Dekontruksi sebagai Hermeneutika Radikal (Derrida)

Hermeneutika dipakai sebagai alat untuk menafsirkan berbagai bidang kajian keilmuan, melihat sejarah kelahiran dan perkembanganya, harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks, khususnya kitab suci.[1] Hermeneutika sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian kitab suci, keberadaan hermeneutika pun tidak bisa dielakkan dari dunia kitab suci al-Quran.

Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan yang lainya. Dari sini, seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan al-Quran. Karena hal ini merupakan perintah al-Quran sendiri, sebagaimana pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat yang lain, harus di tampung. Ini adalah konsekuensi logis perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.[2]

Di sini yang menarik sekali tentang  penafsiran teks yang disampaikan oleh tokoh hermeneutika, yaitu Derrida. Bagaimana kemudian Derrida menjelaskan dekontruksi sebagai praktek hermeneutika radikal. Radikalitas hermeneutika Derrida terdapat dalam suatu cara baca yang menangguhkan setiap upaya untuk menstabilkan suatu tatanan makna, entah dengan merehabilitas makna primordial teks ataupun dengan menyusun suatu hierarki makna dari antinomi-antinomibiner.[3] Pola pikir biner sesungguhnya bukanlah sebuah persoalan apabila dua hal yang beroposisi ada dalam keadaan setara. Persoalan muncul ketika satu term menguasai term yang lain. Ketika satu term dalam oposisi itu diunggulkan dari term yang lain, bahkan menjadi sumber makna bagi term yang lain. Misalnya, kata perempuan memperoleh makna hanya bila dikaitkan dengan laki-laki, sedangkan kata laki-laki seolah-olah punya maknanya sendiri. Inilah yang disebut Derrida, hierarki yang brutal.[4] Dalam konteks paradigma oposisi biner, dekonstruksi hadir tidak untuk membalikkan tatanan oposisi, yang didominasi menjadi yang mendominasi ataupun mendamaikan keduanya.

Cara yang ditawarkan oleh Derrida adalah  memahami makna teks yang tidak boleh terus mempertahankan makna yang lama (sudah ada) dan menentukan makna yang kemudian mengagungkannya. Tetapi harus diperoleh suatu kebenaran yang sungguh-sungguh baru dan menggambarkannya. Kebenaran ini diperoleh tanpa menyingkirkan kebenaran-kebenaran atau makna-makna yang lalu (yang telah mendahuluinya). Setelah kebenaran ini ditemukan, kita tidak boleh secara legitimasi menyatakan bahwa itulah kebenarannya yang sesungguhnya atau absolut.

“Teks” dapat diinterpretasikan sampai tidak terhingga, olehnya kita tidak perlu mengambil kesimpulan karena bagi Derrida kebenaran tidak harus tunggal, absolut dan universal. Makna yang diperoleh bukan tiruan atau dari pemikiran penulis sendiri atau pembacanya, tetapi sungguh baru. Makna diperoleh dari teks itu sesuatu yang tidak terpikirkan bahkan oleh penulisnya. Kebenaran atau makna yang diperoleh bukanlah satu-satunya kebenaran, tetapi ada kesempatan untuk ditemukan kebenaran baru, sampai seterusnya.

Berhermeneutik bersama Derrida membuka pandangan kita untuk terus melakukan perjalanan menemukan makna dan tidak membiarkan teks dan makna terjebak di horizon hitam-putih yang hierarkis, melainkan membawa teks dan makna memasuki horizon bebas dominasi untuk melahirkan makna baru secara terus menerus. Setiap pembaca teks masuk dalam horizon keberagaman makna, toleran terhadap keberagaman itu dan merayakannya dengan cara menghargai segala kemungkinan makna yang ada.[5]

Derrida memandang bahwa setiap teks memiliki potensi untuk mendekonstruksi dirinya sendiri, sehingga teks selalu dapat dibaca dan dipahami dengan cara yang berbeda. Oleh karenanya tidak ada tafsir yang dominan yang sifatnya otoritatif. Kita tidak boleh mengklaim bahwa penafsiran kita adalah yang paling benar. Klaim kebenaran harus selalu ditangguhkan (difference), kita harus dengan rendah hati mau mengakui bahwa yang bisa kita temukan dan ketahui hanyalah jejak-jejak (trace) dari kebenaran, dan bukan kebenaran itu sendiri, oleh karenanya setiap teks memiliki potensi untuk terus menerus dimaknai di dalam konteks yang berbeda-beda (iterabilitas). Tiga teori di atas (difference, trace, dan iterabilitas) bermuara pada satu kesimpulan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat pasti dari pemahaman kita atas sebuah teks.[6]

Jadi, teks yang diinterpretasikan oleh Derrida kemudian kita kaitkan dengan penafsiran al-Quran, maka al-Quran itu akan sesuai dengan perkembangan  zaman nya. Karena al-Quran harus ṣhֿalih li kulli zamֿan wa makֿan (sesuai dengan zaman dan tempatnya). Apabila melihat asumsi-asumsi dasar Derrida di atas yaitu perhatiannya tidak hanya terhadap makna yang tidak ada penghujung nya, namun juga konteks, sebenarnya beberapa perangkat dan variabel ulumֿul qurֿan klasik yang telah menunjukan orientasi ke arah tersebut. Tema-tema seperti Makkֿi-Madanֿi, asbֿabu an-nuzֿul, juga naskh mansֿukh, secara langsung atau tidak menunjukan perhatian adanya perbedaan konteks yang mempengaruhi pemaknaan tersebut.

Daftar Pustaka

A, Sumarwan. “Membongkar yang Lama, Menenun yang Baru,” Jurnal Basis, Vol. 03 No. 1      

            Tahun 2005.

Darmawan, Dadang. “Kajian Hermeneutika terhadap Fenomena dan Teks Agama (Al-Qur’an dan             Hadis Nabi),” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 02 No. 1 Tahun 2016.

Faiz, Fahruddin. Hermeneutika al-Quran: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: Kalimedia, 2015.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida.           Yogyakarta: PT Kanisus, 2015. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan            Masyarakat. Bandung: Mizan, 2007.


[1] Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Quran: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: Kalimedia, 2015, hal. 12.

[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2007, hal. 115.

[3] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derida, Yogyakarta: PT. Kanisus, 2015, hal. 307.

[4] Sumarwan A, “Membongkar yang Lama, Menenun yang Baru,” dalam Jurnal Basis,  Vol. 03 No.1 Tahun 2005, hal. 19.

[5] Sumarwan  A, “Membongkar yang Lama, Menenun yang Baru,” hal. 20.

[6] Dadang Darmawan, “Kajian Hermeneutika terhadap Fenomena dan Teks Agama (al-Quran dan Hadis Nabi),” dalam Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 02 No. 1 Tahun 2016,  hal. 21.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *