Gadamer merupakan salah satu tokoh hermeneutika yang cukup populer dengan gagasannya fusion of horizons. Tawaran tersebut menjadi salah satu tawaran alternatif untuk memahami teks secara proporsional dan dapat diaplikasikan untuk memahami setiap teks termasuk teks kitab suci. Tulisan sederhana ini mencoba memahami gagasan fusion of horizons dan hubungannya dengan penafsiran al-Qur’an.
Secara etimologis kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein, harmenus yang berarti penafsiran, ungkapan, pemberitahuan. Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.[1] Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris. Dalam mitologi Yunani Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dewa kepada manusia.[2]
Hans Georg Gadamer lahir di Marburg, Jerman, pada tanggal 11 Februari 1900 dan meninggal di Heidelberg, Jerman, pada tanggal 13 Maret 2002. Dia adalah seorang filsuf Jerman yang paling terkenal dengan karya monumentalnya Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode). Gadamer memulai studinya di perguruan tinggi pada tahun 1918 di Universitas Breslau dan kemudian pindah ke Universitas Marburg. Di dua universitas inilah dia pertama kali berkenalan dengan ilmu filsafat melalui beberapa orang tokoh seperti Richard Honigswald dan Nicolai Hartmann. Pada tahun 1922 Gadamer berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu filsafat dengan judul disertasi Das Wesen der Lust nach den Platonischen Dialogen (The Essence of Pleasure according to Plato‘s Dialogues). Karir akademik Gadamer mencapai puncuknya di Universitas Leipzig, yang diawali pada tahun 1939 dia diangkat menjadi profesor dalam bidang filsafat. Dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Filologi dan Sejarah pada Fakultas Filsafat, serta direktur Institut Psikologi. Puncaknya adalah pada tahun 1946 dia diangkat menjadi rektor di universitas tersebut. Di samping itu, dia juga mengajar di Frankfurt pada tahun 1948, dan di Heidelberg pada tahun 1949 sampai pensiun pada tahun 1968.[3]
Gadamer menyatakan bahwa penafsiran adalah peleburan horizon-horizon (fusion of horizons), yaitu horizon penulis atau pengarang dan penafsir atau pembaca, masa lalu dan masa kini. Dengan begitu maka makna teks sebagai produk aktivitas penafsiran pasti akan melampaui penulis atau pengarang teks itu sendiri. Itulah mengapa sebuah pemahaman tidak semata-mata reproduktif tetapi selalu sebuah sikap produktif.[4]
Terminologi “horizon” dalam kamus Gadamer memaksudkan suatu ruang pandang sebatas nalar subjektif seseorang. Pandangan Gadamer dengan mencirikan fusi horizon dengan dua karakter, yakni keterbukaan horizon dan proses menjadi horizon baru. Keterbukaan horizon memaksudkan suatu ciri atau karakter khusus horizon yang dapat melebur atau menyatu dengan horizon-horizon lainnya. Seorang penafsir tidak akan dapat berpindah dan meninggalkan horizonnya ketika ia memasuki horizon penulis ataupun suatu teks. Proses menjadi horizon baru memaksudkan adanya suatu dinamika (peleburan horizon lama dengan horizon baru) yang tak pernah selesai selama manusia masih hidup menyejarah. Horizon lama tidak dapat ditinggalkan dan hilang. Horizon baru juga bukan selamanya baru. Melainkan adanya persilangan antara horizon-horizon tersebut sehingga dapat menghasilkan dialektika produktif horizon kehidupan yang lebih luas.[5]
Penggabungan horizon dalam arti bahwa dalam proses penafsiran seseorang harus sadar bahwa ada dua horizon, yakni horizon teks dan horizon pembaca. Kedua horizon tersebut selalu hadir dalam proses pemahaman dan penefsiran. Seorang pembaca teks memulainya dengan cakrawala hermeneutiknya, namun dia juga memperhatikan bahwa teks juga mempunyai horizonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horizon yang dimiliki pembaca. Kedua horizon ini harus dikomunikasikan, sehingga ketegangan antara keduanya dapat diatasi. Karena itulah, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia harus memperhatikan horizon historis, dimana teks itu muncul, diungkapkan dan ditulis.[6]
