Mengetahui hukum salam kepada nonmuslim menjadi hal penting saat ini. Terutama di daerah-daerah yang penduduknya majemuk dengan agama yang sangat beragam. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Penduduk muslim di negara dengan jumlah penduduk ratusan juta ini sangat membutuhkan pengetahuan hukum syar’i dalam masalah semacam ini.
Terkadang ada muslim yang merasa berat dan merasa berdosa ketika ia memulai memberikan penghormatan kepada nonmuslim, terutama ketika kondisi mengharuskannya untuk melakukan hal tersebut. Seperti ketika ia masuk ke rumah koleganya yang nonmuslim atau bertemu rekan kerja atau atasannya yang nonmuslim. Perasaan berdosa atau berat ini dikarenakan ada larangan dalam sebuah riwayat hadis dari Suhail
“Janganlah memulai mengucapkan salam kepada orang orang-orang musyrik (dalam riwayat lain: Yahudi dan Nasrani) dan bila kamu bertemu salah seorang dari mereka di jalan maka desaklah ia ke arah yang sempit.” (HR. Muslim dan lainnya).
Dalam salah satu magnus opusnya, Ibn Hajar menceritakan perbedaan para ulama terdahulu (salaf) dalam masalah ini. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena adanya kontradiksi yang jelas dari teks-teks dalil yang ada. Menurutnya, dalam masalah memulai salam kepada orang kafir terdapat larangan eksplisit dalam hadis Abu Hurairah ‘Jangan memulai salam orang Yahudi dan Nasrani dan paksa mereka ke jalan yang paling sempit.’
Namun ia secara obyektif juga mengutip pendapat kelompok yang berbeda. Ada kelompok yang berpendapat membolehkan memulai salam kepada mereka. Kelompok ini berargumen dengan pendapat Ibnu Uyainah yang membolehkan memulai salam kepada orang kafir berdasarkan ayat,
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah/60:8)
Juga berdasarkan perkataan Ibrahim kepada ayahnya,
قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا ٤٧ ﴾ ( مريم/19: 47) ﴿
Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan bagimu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia Mahabaik kepadaku.” (Maryam/19:47)
Meskipun pada akhirnya, Ibnu Hajar memilih pendapat pertama yang melarang memulai salam kepada orang kafir berdasarkan hadis Abu Hurairah di atas. Ia menguatkan pendapatnya dengan mengutip pendapat ‘Iyadh dalam merespon kelompok yang berdalil dengan kedua ayat al-Quran di atas bahwa maksud kedua ayat tersebut adalah sebagai isyarat untuk meninggalkan dan menjauhi orang kafir, bukan sebagai bentuk penghormatan kepada mereka.
Ia juga menambahi dengan menyitir pendapat sebagian ulama salaf yang berpendapat bahwa ayat,
فَاصْفَحْ عَنْهُمْ وَقُلْ سَلٰمٌۗ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ ࣖ ٨٩ ﴾ ( الزخرف/43: 89) ﴿
Maka, berpalinglah dari mereka dan katakanlah, “Salam (selamat tinggal).” Kelak mereka akan mengetahui (nasibnya yang buruk). (Az-Zukhruf/43:89) .. telah dinasakh dengan ayat qital (perang).[1]
Melihat kontradiksi yang disebutkan oleh Ibnu Hajar di atas, Hakim al-Muthiri, ulama Kuwait kontemporer, melakukan penelitian hadis yang melarang memulai salam kepada nonmuslim untuk mengetahui bagaimana makna yang sebenarnya untuk menghilangkan kontradiksi tersebut. Karena kontradiksi di antara dalil-dalil yang ada menyebabkan perbedaan pendapat dalam hal ini sejak dahulu sampai sekarang.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah tidak dilarang memulai mengucapkan salam kepada nonmuslim kecuali hanya dalam satu keadaan saja, yang saat kondisi perang. Agar, ucapan salam ini tidak menjadi jaminan keamanan kepada mereka yang otomatis akan berlaku hukum-hukum jaminan keamanan. Tentunya ini bertentangan dengan kondisi perang. Selain dalam kondisi perang, hukum asalnya adalah dianjurkan untuk menebarkan salam, baik kepada muslim maupun nonmuslim, sebagaimana riwayat dari kebanyakan para sahabat Nabi tentang masalah ini. Kesimpulan ini dikuatkan lagi dengan pendapat Qurthubi dalam tafsirnya saat menafsirkan surat Maryam. Qurthubi sepakat dengan pendapat Ibnu Uyainah seperti disebutkan di atas.[2]
Pakar tafsir Indonesia, Quraish Shihab, memahami bahwa larangan dalam riwayat hadis di atas tidak ditujukan kepada semua orang Yahudi, Nasrani, atau non-Muslim lain, tetapi hanya kepada nonmuslim yang memusuhi Islam dan kaum muslimin.[3] Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ishaq bin Rahawaih dan Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh muridnya Ibnul Qayyim. Menurut keduanya, larangan memulai salam kepada Yahudi dalam riwayat hadis adalah terkait dengan situasi yang terjadi saat Nabi SAW akan menyerang Yahudi Bani Quraizhah setelah pengkhianatan yang mereka lakukan terhadap kaum muslimin saat terjadi Perang Khandaq.[4] [DM]
[1] Fathul Bari, 11/39, Maktabah Syamilah.
[2] al-Jami li Ahkam al-Quran, 11/112, Maktabah Syamilah.
[3] https://www.republika.co.id/berita/qm0u14430/bolehkah-mengucapkan-salam-kepada-nonmuslim#:~:text=Ulama%20menjelaskan%20hukum%20mengucapkan%20salam%20kepada%20Non%2DMuslim.&text=Mereka%20mengacu%20pada%20salah%20satu,yang%20sempit%20(HR%20Muslim).
[4] http://www.dr-hakem.com/portals/Content/?info=TmpJMUpsTjFZbEJoWjJVbU1RPT0rdQ==.jsp