Respon Al-Qur’an Terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk kekerasan yang banyak terjadi pada perempuan. Komnas Perempuan mencatat, pada tahun 2019 terjadi 11.105 kasus atau 75% dari seluruh kasus kekerasan yang terlapor. Kemudian di tahun 2020 tercatat 6.480 kasus atau 79% dari keseluruhan kasus kekerasan yang ada.

KDRT didefinisikan sebagai tiap-tiap tindakan kekerasan berbasis gender (gender based violence) yang berpeluang atau mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan dalam bentuk fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di tempat umum (dalam masyarakat) atau dalam kehidupan pribadi.

Bacaan Lainnya

Akhir-akhir ini jagat sosial media dihebohkan dengan dugaan normalisasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang disampaikan oleh Artis ternama Oki Setiana Dewi. Dalam ceramahanya yang viral di berbagai platform sosmed, ia menceritakan kisah nyata adanya seorang perempuan Arab yang pernah ditampar oleh suaminya. Perempuan itu kemudian menutupi aib suaminya (yang telah memukulnya). Karena tindakannya itu, menurut Oki, doa-doa terbaiknya langsung dikabulkan oleh Allah.

Netizen Indonesia menganggap ceramah seorang tokoh publik tersebut menormalisasikan KDRT. Narasi perempuan yang ditampar suaminya tidak melapor, bahkan kepada ayahnya sendiri demi menutup aib suami, diduga ia mengafirmasi kekerasan di dalam rumah tangga. Lalu, seperti apa respon Al-Qur’an terhadap kekerasan dalam rumah tangga? Perlukah sebenarnya seorang istri menuntut keadilan ketika diperlakukan secara kasar fisik oleh suaminya?

Allah berfirman dalam Surah An-Nisa 4/: 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ‌ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ‌ ؕ وَالّٰتِىۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَهُنَّ فَعِظُوۡهُنَّ وَاهۡجُرُوۡهُنَّ فِى الۡمَضَاجِعِ وَاضۡرِبُوۡهُنَّ‌ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَيۡهِنَّ سَبِيۡلًا‌ ؕاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيۡرًا‏

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.

Kaitannya dengan KDRT dalam ayat di atas ialah redaksi yang berbunyi “wadhribuhunn” yang dalam terjemahan Tafsir Kementerian Agama 2002 dimaknai dengan “(kalau perlu) pukullah mereka”. Penambahan kata ‘kalau perlu’ mengindikasikan adanya pukulan yang tidak mutlak untuk dilakukan. Artinya, boleh memukul hanya jika dianggap perlu. Namun di sisi lain, adanya pembatasan ini menimbulkan dilema pemaknaan yang jelas dari apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an dalam ayat ini.

Ibn Katsir memberikan batasan terkait dengan pukulan yang dimaksud dalam ayat di atas. Istri yang tidak berubah setelah diberikan nasihat dan pisah ranjang atau mendiamkannya maka bagi suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak keras sehingga tidak meninggalkan bekas. Pun demikian pandangan Ar-Razi, menurutnya, memukul istri tidak boleh dilakukan selama dua proses yang pertama (menasihati dan pisah ranjang) belum dilakukan secara maksimal. Pemukulan yang dibolehkan pun tidak sampai menimbulkan bekas, dan dengan niat mendidik, tanpa melukai.

Lebih lanjut lagi, Al-Razi memberikan kriteria memukul yang diperbolehkan, yaitu: tidak menyebabkan luka dan membahayakan, tidak terus memukul di satu bagian badan saja, tidak memukul wajah, tidak sampai 20 kali pukulan, menggunakan handuk yang terlipat atau tangan, tidak menggunakan cambuk atau tongkat. Dalam arti lain, memukul yang dimaksudkan Al-Razi adalah memukul yang seringan mungkin.

Pandangan yang berbeda disampaikan para Cendekiawan kontemporer. Fazlur Rahman memandang pemaknaan memukul pada ayat tersebut tidak terpisahkan dari kondisi Madinah saat ayat ini turun. Pada saat itu umat Islam di Madinah terpukul setelah perang Uhud. Keadaan saat itu rentan dengan perpecahan. Kasusnya terjadi pada perempuan Madinah bernama Habibah Ibn Zaid yang ditampar oleh suaminya setelah ia tidak taat kepada suaminya. Artinya, memukul tanpa adanya balasan hanya dibenarkan dalam konteks masyarakat yang rentan dengan perpecahan.

Meskipun demikian, Habibah Ibn Zaid bersama ayahnya melaporkan kepada Rasulullah tentang perlakuan suaminya yang telah memukul. Ia tidak menutup aib suaminya. Selain untuk mendapatkan keadilan, dan bukan karena ia takut, tetapi untuk mengetahui apa balasan yang seharusnya didapat suami atas pemukulan kepadanya.

Sedangkan Muhamad Shahrur, berpandangan bahwa kata “wadribuhunna” tidak diartikan sebagai pukulan. Kata daraba tidak bisa diartikan sebagai pemukulan fisik jika tidak dibarengi dengan objek tubuh yang fisikal seperti tangan, kaki, atau kepala. Kata daraba jika diikuti dengan seseorang seperti perempuan dalam Surah An-Nisa 4/: 34 maka tidak dapat diartikan kecuali dengan arti “ambil langkah tegas dalam kasus ketiadaktaatan itu” setelah usaha nasihat dan pisah tempat tidur tidak membuahkan hasil. Langkah ini ditempuh sebelum upaya penyelesaian melalui perceraian.

Dari penjelasan dan argumentasi para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an tidak membenarkan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Perintah Allah agar seorang suami memukul istrinya ketika ia nusyuz setelah dinasehati dan pisah ranjang (secara maksimal keduanya) dalam batasan-batasan yang ketat; tidak melukai, dengan alas tangan seperti handuk, dan harus dengan niat mendidik. Kata ‘pukullah’ pada ayat di atas juga tidak harus dan tidak selalu dimaknai pemukulan secara fisik. Seperti pandangan Shahrur, ketika perintah memukul tidak disertai penyebutan fisik tertentu, maka maknanya adalah memperingatinya secara tegas.

Wallahu A’lam.[]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *