Kata ibadah dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar dari kata `abada, ya`budu yang bermakna tunduk merendahkan dan menghinakan diri kepada dan di hadapan Allah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ibadah artinya perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sedangkan secara istilah kata ibadah dalam pandangan para ulama tidak mempunyai formulasi yang disepakati sebagaimana yang disebutkan oleh Abdul Kallang dalam Konteks Ibadah Menurut Al-Qur`an. Dengan demikian, ibadah secara terminologis ditemukan dalam ungkapan yang berbeda-beda. Misalnya, Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah menyebutkan pengertian ibadah menurut ulama tauhid sebagai mengesakan Allah dan mengagungkan-Nya dengan sepenuh-penuhnya serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa untuk menyembah hanya kepada-Nya. Sedangkan bagi ulama fikih ibadah diartikan sebagai segala kepatuhan atau ketaatan yang dikerjakan untuk mencapai keridaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat nanti. Adapun menurut ulama tasauf bahwa ibadah adalah segala pekerjaan seseorang yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsunya untuk membesarkan Tuhannya.
Di samping keumuman arti ibadah di atas, juga ada pengertian lainnya dari ibadah yaitu seperti yang dikemukakan oleh Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Ibadah fil Islam. Menurutnya ibadah merupakan segala hal apapun yang dilakukan dalam kehidupan manusia yang didasari dengan niat kebaikan. Pengertian ini menjadikan ibadah sangat tergantung dengan niat. Maksudnya adalah segala sesuatu hal yang dilakukan akan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk kebaikan. Namun apabila dilakukan tanpa niat kebaikan atau bahkan bisa saja diniatkan untuk kejahatan, maka tentunya tidak bernilai ibadah atau bahkan menjadi kemunkaran. Konsep ini bisa dikatakan terkait dengan salah satu hadits yang artinya: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang diniatkannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pentingnya niat kebaikan secara implisit membatasi pengertian ibadah menjadi lebih khusus. Misalnya kekhususan arti ibadah yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Minhajul ‘Abidin, yaitu bahwa ibadah merupakan suatu cara atau jalan yang diniatkan untuk menuju rida Allah, mencapai kebahagiaan, dan menggapai surga-Nya di akhirat nanti. Oleh karena itu, Al-Ghazali berpesan jangan sampai ibadah yang dilakukan hanya karena keterpaksaan dari kewajiban atau sekedar melepas tanggung jawab. Setidaknya ibadah yang dilakukan didasarkan atas tiga macam motivasi yaitu, Pertama, ibadah termotivasi karena khauf atau rasa takut terhadap siksa neraka. Kedua, ibadah termotivasi karena raja` atau pengharapan terhadap pahala dan surga. Ketiga, ibadah termotivasi karena rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang diterimanya.
Al-Ghazali menambahkan penjelasannya bahwa ibadah yang termotivasi karena pengharapan terhadap pahala dan surga lebih baik dari pada ibadah yang termotivasi karena adanya rasa takut terhadap siksa neraka. Alasannya adalah karena pengharapan dapat membuat seseorang bertambah rasa cintanya kepada Allah. Sedangkan rasa takut apabila berlebihan dialami, maka bisa saja menyebabkan munculnya rasa putus asa. Meskipun demikian, namun menurut Al-Ghazali motivasi ibadah karena rasa pengharapan tidak bisa mengungguli motivasi ibadah karena adanya rasa syukur kepada Allah. Motivasi ibadah karena rasa syukur menjadikan pelakunya tidak lagi melihat segala perintah Allah sebagai sesuatu yang mengandung ancaman menakutkan atau sesuatu yang menjanjikan kebahagiaan.
Dengan demikian, maka ibadah yang termotivasi karena rasa syukur menjadi lebih utama diekpresikan dihadapan Allah dari pada ibadah yang termotivasi karena khauf (rasa takut) dan raja` (pengharapan). Ibadah yang termotivasi karena rasa syukur atau ibadah ekspresi rasa syukur artinya adalah ketaatan penuh kepada Allah yang diekspresikan ke dalam bentuk amalan-amalan saleh yang besifat ritual seperti shalat, dan amalan-amalan saleh yang bersifat sosial seperti berinfak atau bersedekah, karena adanya kesadaran sepenuh hati atas segala nikmat pemberian-Nya sambil memuji-Nya baik secara batin dalam hati maupun secara zahir diucapkan dengan lisan.
Arti ibadah ekspresi rasa syukur ini merujuk kepada pendapat Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa yang mendefinisikan kata syukur sebagai pujian yang dilakukan dengan hati, lisan, dan seluruh anggota badan. Rujukan lainnya adalah pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Uddah Al-Shabirin wa Dzakhirah Al-Shakirin yang mengatakan bahwa syukur terdiri dari tiga rukun yakni, Pertama, mengakui dengan sepenuh hati bahwa nikmat yang diperolehnya benar-benar berasal dari Allah. Kedua, memuji Allah sepenuh hati atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Ketiga, memanfaatkan nikmat yang diberikan Allah untuk ketaatan hanya kepada-Nya.
Kedua pendapat tersebut berhubungan erat dengan QS. Al-Baqarah/2: 172, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, bahwa ayat ini memerintahkan orang-orang beriman untuk bersyukur kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah mereka menyembah. Shihab juga menjelaskan arti syukur yang seirama dengan pendapat Al-Jauziyah sebagaimana pada poin ketiga. Menurutnya syukur adalah mengakui dengan tulus bahwa anugrah yang diperoleh semata-mata bersumber dari Allah sambil menggunakannya sesuai tujuan penganugrahannya atau menemfaatkannya pada tempat yang semestinya. Kesadaran atas nikmat dari Allah dan memanfaatkannya pada tempat yang semestinya sehingga menjadi ibadah sebagai refleksi rasa syukur ini, bagi Abdurrahman bin Nashir al-Sa`di dalam Taisir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manan terhadap ayat ke-172 dari QS. Al-Baqarah tersebut di atas berarti pelakunya telah memelihara kenikmatan yang ada, dan sekaligus akan memunculkan kenikmatan-kenikmatan yang sebelumnya tidak ada.
Penafsiran terhadap QS. Al-Baqarah/2: 172 oleh M. Quraish Shihab dan Abdurrahman bin Nashir al-Sa`di membuktikan bahwa ibadah refleksi rasa syukur atau ibadah yang termotivasi karena rasa syukur menjadi lebih utama diekpresikan dihadapan Allah. Adapun bukti lainnya adalah totalitas ibadah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, karena termotivasi ingin menjadi hamba yang bersyukur sebagaimana yang disebutkan dalam satu hadits, yang artinya: “Aisyah RA berkata, Rasulullah SAW ketika melaksanakan shalat maka beliau berdiri hingga kedua kakinya bengkak. Aisyah RA bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perbuat, sedangkan dosamu yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni.” Lalu beliau menjawab, “Wahai Aisyah, bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”. (HR. Muslim).
Editor: IS