Khazanah pemikiran ulama nusantara pada dasarnya tak kunjung selesai untuk senantiasa dikaji, selalu ada penemuan-penemuan baru yang mewarnai pemahaman terhadap kekayaan tradisi intelektual umat Islam Nusantara. Perlu untuk diketahui, kualitas-kualitas intelektual para ulama di nusantara pada dasarnya tidak kalah membanggakan dibandingkan ulama-ulama luar nusantara khususnya Timur Tengah.
Salah satu yang akan didiskusikan dalam artikel ini ialah Kiai Sholeh Darat (1820-1903 M) dengan karya tafsirnya Tafsir Faidh ar-Rahman. Kiai Sholeh Darat atau dalam riwayat lain disebut juga Syaikh Muhammad Sholih bin Umar as-Samarani tidak lain merupakan guru daripada beberapa tokoh kiai besar di Nusantara. Seperti Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kiai Dimyathi Termas Pacitan dan, dalam beberapa riwayat, juga menjadi guru bagi Raden Ajeng (RA) Kartini. Tafsir yang ia tulis, yakni Tafsir Faidh ar-Rahman terbilang tafsir yang sangat layak mendapatkan perhatian dalam ranah akademik. Selain karena coraknya yang sufi-isyari, tafsir ini juga lahir di tengah-tengah gempuran dan besarnya tekanan pasukan Belanda kepada kaum pesantren dan para tokoh agama pada saat itu.
Prinsip perlawanan terhadap kolonialisme inilah yang kemudian menjadi salah satu yang menyebabkan beliau menerapkan metode tulisan Jawa Pegon dalam sistem penulisan kitabnya. Banyak orang mempercayai bahwa gaya penulisan beliau secara politis, bisa diartikan sebagai sikap perlawanan terhadap Belanda, di mana Belanda pada saat itu melarang segala penulisan bahasa daerah dan kemudian mewajibkan dan menetapkan bahasa latin sebagai bahasa resmi negara. (Wildana Zulfa, 2021)
Tetapi hal yang lebih menarik lagi selain gaya penulisan kitab ini, adalah corak tasawufnya yang sangat kental dirasa dalam kegiatan tafsirnya. Hal ini salah satunya bisa dilihat tatkala beliau memaknai lafadz khamr dalam QS al-Baqarah: 219, di mana ia mengartikan lafadz tersebut menjadi dua lapis makna, yakni khamr dzahir dan khamr bathin.
Dimana khamr dzahir ialah suatu minuman perasan anggur yang membuat siapa saja yang meminumnya menjadi mabuk dan tidak sadarkan diri. Sedangkan khamr bathin, ialah ittiba’ al-hawa (hawa nafsu) ghaflah (lalai terhadap tuhan) dan hubb ad-dunya (cinta dunia). Mengonsumsi khamr, baik itu dzahir dan batin, haram hukumnya, karena ia akan memabukan kita dan membuat kita lalai kepada Allah, sehingga pada akhirnya ia juga akan mewujud menjadi penghalang bagi kita untuk sampai kepada-Nya (wushul ila Allah).
Karakter penafsiran seperti ini tentu bukanlah bentuk penafsiran yang baru dalam khazanah keIslaman, penafsiran sufi-isyari, atau penafsiran dengan berbasis pada tasawuf, pada dasarnya sudah hadir beberapa abad jauh sebelum Kiai Sholeh Darat lahir. Karakter penafsiran seperti itu, sudah dilakukan oleh beberapa ulama di abad pertengahan seperti Imam al-Ghazali (1058-1111 M), al-Qusyairi (986-1072 M) ataupun Ibnu Arabi (1165-1240 M).
Berikut penulis secara lebih lanjut akan menguraikan beberapa latar belakang dari pada pemikiran sosok Kiai Sholeh Darat, bagaimana proses pembentukan keilmuannya, dan adakah faktor-faktor tertentu yang melahirkan Kiai Sholeh Darat menjadi lebih cenderung bercorak tasawuf dalam penafsiran-penafsirannya.
Latar Sosial dan Historis Keilmuan Kiai Sholeh Darat
Manusia merupakan produk lingkungannya, begitulah yang disampaikan Karl Mekanheimm (1893-1947 M) salah satu sosok tokoh sosiolog modern abad 19. Manheim, secara lebih jauh mengatakan bahwa pemikiran manusia itu tidak mungkin lahir dari sebuah keadaan atau ruang yang kosong. Secara langsung ataupun tidak langsung, secara sadar maupun tidak, manusia bergerak atas refleksi horizon masyarakat sekitarnya.
Manheim percaya, segala tindak laku, perbuatan bahkan pengetahuan itu lahir tergantung kelas dan konteks sosialnya. Hal yang paling penting disorot di sini adalah “pengetahuan”. Pengetahuan yang terdapat di masyarakat merupakan pengaruh besar dari dua hal berikut, yakni ideologi dan weltanschauung (world view) yang berkembang di daerah di mana masyarakat itu hidup.
