Rasionalitas dan Kitab Suci

harakah.id

Rasionalitas bagi manusia selalu menjadi hal yang penting. Demikian pula dengan irrasionalitas. Namun tetap cara rasionalitas lah yang dominan pada diri manusia. Karena itu, bahkan ketika manusia hendak bersikap irrasional, maka manusia memerlukan rasionalisasi mengapa dia melakukan hal itu. Misalnya, pada kasus keberagamaan. Beragama pada dasarnya bersandar kepada keyakinan, bukan rasionalitas. Meski demikian, manusia tetap berupaya merasionalisasi mengapa mereka harus beragama atau mengapa mereka harus meyakini doktri-doktrin agama padahal tidak rasional.

Banyak fase sejarah di dalam kehidupan manusia yang menggambarkan betapa manusia juga pernah bersandar kepada irrasionalitas. Hal itu dilakukan karena manusia membutuhkan penjelasan untuk hampir semua urusan kehidupannya. Dengan penjelasan-penjelasan itulah manusia menjalani hidupnya. Di antara penjelasan yang disediakan oleh sejarah, ada saja penjelasan yang tidak rasional dan manusia tetap menerimanya selama jawaban rasional belum hadir. Namun ketika penjelasan yang lebih rasional hadir, maka manusi pasti beralih kepadanya.

Bacaan Lainnya

Karena irrasionalitas pernah hadir pada sejarah manusia, maka irrasionalitas itu memiliki pendukung. Mereka lah nanti yang berhadap dengan pendukung rasionalitas. Dalam titik-titik tertentu, pertentangan antara keduanya sedemikian sengit hingga mengakibatkan jatuhnya korban. Yang sering terjadi adalah irrasionalitas memaksakan doktrinnya kepada rasionalitas.

Dalam sejarah Eropa, dogma Gereja pernah menjadi pihak yang memaksakan doktrinnya kepada manusia meskipun doktrin tersebut tidak rasional. Pemaksaan tersebut berlangsung dramatis hingga jatuh korban. Dalam sejarah Islam, rasionalitas tidak mengalami tragedi yang sedramatis Eropa. Pada masa kejayaan peradaban Islam, perdebatan tentang akal dan wahyu serta perdebatan tentang kebebasan manusia dan kekuasaan Ilahi hanya berlangsung di ruang-ruang diskusi dan tidak melebar ke mana-mana.

Tragedi pemaksaan irrasionalitas dalam sejarah Eropa berbuntut panjang. Ada semacam rasa trauma yang membuat peradaban Eropa seperti membenci agama yang dahulu sebagai biang irrasionalitas. Di dalam sejarah Islam, karena tragedi serupa tidak terjadi, tidak ada yang namanya trauma apalagi benci terhadap agama. Peradaban Islam masa lalu tidak memiliki masalah dengan agama; sedangkan peradaban Eropa masa kini memiliki masalah dengan agama. Itu di satu sisi. Jangan-jangan di sisi lain, kepayahan Islam untuk kembali memajukan peradabannya adalah buah dari tidak adanya tragedi tersebut.

Salah satu buah dari rasionalisme adalah peradaban modern yang menghargai rasionalitas individu yang mengakibatkan tidak adanya lagi lembaga yang memiliki otoritas penentu kebenaran, termasuk lembaga keagamaan. Dampaknya adalah segala hal harus dipahami secara rasional, termasuk Kitab Suci. Pada titik terekstrimnya, Kitab Suci harus sesuai dengan rasionalitas manusiawi. Jika tidak, maka Kitab Suci bisa tertolak.

Kembali kepada sejarah Islam. Dalam sejarah Islam, pernah marak perdebatan tentang relasi akal dan wahyu. Akal sebagai perwakilan rasionalitas dan wahyu adalah perwakilan irrasionalitas. Namun, yang terjadi adalah titik kompromi. Akal dan wahyu adalah dua arah yang saling melengkapi. Wahyu adalah penamaan terhadap relasi Tuhan dengan manusia di mana wahyu dipahami sebagai cara Tuhan untuk memberikan petunjuk kepada manusia, terutama hal-hal yang tidak mungkin dipahaminya hanya dengan akal. Adapun akal adalah penamaan terhadap relasi manusia dengan Tuhan di mana akal dipahami sebagai cara manusia untuk memahami wahyu Ilahi karena itulah satu-satunya jalan agar manusia mengaplikasikan pesan kebaikan di dalam hidupnya, yaitu memahaminya.

Seluruh kata akal di dalam Al-Qur’an diungkapkan di dalam bentuk kata kerja seperti aqalûh, ta’qilûn, na’qilu, ya’qiluha, dan ya’qilûn. Maksudnya, akal manusia selalu kini dan nanti mencari cara untuk menunjukkan eksistensinya, bahkan misalnya untuk memberikan alasan rasional untuk irrasionalitas. Lalu, sebagai kata kerja, semua pelaku untuk kata kerja yang menyebutkan akal pelakunya adalah manusia. Jadi, tanpa akal, manusia berhenti menjadi manusia.

Lalu, saat Al-Qur’an menyebutkan akal, kadang-kadang ada kata afalâ atau afalam yang mendahuluinya yang berarti anjuran untuk memaksimalkan akal dan sekaligus hinaan bagi manusia yang tidak memaksimalkan akalnya.

Setelah dibicarakan tentang kata kerja dan pelaku kata kerja tersebut dalam kata akal di dalam Al-Qur’an, perlu pula dibicarakan tentang objek dari kata kerja tersebut. Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa objek akal bisa dia, yaitu alam raya dan Al-Qur’an itu sendiri. Hal itu disebutkan di dalam QS. al-Hajj/22: 46: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. Juga disebutkan di dalam QS. al-Baqarah/2: 242: Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.

Dengan demikian, posisi akal sangat sentral di dalam Islam, terbukti Al-Qur’an menyebutkan bahwa hati (qalb) adalah yang berakal atau yang berfikir sebagaimana di dalam disebutkan di dalam QS. al-A’raf/7: 179. Sedangkan dipahami bersama bahwa tempatnya qalb adalah dada yang di dalam bahasa Arab dinamai shadr. Shadr juga berarti pusat atau tempat muncul. Yang unik adalah bahwa tempat akal dan wahyu di dalam Islam sesunggunya sama yaitu qalb, sebagaimana disebutkan di dalam QS. al-Syu’ara/26: 192-194. Dengan posisinya di qalb, di dalam Islam, akal dan wahyu tidak semata-mata untuk memahami, tetapi juga untuk melakukan tindakan yang baik dan benar. Akal dan wahyu tidak berhenti di dalam diskursus, tetapi berlanjut kepada aksi. Bukan aksi biasa, tetapi aksi yang baik dan benar. Alam raya dan Al-Qur’an dipahami dengan akal untuk memakmurkan alam semesta dan kemaslahatan umat manusia.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *