Dalam kehidupan beragama, berbeda pendapat adalah suatu keniscayaan. Hal ini harus disadari bagi setiap insan beragama. Karena keberagaman dan kemajemukan adalah sunnatullah. Istilah yang sering dipahami dengan hukum alam. Hal ini membutuhkan ilmu untuk mengetahui bagaimana cara bijaksana menyikapi segala macam perbedaan tersebut.
Allah SWT berfirman,
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ ١١٨ ( هود/11: 118)
Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia umat yang satu. Namun, mereka senantiasa berselisih (dalam urusan agama). (Hud/11:118)
Dalam ayat ini dijelaskan dengan eksplisit bahwa perbedaan pendapat adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa dihindari oleh siapa saja. Di mana saja ada manusia yang berkumpul, entah dalam dunia nyata maupun dunia maya, pasti di situ ada fakta perbedaan pendapat. Ketika tidak ada perbedaan pendapat dalam suatu komunitas justru itu hal yang cukup aneh dan tidak alami.
Ketidakpahaman dengan kehendak Tuhan yang dijelaskan dalam ayat ini seringkali berakibat terjadinya perpecahan di tengah suatu komunitas karena adanya perbedaan pendapat yang dianggap sebagai sebuah perpecahan. Banyak orang yang memahami bahwa perbedaan pendapat tidak mungkin menjadikan kesolidan dan persatuan sebuah komunitas.
Oleh karena itu, dalam komunitas Islam, al-Quran memerintahkan kita sebagai orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya dengan perintah yang tegas,
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ ١٠٣ ( اٰل عمران/3: 103)
Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali ‘Imran/3:103)
Ketika menafsirkan ayat ini dalam Tafsir Ringkas Kemenag, para pakar tafsir Indonesia menyebutkan bahwa pada ayat ini Allah memerintah kaum mukmin menjaga persatuan dan kesatuan. Dan, agar berpegangteguh serta berusaha sekuat tenaga agar semuanya bantu-membantu untuk menyatu pada tali (agama) Allah agar tidak tergelincir dari agama tersebut. Dalam ayat ini kaum mukmin dilarang bercerai berai, saling bermusuhan dan mendengki, karena semua itu akan menjadikan mereka lemah dan mudah dihancurkan.[1]
Dalam masalah keimanan pun tidak luput dari perhatian al-Quran. Seandainya Allah swt berkehendak tidak ada susahnya bagi Allah untuk menjadikan semua manusia menjadi orang beriman. Namun ternyata itu tidak Allah swt kehendaki. Bahkan kalau perkara keimanan ini mau dipaksakan maka itu hal yang dilarang keras dalam aturan Islam.
Allah SWT berfirman,
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ ٩٩ ( يونس/10: 99)
Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin? (Yunus/10:99)
Seandainya Allah mau juga mudah sekali untuk menjadikan semua orang bertauhid hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Tetapi nyatanya, Allah SWT juga tidak menghendaki hal demikian.
وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَآ اَشْرَكُوْاۗ وَمَا جَعَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًاۚ وَمَآ اَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيْلٍ ١٠٧ ( الانعام/6: 107)
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan(-Nya). Kami tidak menjadikan engkau pengawas mereka dan engkau bukan pula penanggung jawab mereka. (Al-An’am/6:107)
Ketika di atas uraian keniscayaan tentang fakta perbedaan perbedaan dalam memilih agama-tidak beragama, iman-tidak beriman, dan tauhid-syirik yang merupakan kehendak Tuhan yang pasti terjadi dan tidak boleh ada paksaan dalam memilih salah satunya, di zaman Nabi pun pernah terjadi perbedaan pendapat dalam memahami sabda Nabi.
Kisah itu terjadi saat terjadi perang Ahzab (Khandaq). Rasulullah SAW bersabda saat itu kepada para sahabat,
لا يُصَلِّيَنَّ أحَدٌ العَصْرَ إلَّا في بَنِي قُرَيْظَةَ
Janganlah seorang pun dari kalian yang shalat kecuali di Bani Quraizhah. (HR. Bukhari)
Saat itu para sahabat terpecah dua, sebagian shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah, meski telah lewat Maghrib. Kelompok pertama ini berpegangteguh dengan pemahaman tekstual hadis Nabi di atas. Namun sebagian yang lain tidak shalat di sana, tetapi di tengah jalan namun pada waktunya. Kelompok kedua ini tidak berpegangteguh dengan pemahaman tekstual hadis Nabi di atas seperti kelompok pertama. Kelompok kedua menghubungkan hadis Nabi di atas dengan hadis yang lain dan ayat al-Quran yang mereka pahami bahwa shalat tetap harus dilaksanakan tepat pada waktunya. Meski hadis Nabi di atas secara tekstual seperti yang dipahami kelompok pertama.
Ternyata, setelah kejadian tersebut dilaporkan, Nabi SAW tidak menyalahkan kelompok manapun. Tidak ada yang disalahkan dari pemahaman kedua kelompok sahabat tersebut. Karena keduanya telah melakukan ijtihad dan taat kepada perintah. Hanya saja, ada perbedaan dalam memahami teks sabda beliau. Jadi, perbedaan pendapat di masa Nabi sudah terjadi dan tetap menjadi perbedaan pendapat. Tidak ada pemaksaan ke salah satu pendapat.[DM]
[1] Tafsir Ringkas Kemenag surat Ali Imran ayat 103.