Inilah mengapa jika dalam konteks Islam, masyarakat yang lahir dari peradaban sunni akan berbeda dengan masyarakat yang lahir dari peradaban syiah. Begitupun dari segi geografis, masyarakat yang tinggal di suatu daerah yang gersang, panas akan berbeda dengan masyarakat yang tinggal daerah yang iklimnya cenderung iklim tropis, ataupun dingin.
Bagi Manheim, semua hal mempengaruhi, mulai dari kondisi geografis, sosial budaya, politik, instansi, lembaga-lembaga semua akan membentuk karakteristik pengetahuan tersendiri di masyarakat. Artinya, ada satu keadaan yang berbanding lurus antara pengetahuan dan kondisi sosial historis yang menyebabkan pengetahuan itu muncul.
Setidaknya terdapat tiga kondisi sosial geografis, yang secara historis, sedikit banyak mempengaruhi hadirnya pengetahuan Kiai Sholeh Darat. Pertama, pondok pesantren, sebagai lembaga (obyektivasi) yang sudah melakat secara erat dalam perjalanan sosial beliau. Kedua, suku Jawa, sebagai suatu identitas suku yang menjunjung tinggi nilai-nilai tasawuf. Ketiga, Semarang, sebagai sebuah kota yang menjadi korban kolonialisme Belanda pada saat itu.
Dalam konteks pemikiran Kiai Sholeh Darat, pondok pesantren memegang peranan penting dalam pembentukan keilmuannya. Tentu kita tidak pernah meragukan itu, namun hal lain yang mungkin jarang kita sorot adalah karakteristik dari etnis beliau, yakni Jawa yang memiliki kekentalan tersendiri dengan tasawuf. Bahkan jauh Sebelum pondok pesantren lahir, Jawa merupakan sebuah lokasi geografis yang memiliki hubungan yang erat dengan praktik-praktik tasawuf. Ini terbukti dari banyaknya praktik-praktik thariqah yang berkembang di daerah ini, seperti thariqah naqsabandiyah, syattariyyah maupun syadziliyyah yang bahkan eksistensi thariqah-thariqah tersebut masih berkembang sampai sekarang. (Agus Sunyoto, 2017)
Selain itu, kuatnya hubungan masyarakat Jawa dan tasawuf di abad tersebut juga bisa dilihat dari bagaimana penyebaran Islam itu baru berhasil secara efektif melalui jalur dakwah para sufi. Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo (2017) memaparkan bahwa para sufi di masa-masa penyebaran awal Islam di nusantara memiliki metode dakwah yang sangat diterima di masyarakat. Karakter dakwahnya yang cenderung luwes, terbuka dan adaptif terhadap budaya-budaya sekitar, menjadikan mereka diterima secara baik di masyarakat.
Oleh karena itu, pada akhirnya, karena keberhasilan metode dakwah para sufi itulah yang melahirkan Jawa tumbuh sebagai sebuah kawasan geografis yang memiliki karakter tasawuf tersendiri yang cukup kuat di Nusantara. Banyak tokoh-tokoh Jawa menjalani praktek thariqah-thariqah, para ulama, priyayi bahkan dari kalangan istana seperti pangeran Diponegoro (1785-1855 M), juga merupakan penganut thariqah, yakni thariqah syattariyyah.
Melihat dari kuatnya hubungan antara masyarakat Jawa dan tasawuf pada masa hidup Kiai Sholeh Darat, maka kita bisa berspekulasi bahwa “pengetahuan”-nya sedikit banyak terpengaruh dari konstruksi sosial yang telah terbentuk di sekitarnya. Hal ini diperkuat lagi dengan perjalanan intelektual Kiai Sholeh Darat dalam berguru ke berbagai ulama-ulama sufi, baik yang ada di Nusantara maupun yang ada di Mekkah. Maka tidak mengherankan jika dalam produk pengetahuannya, yang dalam hal ini tertuang dalam kitab tafsirnya, Kiai Sholeh Darat banyak menuangkan penafsiran-penafsiran sufistik, di mana karakteristik dari penafsiran sufistik adalah selalu berusaha mengungkap makna batin dibalik makna lahir.
Referensi :
Abdul Mustaqim, Tafsir Jawa; Eksposisi Nalar Sufi Isyari Kiai Sholeh Darat (Yoyakarta: Idea Press, 2018)
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo (Tangerang; Pustaka Iman & LESBUMI NU, 2017)
Peter Berger and Luckman T, The Social Construction of Reality (England: Penguin Group, 1966)
Wiwi Siti Syajaroh, Adaptasi Ajaran Tasawuf di Jawa; Perspektif Personal dan Kultural, Jurnal Indo-Islamika, juli no.2, 2017