Dalam konteks tersebut, Jasser Auda menuturkan penafsiran Maqâsid al-Qur’an erat kaitannya dengan kajian tafsir tematik yang lebih mempertimbangkan aspek Maqâsid. Aspek Maqâsid yang dimaksud merupakan spirit atau titik temu antara horizon teks di masa silam dan horizon penafsir saat ini. Garis tengah yang mengubungkan antara dahulu dan saat ini, itulah Maqâsid atau substansi dari ayat al-Qur’an. Menggali dan memahami Maqâsid al-Qur’an inilah yang menjadi tugas seorang mufasir. Dalam bahasa lain, seorang mufasir seharusnya dapat mendialogkan antara teks dan realitas yang dihadapi oleh masyarakat modern saat ini. Karenanya tafsir Maqâsid sejalan dengan fusion of horizons yang ditawarkan oleh Gadamer. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memahami Maqâsid al-Qur’an sebagai berikut. Pertama, memahami horizon teks, setidaknya ada dua hal utama yang harus ditekankan dalam memahami horizon teks, yaitu memahami konteks sejarah al-Qur’an dan memahami penggunaan bahasa Arab yang digunakan saat al-Qur’an turun. Membangun horizon teks semacam ini sebenarnya sudah dilakukan oleh ulama-ulama al-Qur’an tradisional seperti al-Suyuthi. Kedua, setelah memahami horizon teks, mufasir harus menggali Maqâsid dari teks tersebut. Ketiga, mendialogkan Maqâsid al-Qur’an dengan horizon kekinian. Setelah memahami Maqâsid al-Qur’an, lantas penafsir dapat memberikan penjelasan bagaimana melaksanakan perintah al-Qur’an tersebut dalam konteks kehidupan saat ini. Tahapan ini dalam bahasa Gadamer disebut dengan aplikasi. Maksudnya adalah bahwa aplikasi merupakan bagian integral dari pemahaman. Seorang penafsir memahami dengan mengaplikasikan teks, termasuk teks al-Qur’an. Hal ini terjadi karena pemahaman merupakan hasil peleburan horizon-horizon. Salah satu contoh yang familiar adalah memahami ayat potong tangan bagi pencuri. Setelah melalui analisis kebahasaan dan historis yang panjang, dapat ditarik satu benang merah bahwa Maqâsid dari hukum tersebut adalah untuk menimbulkan efek jera. Maka penafsir dapat mengaplikasikan ayat tersebut tidak dengan menggunakan hukum potong tangannya, tetapi menarik spirit efek jeranya. Lantas, menyimpulkan bahwa hukuman bagi pencuri adalah dengan dimasukkan ke dalam penjara. Pemahaman semacam ini adalah bagian dari semangat fusion of horizons.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Husain, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi. Hermeneutika & Tafsir al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2007.
Irsyadunnas. “Tafsir Ayat-Ayat Gender ala Amina Wadud Perspektif Hermeneutika Gadamer,” Jurnal Musawa, Vol. 14 No. 2 Juli Tahun 2015.
Mujahidin, Anwar. Hermeneutika al-Qur’an (Rancang Bangun Hermeneutika sebagai Metode Penelitian Kontemporer Bidang Ilmu al-Qur’an-Hadis dan Bidang Ilmu-ilmu Humaniora. Ponorogo: Stain Pro Press, 2013.
Rahmatullah. “Menakar Hermeneutika Fusion of Horizons H.G. Gadamer dalam Pengembangan Tafsir Maqâsid al-Qur’an,” Jurnal Nun, Vol. 3 No. 2 Tahun 2017.
Ulya. Berbagai Pendekatan Dalam Studi al-Qur’an Penggunaan Ilmu-Ilmu Sosial, Humaniora Dan Kebahasaan Dalam Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Idea Press, 2017. Wahyudi, Antono. “Interpretasi Hermeneutika: Meneropong Diskursus Seni Memahami Melalui Lensa Filsafat Modern Dan Postmodern,” Jurnal KLAUSA: Kajian Linguistik, Pembalajaran Bahasa, dan Sastra, Vol. 2 No. 2 Tahun 2018.
[1] Anwar Mujahidin, Hermeneutika al-Qur’an Rancang Bangun Hermeneutika sebagai Metode Penelitian Kontemporer Bidang Ilmu al-Qur’an-Hadist dan Bidang Ilmu-ilmu Humaniora, Ponorogo: Stain Pro Press, 2013, hal. 6.
[2] Adian Husain dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2007, hal. 7-8.
[3] Irsyadunnas, “Tafsir Ayat-Ayat Gender ala Amina Wadud Perspektif Hermeneutika Gadamer,” dalam Jurnal Musawa, Vol. 14 No. 2 Tahun 2015, hal. 127.
[4] Ulya, Berbagai Pendekatan Dalam Studi al-Qur’an Penggunaan Ilmu-Ilmu Sosial, Humaniora Dan Kebahasaan Dalam Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Idea Press, 2017, hal. 62-63.
[5] Antono Wahyudi, “Interpretasi Hermeneutika: Meneropong Diskursus Seni Memahami Melalui Lensa Filsafat Modern Dan Postmodern,” dalam Jurnal KLAUSA: Kajian Linguistik, Pembalajaran Bahasa, dan Sastra, Vol. 2 No. 2 Tahun 2018, hal. 67-68.
[6] Irsyadunnas, “Tafsir Ayat-Ayat Gender ala Amina Wadud Perspektif Hermeneutika Gadamer,” dalam Jurnal Musawa, Vol. 14 No. 2 Tahun 2015, hal. 129.
[7] Rahmatullah, “Menakar Hermeneutika Fusion of Horizons H.G. Gadamer dalam Pengembangan Tafsir Maqâsid al-Qur’an,” dalam Jurnal Nun, Vol. 3 No. 2 Tahun 2017, hal. 161-165.