Haidar Nashir dalam Agama dan Krisis Manusia mengatakan bahwa masyarakat modern saat ini berada pada tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi dan mampu menciptakan alat-alat canggih yang bermutu, namun dibalik itu ternyata mereka mengalami distorsi-distorsi nilai kemanusian yang disertai dengan kerapuhan jiwa yang penuh kegelisahan.
Mencari solusi terhadap permasalahan di atas perlu kesadaran pentingnya kecerdasan hati dan esensinya dalam perspektif Al-Qur`an sebagai kebutuhan manusia modern saat ini guna melengkapi kecerdasan intelektual mereka. Kesadaran ini berpijak pada asumsi bahwa begitu banyak isyarat-isyarat Al-Qur`an mengenai kecerdasan hati (kalbu) yang memberikan ketenangan jiwa; menghilangkan kegelisahan; dan meningkatkan kecerdasan emosional. Sedangkan landasan teorinya adalah kecerdasan majemuk atau teori multiple intelligence oleh Howard Gardner yang menyatakan bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh manusia itu majemuk dan tidak terbatas. Berdasarkan teori ini, maka kecerdasan hati memungkinkan untuk dikatakan sebagai salah satu bentuk dari kecerdasan majemuk atau multiple intelligence tersebut.
Apabila kecerdasan dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu secara cepat, tepat, dan sempurna, seperti yang diungkap oleh Suharman dalam Psikologi Kognitif, maka kecerdasan hati merupakan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu secara cepat, tepat, dan sempurna dengan menggunakan hati, pangkal perasaan batin atau dengan hati yang suci. Pengertian lainnya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Samsu Nahar dalam Kecerdasan Qalbiyah dalam Perspektif Psikologi Islam yaitu bahwa kecerdasan hati merupakan kecerdasan yang berorientasikan kepada nilai-nilai spiritual Islam yang menghasilkan perilaku baik dan benar atau akhlak terpuji sehingga pada puncaknya membentuk pribadi bertakwa yang dilandasi oleh kompetensi keimanan, kompetensi keislaman, dan kompetensi keihsanan. Dari sinilah esensi kecerdasan hati dalam Al-Qur`an dirumuskan menjadi tiga aspek yaitu, Pertama, esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keimanan. Kedua, esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keislaman. Ketiga, esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keihsanan.
Arti esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keimanan adalah hati memiliki kemampuan untuk memahami, menguasai, dan mengamalkan enam rukun iman dalam ajaran Islam serta menafestasikannya ke dalam bentuk amalan-amalan hati seperti rasa syukur dan sabar dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh ayat yang sesuai dengan esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keimanan adalah seperti dalam QS. al-Hajj/22: 35, yang artinya: “Orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka”.
Menurut M. Quraish Shihab, ayat di atas menjelaskan orang-orang yang hatinya mempunyai kemampuan untuk menyadari betapa besar kekuasaan Allah SWT, sehingga hati mereka bergetar ketika disebut nama Allah SWT. Selain itu juga, menurutnya bahwa mereka juga mempunyai kesabaran hati dalam meghadapi musibah secara tangguh tanpa meninggalkan pengabdian kepada-Nya sebagai rasa syukur kepada-Nya seperti tetap menjalankan shalat dan berinfak meskipun dalam menghadapi musibah tersebut. Merujuk pada penafsiran ini, maka esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keimanan merupakan kemampuan hati untuk memanifestaikan amalan-amalan batin seperti syukur dan sabar sehingga dapat mewujudkan kedamaian jiwa dan hati yang lapang.
