Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

http://pku.unida.gontor.ac.id/

Biografi Nasr Hamid Abu Zaid

Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Desa Qahafah, Tanta, Mesir pada tanggal 19 Juli 1943, mulai dikenal luas kalangan akademisi dan cendikiawan muslim sekitar sepuluh tahun terakhir. Di usia delapan tahun Nasr Hamid Abu Zeid telah hafal Al-quran (30 Juz). Diluar pendidikan formalnya ia menulis kitab Mafhumun Nash (Membaca kembali teks) ia menempuh pendidikan SD dikampung halamanya (1951). Setamat dari pendidikan SD ia melanjutkan ke sekolah menengah umum yakni Al-Azhar, namun melihat keinginan yang kuat sang ayah menginginkan anaknya sekolah di kejuruan, guru besar Islamic Studies di Leiden University, dengan masuk sekolah teknologi di distrik Kafru Zayyad, Provinsi Gharbiyah. Setelah itu ia menyelesaikan studi menegahnya, dengan meraih ijazah diploma ( setingkat SMU ) untuk beberapa waktu ia bekerja di sebuah perusahaan kabel (1961-1968) setelah lulus dari Diplomanya.[1]

Pada tahun 1968 Nasr Hamid Abu Zayd melanjutkan ke fakultas Adab, Universitas Kairo. Intensitasnya persentuhanya dengan dunia keilmuan semakin mengkristal dan kuat. Dia tamat di perguruan bergensi ini pada tahun 1972 dengan nilai memuaskan pada masa (S1). Tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Nasr Hamid Abu Zayd melanjutkan Pasca Sarjana (S2) di universitas yang sama. Di jenjang ini dia menulis tesis berjudul Qadhiyat Al-Majaz fi Al-quran Inda Mu‟tazilah, pada tahun 1976, juga dengan nilai memuaskan. Pada tahun 1981, dia berhasil meraih gelar doctor dari Universitas Kairo. Nasr Hamid Abu Zayd mengajukan risalah disertai dengan judul Ta’wilu Al-quran Inda muhyiddin Al-Araby, dengan nilai memuaskan dengan penghargaan tingkat pertama.

Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989).[2] Belakangan ia divonis “murtad”, dikenal dengan peristiwa “Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya.

Tindakan ini menurutnya sebagai upaya melanggengkan hegemoni kaum Quraysh terhadap kaum muslimin. Semenjak peristiwa itu, dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Awalnya, di Netherland Nasr menjadi profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000 dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di Universitas tersebut.[3]

Seputar Masalah Teks dan Konteks

Menurut Abu Zayd, Interpretasi terhadap teks-teks agama (al-Quran dan hadis nabi), bagi wacana agama, merupakan salah satu mekanisme yang sangat penting –jika bukan yang terpenting- untuk melontarkan konsep-konsep dan pandangan-pandangannya. Interpretasi yang sejati, yaitu yang menghasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas berbagai level konteks. Namun, wacana agama biasanya mengabaikan beberapa level konteks ini, jika tidak mengabaikan keseluruhannya, demi memproteksi pelacakan makna yang telah ditentukan sebelumnya. Pengabaian ini disatu sisi disebabkan tidak disadarinya norma-norma pembentukan teks linguistic, dan di sisi lain disebabkan anggapan bahwa teks- teks agama adalah teks yang unik dan berbeda atau hamper berbeda- sama sekali dengan teks-teks linguistic lainnya.[4]

Bagaimanapun, teks agama tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Sumber ilahi teks tersebut tidak mengesampingkan sama sekali hakikat keberadaannya sebagai teks linguistik dengan segala implikasi kebahasaannya: teks terkait dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan sosiologis. Teks itu tidak berada diluar kategori bahasa dan memiliki praeksistensi atasnta yaitu firman tuhan dalam absolusitasnya- sehingga tidak memiliki perangkat epistimologis dan prosedural untuk mengkajinya. Tidaklah demikian adanya, karena dianggap sebaliknya, maka kita tidak dapat memproduksi wacana ilmiah atasnya, dan setiap pembicaraan akan firman tuhan yang berada diluar kerangka bahasa akan menyeret kita, suka atau tak suka, pada wilayah takhayul dan mitos.

Kritik Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historisitas Al-quran dengan dalih bahwa perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan sejarah, sejatinya telah menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk mengikuti kaedah peraturan alam yang diciptakan-Nya sendiri? Apakah kemudian wahyu dapat “diseret” untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang berkembang? Karenanya menurut Adian Husaini.

 konsep Alquran yang diuraikan Nasr Hamid Abu Zayd di atas bukan hanya bertentangan dengan pengertian Alquran yang dikenal oleh umat, namun telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab dengan corak pemahaman ala Abu Zayd bahwa kemutlakan Alquran dan sakralitasnya telah sirna dan menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan dalam kehidupan dan disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep wahyu yang dikenal dalam Islam.[5]

Semua umat Islam sepakat bahwa pengertian Alquran adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara lafzhan wa ma’nan (lafazh dan maknanya) dengan perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf, kemudian disampaikan kepada para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir (recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di dalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka

Ichwan, Nur, “Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zaid,” Bandung: Teraju, 2003.

Alfian ,Muhammad ,”Hermeneutika Nasr Hamid Abu zayd,” dalam Jurnal Islamika:Jurnal Ilmu-ilmu keislaman, Vol. 18, No. 01, Juli 2018

Zayd , Nasr Hamid Abu, “Teks Otoritas Kebenaran,” Ter, Yogyakarta: Lkis, 2003

Afrizal, Lalu Heri, “Metodologi Tafsir Nasr Hamid Abu Zaid dan Dampaknya Terhadap Pemikiran Islam,” dalam Jurnal Tsaqafah, Vol 12 No. 2, November 2016. dkk , Ali Imron , “Hemeneutika al Quran dan Hadits,” Yogyakarta : Elsaq Press, 2010.


[1]               Nur Ichwan, “Meretas Kesarjanaan Kritis al Quran: teori Hermeneutika Nasr  Abu Zaid” Bandung: Teraju, 2003,  hal. 20.

[2]              Ali Imron dkk, Hemeneutika al Quran dan Hadits, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010,  hal. 116.

[3]               Muhammad Alfian, ”Hermeneutika Nasr Hamid Abu zayd,” dalam  Jurnal Islamika:Jurnal Ilmu-ilmu keislaman, Vol. 18, No. 01, Juli 2018,  hal. 27.

[4]              Nasr Hamid Abu Zayd, “Teks Otoritas Kebenaran, Ter,” Yogyakarta: Lkis, 2003,  hal. 111.

[5]              Lalu Heri Afrizal, “Metodologi Tafsir Nasr Hamid Abu Zaid dan Dampaknya Terhadap Pemikiran Islam,” dalam Jurnal Tsaqafah, Vol 12 No. 2, November 20016,  hlm 312.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *