaya kepada roh-roh dan kuasa-kuasa yang penuh kekuatan lagi. Untuk mengkomunikasikan Injil secara efektif kepada manusia modern, kita harus mengupas mitos dari Perjanjian Baru dan mencoba untuk menyingkap tujuan mula-mula di balik mitos tersebut. Proses penyingkapan ini disebut demitologisasi.
Dalam penjelasan Bultmann tentang Demitologisasi adalah sebuah metode interpretasi atas perjanjian baru yang mencoba menemukan kembali makna yang lebih dalam dibalik konsepsi-konsepsi mitologis. bukan berarti menyangkal mitologinya. Demitologisasi ini berarti penafsiran secara eksistensial, yaitu menurut pengertian manusia terhadap keberadaannya sendiri, dan dengan istilah-istilah yang dapat dipahami oleh orang modern itu sendiri. Tujuannya adalah bukan untuk menyingkirkan pernyataan-pernyataan mitologis, namun untuk menafsirkan pernyataan-pernyataan tersebut. Demitologisasi merupakan hermeneutik.
Ada dua pokok gagasan penting yang perlu kita perhatikan. Demitologisasi bukan sebuah ajaran, melainkan sebuah metode hermeneutik. Kedua, tujuan metode ini bukan untuk menghilangkan mitos, melainkan untuk memahaminya. Di sini Bultmann menyumbang sesuatu yang baru di dalam hermeneutik modern. Baginya memahami bukan sekedar seni atau metode ilmiah, melainkan lebih spesifik lagi sebagai demitologisasi.[6]
Demitologi Bultmann adalah suatu hermeneutik bukan untuk menyingkirkan mitos sebagai fiksi, melainkan menafsirkan mitos sehingga makna eksistensialnya dapat dipahami oleh pembaca modern. Demitologisasi adalah sebuah hermeneutik untuk memahami eksistensial mitos. Dengan Demitologisasi Bultmann berupaya untuk menjembatani kesenjangan antara bahasa mistis teks sakral dan pemahaman rasional pembaca modern.
Demitologisasi menurut Bultmann: menyatakan intensi otentik mitos untuk berbicara tentang realitas otentik manusia. Mitos memiliki dasar pada eksistensi manusia, maka harus di interpretasi agar dapat dipahami oleh manusia modern. Ada beberapa hal yang perlu diingat, bila ingin menunjukkan Demitologisasi sebagai bentuk pemahaman. Pertama, mitos sudah merupakan sebuah bentuk pemahaman. Kedua, memahami makna eksistensial mitos tidak sama dengan memahami fakta sejarah, seperti tanggal peristiwa, tempat kejadian, dan seterusnya. Ketiga, demitologi menuntut tidak hanya pemahaman mengenai mitos, melainkan juga mengenai cara berada orang modern. Keempat, karena memahami teks sakral tidak sama dengan memahami data historis, memahami teks sakral adalah dengan cara memahami makna eksistensialnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermeneutik Scheleir Marcheir sampai Derrida, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.
Darojat Ariyanto, M. “Rudolf Bultmann: Demitologisasi dalam Perjanjian Baru”, Jurnal Suhuf 20, 2008.
Susabda, Yakub B. Seri Pengantar Teologi Modern, Jakarta: LRII, Vol. 1, 1990.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Hadiwijoyo, Harun. Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-GM, 1999. Abineno, J.I. CH. Rudolf Bultmann dan Teologinya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
[1] J.I. CH. Abineno, Rudolf Bultmann dan Teologinya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989, hlm. 3.
[2] M. Darojat Ariyanto, “Rudolf Bulmann: Demitologisasi dalam Perjanjian Baru”, Jurnal Suhuf 20 (2008), hlm. 178.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 185.
[4] Yakub B. Susabda, Seri Pengantar Teologi Modern, Jakarta: LRII, 1990, vol. 1, hlm. 124-125.
[5] Harun Hadiwijoyo, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm. 70.
[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Scheleir Marcheir sampai Derrida (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015), hlm. 144.