Hati yang lapang mengantarkan pada esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keislaman. Arti dari esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keislaman adalah hati memiliki kemampuan untuk memahami, menguasai, dan mengamalkan lima rukun Islam serta menjalankan segala perintah Allah SWT semaksimal mungkin sehingga membentuk pribadi yang unggul dalam ketakwaan kepada-Nya. Adapun salah satu contoh ayat yang terkait dengan esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keislaman yaitu seperti dalam QS. al-Zumar/39: 22, yang artinya: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Menurut Abdurrahman bin Nashir al-Sa`di dalam Taisir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manan, bahwa ayat tersebut di atas menjelaskan perbedaan antara orang Islam dan orang kafir. Menurutnya hati orang Islam lapang menerima segala perintah Allah SWT dan segala ketentuan-Nya. Sedangkan hati orang kafir tidak mau menerima Islam sehingga hatinya tersesat dari kebenaran. Apabila penafsiran ini diinterkoneksikan dengan kompetensi keislaman, maka esensi kecerdasan hati sebagai keislaman adalah hati yang lapang karena telah diberikan petujuk oleh Allah SWT sehingga mempunyai kemampuan untuk menjalankan ajaran Islam. Hati yang lapang setelah memeluk Islam dan menjalankan syariatnya menjadi ciri khas orang-orang yang diberikan kecerdasan hati oleh Allah SWT. Bagi mereka Islam merupakan agama yang benar dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dengan menyertakan perilaku baik atau akhlak terpuji di dalam kehidupan bermasyarakat.
Perilaku baik atau akhlak terpuji wujud kepatuhan pada ajaran Islam menjadi esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keihsanan. Rumusan ini berpijak pada konsep ihsan yang dimaknai segala perbuatan baik atau perilaku baik atau akhlak terpuji yang dilakukan sebagai upaya pembuktian atas keimanan dan keislaman seseorang. Konsepsi ihsan ini secara umum berdasarkan pada pendapat jumhur ulama yang menyebutkan bahwa ihsan merupakan segala perbuatan baik yang dilakukan kepada orang lain. Sedangkan secara khusus ihsan juga bisa berarti kelapangan hati dalam memaafkan orang lain. Terkait dengan esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keihsanan ini, salah satu hadits yang relevan misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang artinya: “Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda orang-orang beriman yang paling baik imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
Adapun salah satu ayat yang relevan dengan esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keihsanan ialah QS. Ali Imran/3: 159, yang artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zilalil Qur`an bahwa ayat tersebut di atas terkait perilaku baik akhlak terpuji yakni kelembutan hati Nabi Muhammad SAW yang memberikan pelajaran kenabian yang tinggi kepada umatnya mengenai musyawarah dan menyepakati hasil keputusan musyawarah tersebut serta bertekad bulat melaksanakan hasil musyawarah dengan menanamkan sikap tawakkal kepada Allah SWT setelah bermusyawarah. Artinya kecerdasan hati Nabi Muhammad SAW dalam ayat ini dilandasi oleh kompetensi keihsanan. Simpulan ini juga merujuk pada penafsiran lain yang menyebutkan bahwa ada beberapa sikap terpuji yang lahir dari kecerdasan hati yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW yaitu sikap lemah lembut, memberikan maaf, memohonkan ampunan kepada Allah untuk umatnya, musyawarah, dan bertawakkal kepada-Nya. Perilaku baik atau akhlak terpuji yang lahir dari kelembutan hati Nabi Muhammad SAW dalam ayat tersebut di atas merupakan contoh konkrit dari esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keihsanan.
Berdasarkan analisis dari paragraf terdahulu, maka pembahasan mengenai esensi kecerdasan hati dalam Al-Qur`an menyimpulkan bahwa esensi kecerdasan hati dalam Al-Qur`an meliputi tiga aspek yaitu, Pertama, esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keimanan yaitu kemampuan hati untuk memanifestasikan ajaran Islam ke dalam bentuk amalan-amalan batin seperti rasa syukur dan sabar. Kedua, esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keislaman yaitu kelapangan hati untuk menerima segala perintah Allah SWT dan segala ketentuan-Nya yang dimanifestasikan dalam bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Ketiga, esensi kecerdasan hati sebagai kompetensi keihsanan yaitu kemampuan hati untuk memanifestasikan keimanan dan keislaman ke dalam bentuk perilaku baik atau akhlak terpuji.
Editor: IS