Menilik sejarah perkembangan tafsir, menurut Adz-Dzahabi dalam karyanya “At-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn” bahwa periode tafsir telah dibagi menjadi tiga. Pertama, mengacu pada periode zaman Rasulullah SAW dan sahabat. Pada masa tersebut para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang langsung kepada penafsiran yang disampaikan Rasulullah SAW. Sehingga Adz-Dzahabi menyebutkan keistimewaan pada periode Rasulullah SAW salah satunya adalah tidak ada aliran tafsir tertentu.
Kedua, pada periode tabi’in. Karakteristik dalam periode ini baru mulai muncul perbedaan madzhab tafsir tertentu dan juga mulai disusupi kisah isrāiliyāt. Baru pada periode ketiga, tafsir memasuki zaman kodifikasi (tadwin). Periode ini dimulai pada akhir pemerintahan bani Umayyah dan awal pada masa Abbasiyyah. Tafsir telah berkembang dan menampakkan kekhasan ciri aliran yang berbeda-beda, istilah ilmiah telah dimasukkan dalam menangkap pesan al-Qur’an. Sehingga muncul berbagai warna seperti filsafat, sains, gaya sufi dalam khazanah tafsir. (Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsīr Al-Mufassirūn-Jilid 1, 2000).
Terlepas dari penjelasan pembuka singkat di atas, karakteristik dunia tafsir telah mengalami perkembangan yang signifikan. Dengan demikian, metode penulisan tafsir pun berbeda, secara umum terbagi menjadi dua yaitu bi al-ma’śūr dan bi ar-ra’y. Tetapi pada zaman abad pertengahan, karya As-Suyūṭi (Lahir 1445 M) dalam tafsir Ad-Dur bi Manśūr Fī Tafsīr Al-Ma’śūr justru mengacu pada metode bi al-ma’śūr tanpa adanya ijtihad.
Metode penulisan yang diaplikasikan As-Suyūṭī dalam tafsir Ad-Dūr bi Manśūr mengacu pada riwayat-riwayat Nabi dan perkataan sahabat. As-Suyūṭī mencantumkan riwayat-riwayat tersebut dari sisi kebahasaan maupun dalam memaparkan makna yang dimaksud. Dengan begitu, secara eksplisit penjelasan dalam menginterpretasikan ayat hanya ditekankan pada aspek riwayat tanpa menambahkan penjelasan subjektifnya.
Kitab Ad-Dur Al-Manṣūr Fī At-Tafsīr Al-Ma’śūr merupakan ringkasan dari karya As-Suyūṭī sebelumnya yaitu Tarjumān Al-Qur’ān yang memuat sekitar 10.000 hadis marfū` dan mauquf, kitab yang dikategorikan sebagai kitab musnad hadis yang terdiri dari empat jilid. Kemudian diringkas dengan tidak mencantumkan keseluruhan sanad hadis tetapi menetapkan matannya. Hasil ringkasan tersebut dijadikan kitab yang diberi nama “Ad-Dur Al-Manśūr Fī Tafsīr Al-Ma`śūr”. (Muqaddimah dalam karya Jalaluddin As-Suyūṭī, Ad-Dur Al-Manśūr Fī Tafsīr Al-Ma`śūr-Jilid 1,2011).
Sumber-sumber hadis yang dicantumkan dalam kitab tafsir Ad-Dur Al-Manśūr merupakan hasil takhrij dari kitab-kitab yang mu’tabar. Riwayat-riwayat hadis yang dikutip terdiri dari Imam Al-Bukhārī, An-Nasā’ī, At-Tirmiżī, Abū Dāud, Ibnu Jarīr, Ibnu Ḥātim dan lain-lain. Tetapi As-Suyūṭī tidak memilih antara riwayat yang ṣaḥiḥ dan ḍa`īf. Sehingga As-Suyūṭī mencampurkan keduanya (antara ṣaḥiḥ-ḍa`īf). (Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsīr Al-Mufassirūn-Jilid 1, 2000).
Karakteristik tafsir Ad-Dur al-Manṣūr sebenarnya karya yang menjurus salaf (generasi awal muslim). Sehingga teori yang digunakan As-Suyūṭī mengacu pada penafsiran yang dapat memberikan legitimasi tunggal dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebagaimana telah disinggung oleh Walid Saleh ( sarjana Muslim dan pengajar Universitas toronto) dalam penelitiannya yang berjudul “Ibn Taymiyya and the Rise of Radical Hermeneutics : An Analysis of An Introduction to the Foundations of Qur’ānic Exegesis” bahwa teori As-Suyūṭī dalam menafsirkan al-Qur’an sama dengan teori penafsiran Ibn Taimiyah yang menyeru kembali kepada al-Qur’an dan As-Sunnah. Saleh mengatakan, Ibn Taimiyyah telah mengartikulasikan dan mempromosikan pemikirannya. Kemudian dalam tradisi tafsir abad pertengahan sosok mufasir yang telah menerapkan teori Ibn Taimiyyah setelah kematiannya adalah muridnya Ibn Kaśīr dan As-Suyūṭī dalam tafsir Ad-Dur Al-Manśūr Fī Tafsīr Al-Ma’śūr.
