Agama Islam sebagai agama yang diyakini oleh para pemeluknya adalah agama yang ideal. Dengan diturunkannya Islam, dimaksudkan untuk menghapus segala bentuk perbudakan, penindasan dan ketidakadilan pada masa pra-Islam. Pada masa pra-Islam masyarakat Jahiliyah menganut sistem patriarki dimana perempuan pada saat itu tidak berharga atau bahkan dianggap layaknya barang yang bisa diwariskan. Pada masa itu juga, perempuan sepenuhnya berada di bawah kendali laki-laki (Leila Ahmed, 1992: 49).
Gambaran tentang betapa tidak berharganya perempuan dijelaskan kebenarannya dalam bebrapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya dalam QS. An-Nahl ayat 59:
يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Artinya: “Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
Kemudian Islam datang menyelamatkan perempuan dari penindasan sebuah masyarakat yang sangat diskriminatif dan tidak memanusiakan perempuan. Walaupun pada hakikatnya sampai saat ini dinamika ketidakadilan gender masih mewarnai kehidupan kita. Oleh sebab itu perlu rekonstruksi pemahaman dalam konsep tauhid sebagai aspek paling fundamental dalam Islam yang mengakui dan menkankan pada kesetaraan manusia (Arifudin, 2006: 24).
Setiap Rasul membawa ajaran yang sama, yaitu tauhid. Ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., tentu bukan hal yang baru namun juga dibawa oleh Nabi-Nabi sebelumnya. Pada masa Nabi Musa a.s., tauhid artinya tidak menuhankan kekuasaan seperti yang dilakukan Fir’aun, masa Nabi Syu’aib a.s., tauhid berarti tidak menuhankan harta sehingga curang dalam berniaga, dan pada masa Nabi Luth a.s., tauhid berarti anti menuhankan libido seks (Nur Rofiah, 2020: 50).
Adapun ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., adalah konsep tauhid yang membawa misi kemanusiaan melalui ajaran Islam yang berimplikasi terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Selama 23 tahun masa kerasulannya, Nabi Muhammad SAW., berproses membebaskan perempuan dari aneka bentuk ketidakadilan. Misalnya, dengan memastikan bagian warisnya, nilai saksinya, hingga posisinya dalam perkawinan.
Konsep dalam bertauhid tidak hanya menekankan pada keesaan Tuhan yang mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Konsep tauhid juga merupakan jalan keluar atas berbagai interpretasi agama Islam yang bias. Karena tauhid bukan hanya tentang nilai-nilai ketuhanan namun juga nilai-nilai sosial dalam memanusiakan manusia sebagai subjek penuh.
Tauhid dalam Islam mengubah secara revolusioner kedudukan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dilarang menuntut perempuan untuk tunduk mutlak, sebab sebagai sesama hamba Allah SWT., keduanya hanya boleh tunduk mutlak kepada Allah SWT. Prof Quraish Shihab dalam bukunya juga menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berkewajiban menciptakan menciptakan situasi harmonis dalam bermasyarakat (Quraish Shihab, 2018: 3).
Kalimat tauhid berupa “Tiada Tuhan selain Allah SWT”., artinya semua manusia sama dan setara. Karena semuanya adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Maka manusia bukanlah Tuhan bagi manusia lainnya. Raja bukanlah Tuhan bagi rakyat, suami bukanlah Tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah Tuhan bagi orang miskin, dan majikan bukanlah Tuhan bagi ART (Asisten Rumah Tangga). Semua manusia memiliki posisi setara. Maka konsep tauhid memiliki implikasi terhadap kesetaraan dan keadilan.
Bangunan konsep aqidah (tauhid) yang memiliki visilitas-pun akhirnya tidak sekedar dimaknai pada peng-esa-an Allah SWT., sebagai salah satu -satunya Illah yang layak untuk disembah. Namun ketauhidan ini juga membawa konsekuensi logis atas proklamasi manusia sebagai khalifatullah fil ardh (khalifah di muka bumi) yang siap untuk mensejahterakan bumi beserta isinya (Ichsan Wibowo Saputro, 2016: 261).
