Dekonstruksi Gender Perspektif Rasyid Ridha

unej.ac.id

Teori dekonstruksi secara umum dapat dipahami sebagai metode pembongkaran terhadap realitas yang mengandung logika oposisi biner. Oposisi biner adalah dua realitas yang dipandang secara berhadap-hadapan, bertolak belakang dan memiliki kedudukan yang berbeda. Dalam oposisi biner, seperti misalnya pria/ wanita, rasional/ emosional, progresif/ terbelakang, ada istilah yang berada di pusat dan ada yang di pinggiran, yang marjinal.[1]

Paradigma ini menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang disandang subjek dan memandang rendah terhadap objek, sebagai pihak kelas kedua. Paradigma ini meyakini adanya pertentangan antara subjektivitas dan objektivitas, ucapan dan tulisan, makna dan bentuk, jiwa dan badan, transendental dan imanensi, induksi-deduksi, baik dan buruk dan lain sebagainya. Logika oposisi biner inilah yang dibongkar oleh dekonstruksi. Alasan realitas yang pertama (subjek) dianggap superior, sedangkan yang pihak kedua (objek) hanya representasi palsu dari kebenaran atas sesuatu. Konsep seperti ini menimbulkan pemikiran yang berpotensi untuk “menguasai” kepada yang lain (the other), atau mengharuskan adanya otoritas tunggal dan melegitimasi universalitas doktrin.[2]

Terkait dengan aplikasi terhadap teks, teori ini meyakini bahwa teks adalah simbol yang tidak mengandung makna utuh tapi menjadi arena pergulatan yang terbuka. Maka, metode ini membuka ruang yang bebas untuk mencari makna-makna di dalam teks. Sementara realitas yang tampak di hadapan kita  (termasuk teks) sesungguhnya bukan realitas hakiki, akan tetapi hanya sekedar trance atau sign saja.[3]

Muhammad Rasyid Ridha, sebagai seorang ilmuwan mempunyai pandangan-pandangan pribadi yang bersifat dekonstuktif dalam berbagai bidang ilmu, termasuk dalam hal relasi gender dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, Rasyid Ridha juga dikenal memiliki sikap kritis terhadap pendahulu-pendahulunya, bahkan terhadap gurunya, Muhammad Abduh sekalipun. Dalam memberikan penafsirannya Rasyid Ridha menggunakan metode logika posisi biner ini untuk kembali memposisikan perempuan sesuai dengan keinginan teks Al-Qur’an.

Penafsiran Rasyid Ridha dalam Tafsîr Al-Manâr  terkait dengan ayat-ayat bias gender yaitu tentang asal penciptaan perempuan yang terdapat pada Q.S. An-Nisaa’ ayat 1. Para ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini adalah ayat tentang penciptaan perempuan. Mereka menafsirkan kata min an-nafsi wâhidah dengan Adam, kata ganti minhâ dengan dari bagian tubuh Adam, dan kata zaujahâ dengan Hawa. Alasan mereka adalah karena adanya hadis yang mengisyaratkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam.[4] Demikianlah kalanganahli fiqihmemahami penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam lalu menjadikan Q.S. An-Nisaa’ ayat 1 sebagai dalilnya.

Berbeda dengan kitab tafsir lainnya, Tafsîr Al-Manâr  lebih condong pada pandangan bahwa penciptaan Hawa dari jenis ciptaan Adam dengan argumentasi: Pertama, ayat ini diawali dengan kata yâ ayyuha an-nâs (hai sekalian manusia). Ini berarti ditujukan kepada seluruh manusia. Bagaimana mungkin, itu dikatakan Adam, sementara Adam tidak populer dan tidak diakui keberadaannya oleh semua umat manusia sebagai manusia pertama. Karena itu, menurut Muhammad Abduh sebagai guru Rasyid Ridha, pengertian min an-nafsi wâhida dalam ayat ini, mestinya dapat diakui secara universal. Kedua, bila memang yang dimaksud adalah Adam, mengapa menggunakan bentuk kata nakirah pada kata rijâl, bukan bentuk ma’rifah dengan redaksi al-rijâl katsîra wa an-nisâ. Dengan mengutip pendapat filsuf, Muhammad Abduh lalu menganggap kata nafs mempunyai arti yang sama dengan rūh, yaitu sesuatu yang bersifat non materi. Hal itu menunjukkan bahwa kata nafs tidak bisa diartikan Adam yang berkonotasi materi.[5]