Seperti halnya nama belakang yang diberikan As-Suyūṭi “Fī Tafsīr Al-Ma’śūr” mengacu pada penjelasan tafsir al-Qur’an berdasarkan riwayat yang meliputi ayat dengan ayat al-Qur’an sendiri, riwayat hadis Nabi dan Sahabat. Adapun sistematika penulisan yang digunakan adalah tartīb muḥāfi (sesuai urutan mushaf yang berawal dari al-fatiḥah sampai an-nās). Sedangkan metode yang digunakan berbentuk tahlili (analitis) bi al-ma’śūr.
Karakteristik lain dalam tafsir Ad-Dūr Al-Manśūr adalah setiap penjelasan diawali dengan kata “akhraja” kemudian baru menjelaskan penggalan ayat masing-masing berdasarkan riwayat-riwayat. Kekhasan kata “akhraja” dalam tafsir karya As-Suyūṭī tersebut dapat dijadikan sebuah karakteristik khusus untuk mengenali tafsir Ad-Dūr Al-Manśūr. Hal demikian karena As-Suyūṭī sangking banyaknya menggunakan kata “akhraja” dalam tafsirnya.
Pembahasan di dalam tafsir Ad-Dūr Al-Manśūr berawal dari mencantumkan nama surah dengan diikuti golongan surah dan jumlah ayat. Sebelum menjelaskan memasuki penggalan-penggalan ayat, As-Suyūṭī terlebih dahulu menyampaikan penjelasan asbāb an-nuzūl surah secara global ataupun penjelasan yang berkaitan dengan surah tersebut. Kemudian baru menjelaskan ayat-ayatnya dengan metode bi al-ma’śūr.
Metode bi al-ma’śūr dalam penafsiran al-Qur’an yang tidak disertai sedikitpun penjelasan penafsir juga mengalami kekurangan dalam memahami ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan riwayat yang dicantumkan mempunyai sisi konteks historis yang berbeda dengan kondisi zaman sekarang. Misal saja mengenai ayat yang menyerukan perang dalam al-Qur’an dengan diikuti penjelasan Nabi pada saat itu untuk berperang, tidak bisa disamakan dengan sekarang yang kondisinya semakin menjunjung tinggi perdamaian.
Selain salah satu kelemahan di atas mengenai tafsir bi al-ma’ṣūr. Tafsir Ad-Dūr Al-Manśūr juga menyimpan sisi kelemahan karena tidak adanya penjelasan Jarḥ Wa Ta’dīl dalam menjelaskan bentuk keshahihan maupun keḍa’īfan dalam riwayat hadis. Hal ini dapat dijadikan sebagai penelitian lebih lanjut bagi peneliti dalam bidang kajian ilmu al-Qur’an dan tafsir. Walaupun demikian As-Suyuṭī dalam tafsir Ad-Dūr Al-Manśūr sayogyanya telah memberikan kontribusi yang luar biasa dalam memahami ayat al-Qur’an dengan mempertimbangkan riwayat-riwayat Nabi.
Kembali pada penelitian Walid Saleh di atas yang mengatakan bahwa teori penafsiran As-Suyūṭi “Ad-Dūr Al-Manśūr” sama dengan teori yang digunakan oleh Ibn Taimiyyah dalam menafsirkan al-Qur’an. Penulis mencoba melacak apakah ada hubungan antara As-Suyūṭī dengan Ibn Taimiyah? Karena sepengetahuan penulis As-Suyūṭī tidak pernah berguru dengan Ibn Taimiyah maupun Ibn Kaśīr (murid Ibn Taimiyyah).
Ibn Taimiyyah lahir pada tahun 1263 M sampai 1328 M seorang pemikir dan ulama Islam dari Turki. Ibn Kaśīr (murid dari Ibn Taimiyyah) lahir pada 1300 M sampai pada 1374 M di Suriah. Sedangkan As-Suyūṭī lahir pada tahun 1445 M sampai dengan 1505 M seorang cendekiawan muslim yang hidup pada abad ke-15 di Kairo, Mesir. Diruntut dari masa kehidupannya As-Suyūṭī tidak semasa dengan Ibn Kaṣīr dan Ibn Taimiyyah. Sehingga tafsir Ad-Dūr Al-Manśūr karya As-Suyūṭī masih menyimpan keunikan untuk diteliti oleh peneliti selanjutnya dalam menanggapi hasil penelitian yang disodorkan oleh Walid Saleh. Hal ini dikarenakan As-Suyūṭī tidak ada hubungan antara keduanya, mengapa tafsir Ad-Dūr Al-Manṣūr Fī Tafsir Al-Ma’śūr sama dengan teori Ibn Taimiyyah. Apakah hanya kebetulan ataukah memang adanya keterpengaruhan?