Amanah kekhalifahan menghendaki laki-laki dan perempuan sama-sama aktif bekerja sama mewujudkan kemaslahatan dalam sistem kehidupan. Dua-duanya adalah subjek penuh sistem kehidupan sehingga sama-sama wajib ikhtiar mewujudkan kemaslahatan sekaligus sama-sama berhak menikmatinya, baik dalam perkawinan, keluarga, masyarakat, negara dan dunia.
Nur Rofiah, seorang pemikir feminis Muslim di Indonesia juga menambahkan dalam bukunya Nalar Kritis Muslimah bahwa perempuan bukan hamba laki-laki sebab keduanya sama-sama memiliki status melekat hanya sebagai hamba Allah Swt. Sebagai khalifah fil Ardh juga keduanya harus menjadi mitra dalam memakmurkan bumi.
Tauhid dan Konsep Kesetaraan
Dalam konteks kesetaraan gender, problem yang berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan muncul karena beberapa hal seperti pemahaman terhadap teks keagamaan yang bias gender dan penafsiran teks keagamaan yang tidak sensitive gender. Tauhid memberikan afirmasi untuk menghapus problem-problem yang muncul dalam doktrin agama yang merupakan yang merupakan penafsiran dan pemahaman yang tidak sesuai dengan konteks keagamaan yang dimaksud (Arifudin, 2006: 9).
Pentingnya kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan beragama untuk mengembalikan fungsi dasar agama sebagai pembebas yang telah disalahpahami dan disalahtafsirkan untuk menindas, mendiskriminasi, dan mensubordinasi yang lemah. Dalam Islam, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama hamba yang memiliki kesempatan yang sama untuk beribadah, berhubungan dengan Tuhan dan berkiprah dalam kehidupan sosial. Disinilah titik persinggungan dalam tauhid dan gender.
Islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang. Keyakinan yang secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan. Artinya, keyakinan yang berkesetaraan yang tidak membenarkan ketidakadilan karena alasan gender. Dalam prinsip tauhid ini, kemuliaan yang ada dalam diri manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghromati. Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya (Henri Shalahuddin, 2022: 109).
Amina Wadud juga menegaskan bahwa sistem sistem sosial adalah Tindakan menyekuutukan Tuhan dan kesombongan yang bertentangan dengan konsep tauhid, karena kesetaraan gender adalah sejalan dengan prinsip tauhid.
Tauhid dan Konsep Keadilan
Dalam konsep keadilan, tauhid juga membawa kepada prinsip keadilan. Dengan tauhid kita yakin hanya ada satu Tuhan, dan kita semua manusia adalah ciptaan-Nya. Salah satu sifat Tuhan adalah Maha Adil. Sebagai hamba, kita yakin Tuhan akan selalu berlaku adil kepada semua hamba-Nya, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari tauhid menjadi pegangan pokok yang mebimbing dan mengarahkan manusia manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta.
Dengan demikian, tampak bahwa bahwa tauhid bukan sekedar doktrin keagamaan yang statis. Tauhid adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan, dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas diskriminasi, ketidakadilan, kezaliman, rasa takut, penindasan individua tau kelompok yang lebih kuat, dan sebagainya. Itulah konsep tauhid yang diajarkan dan dilakukan oleh Rasulullah Saw. (Musdah Mulia, 2015: 2)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Leila. Woman and Gender in Islam. London: Yale University, 1992.
Arifudin. Tauhid dan Gender. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Mulia, Musdah. Mengupas Seksualitas. Jakarta: Opuss Press, 2015.
Rofiah, Nur. Nalar Kritis Muslimah. Bandung: Afkaruna, 2020.
Saputro, Ichsan Wibowo. Konsep Tauhid Menurut Abdul Karim Amrullah dan Implikasinya terhadap Tujuan Pendidikan Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016.
Shihab, Quraish. Perempuan. Tangerang: PT. Lentera Hati, 2018.
Sholahuddin, Henri. Ideologi Gender dalam Islam Gender. Jakarta: Unida Gontor Press, 2022.