Bagi sebagian orang, hermeneutika bukan lagi hal yang baru dan menarik. Alasannya, itu adalah isu lama yang memang pernah mengguncang jagad pemikiran Islam, termasuk di Indonesia beberapa tahun lalu, tetapi perkembangannya tidak sesignifikan yang pernah diperkirakan bahwa akan membelokkan arah pemikiran Islam. Itu adalah sejenis alasan yang pesimis. Memang tampaknya alasan ini cukup kuat karena tokoh-tokoh yang kini masih secara eksplisit memperjuangkan hermeneutika tidak banyak. Tersisa pemikir seperti Syahiron Syamsuddin atau Amin Abdullah, dan beberapa lainnya. Pemikiran mereka pun bergema hanya di ruang-ruang akademik.
Alasan lainnya, tugas hermeneutika sesungguhnya sudah selesai. Tidak ada lagi yang tidak terpengaruh oleh hermeneutika. Setiap upaya penafsiran saat ini, sadar atau tidak, telah terpengaruhi oleh hermeneutika. Alasan yang kedua ini menjelaskan alasan pertama di atas, bahwa meski tidak semembahana dulu, itu terjadi karena memang setiap orang sudah terpengaruh oleh hermeneutika dalam cara mereka memahami kitab suci.
Hermeneutika sempat kembali mengganggu jagad akademik Indonesia beberapa tahun lalu kala sebuah disertasi tentang milk al-yamiin hadir di salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka. Era media sosial membuat tema itu cepat beredar dan menjadi viral. Memang peristiwa tersebut sempat mencoreng nama baik hermeneutika tetapi tetap saja pertanyaan hermeneutika menjadi mendapatkan perhatian, yaitu pertanyaan yang berbunyi: Bagaimana tema milk al-yamiin bisa hadir di dalam kitab suci dan bagaimana tema tersebut dipahami di masa kontemporer?
Kedua alasan di atas cukup kuat dan sepertinya begitulah kenyataannya. Namun, belakangan muncul seorang ilmuwan bernama Muhammad Salim Abu Ashi’ yang pernah menjabat sebagai Dekan Pascsarjana di Universitas Al-Azhar, Kairo. Beberapa karyanya seperti al-Mustashfaa fii ‘Uluum al-Qur`aan, Tanziih al-Qur`aan ‘an Mathaa’in min Mawaathiin al-Zulal fii Tafsiir al-Qur`aan, dan sebagainya. Pada prinsipnya, karya-karya Muhammad Salim adalah kritik terhadap hermeneutika. Di dalam dunia akademik, ketika sesuatu dikritik, maka pastilah sesuatu itu sangat penting. Jadi, meski tidak baru, hermeneutika masilah sangat penting.
Dalam salah satu bukunya, al-Mustashfaa fii ‘Uluum al-Qur`aan, Muhammad Salim memberikan kritik tajam kepada pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dengan kalimat al-Qur’aan nashshun syakkalahuu al-waaqi’. Muhammad Salim memahami bahwa salah satu usulan hermeneutika yang paling mengguncang adalah pendapat Nasr Hamid bahwa al-Qur`an itu muntaj tsaqaafii, diproduksi oleh budaya. Jika Muhammad Salim hendak mengkritisi hermeneutika, maka memang isu itulah salah satu yang harus dia tanggapi.
Kritik Muhammad Salim tentulah sesuatu yang sangat berharga bagi dinamika pemikiran Islam, terutama studi Al-Qur`an. Namun, juga tidak kalah penting apa sesungguhnya yang dikritik oleh Muhammad Salim. Tanpa pemahaman yang cukup tentang apa yang dikritik oleh Muhammad Salim, maka pemikirannya hanyalah menonjok ruang hampa atau seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Selama ini, perdebatan tentang hermeneutika oleh pendukung dan penolaknya terhenti pada bahwa hermeneutika bertentangan dengan akidah Islam. Jadi, seakan-akan umat Islam diperhadapkan pada menjadi muslim atau kafir saat berurusan dengan hermeneutika. Mungkin kenyataan itu tidak salah, tetapi itu bukanlah perdebatan ilmiah. Mudah-mudahan Muhammad Salim Abu Ashi’ mampu membawa perdebatan itu keluar dari ruang pengap muslim-kafir.
Telah lama perdebatan keilmuan dalam Islam terjadi dalam keadaan tercampur antara urusan teologis dengan urusan ilmiah. Itu terjadi karena teologi tidak lagi keyakinan tetapi sudah berbentuk teks dan teks itupun sudah memiliki interpretasi tunggalnya masing-masing. Jadi, ketik sebuah kritik hadir, maka itu sama saja mengkritisi keyakinan, padahal ada kemungkinan tidak sejauh itu. Itulah yang disebut ruang pengap.[]
Editor: AMN
1 Comment