Dalam Tafsîr Al-Manâr juga Muhammad Abduh menolak pandangan  yang mengatakan bahwa min an-nafsi wâhidah bermakna Adam. Abduh mengemukakan alasan  penolakan tersebut dengan mengatakan bahwa kalimat setelah min an-nafsi wâhidah berbunyi wa batsa minhâ rijâlan katsîrâ berbentuk nakirah yang tidak menunjukkan person tertentu. Menurutnya kalau kalimat min an-nafsi wâhidah dipahami sebagai Adam, maka seharusnya kalimat berikutnya wa batsa minha ar-rijâla katsîrâ bentuk makrifat. Menurutnya ayat ini tidak dapat dipahami sebagai penjelasan untuk jenis tertentu, karena panggilan (khithâb) yang ada dalam ayat ini ditujukan kepada segenap bangsa yang tidak semuanya mengetahui dan tidak pernah mendengarkan nama Adam, kecuali umat nabi Nuh, karena terambil dari bahasa mereka yaitu bahasa Ibrani yang memiliki masa cukup dekat dengan masa Adam. Sementara bangsa Cina menisbatkan asal manusia pada bapak yang lain jauh sebelum masa Adam.[6] 

 Dekonstruksi yang dilakukan Rasyid Ridha terhadap pemahaman jumhur mufassir ini adalah ketika Rasyid Ridha menjelaskan bahwa ayat Q.S. An-Nisaa’ ayat 1 di atas tidak berbicara tentang permasalahan awal penciptaan. Ayat ini ingin menjelaskan bahwa manusia berasal dari zat yang sama, sebagai pengantar masuk pada pembahasan hak-hak anak yatim dan kerabat. Ayat Q.S. An-Nisaa’ ayat 1 tidak berdiri sendiri membahas tentang awal penciptaan seperti yang diperdebatkan jumhur mufassir. Kata min an-nafsi wâhidah adalah simbol bahwa semua manusia berasal dari satu sifat kemanusiaan yang semuanya menginginkan kebaikan dan menghindari keburukan, meskipun mereka berasal dari golongan yang berbeda. Sifat kemanusiaan itulah yang menyatukan semua manusia tanpa membedakan asalnya.[7]

 Pada pembahasan yang sama, tak lupa Rasyid Ridha memberikan penjelasan tambahan pembelaan terhadap gurunya dengan mengatakan bahwa Muhammad Abduh tidak menyalahkan bagi golongan yang berpendapat bahwa Adam adalah bapak semua manusia. Karena dia tidak mengatakan bahwa Al-Qur’an menolak pandangan tersebut. Hal ini perlu diluruskan karena pengkaji Tafsir Al-Manar memahami bahwa Abduh membantah asal manusia dari Adam, padahal kalimat itu tidak pernah diungkapkan oleh Abduh. Dia hanya mengatakan bahwa kajian yang membuktikan bahwa asal manusia banyak, hal ini tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.[8] Dari hasil dekontruksi pemikiran Rasyid Ridha terhadap pemikiran jumhur mufassir, menunjukkan karakter ilmiah yang dimilikinya begitu luas. Dalam memberikan penafsiran, Rasyid Ridha menganggap satu surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi dan tak dapat dipisah-pisahkan. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika Rasyid Ridha menafsirkan QS. An-Nisaa’ ayat 1, bahwa ayat tersebut tidak terpisah dengan penafsiran ayat sesudahnya. Padahal pada penafsiran ayat yang sama jumhur mufassir menjelaskan ayat ini terpisah dengan tafsiran ayat sesudahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Depertemen Agama RI. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: Aku Bisa, 2009.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai           Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu, Positivisme, Postpositivisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2021.

Norris, Christopher. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017.

Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr Al-Manâr, Jilid IV, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005.


             [1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 280.

[2] Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017, hal. 9.

[3] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Postpositivisme dan Postmodernisme, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2021, hal. 204.

           [4] Depertemen Agama RI, Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir al-Qur’an Tematik), cet.10, Jakarta: Aku Bisa, 2009, hal.  33.

[5] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr Al-Manâr, Jilid IV, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,    2005, hal. 223-230.

[6] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr Al-Manâr,…hal. 263.

[7] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr,…hal. 266.

[8] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr,… hal. 265.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *