Dalam perkembangannya, kajian tafsir saat ini semakin luas bersentuhan dengan ilmu sosial lainnnya, salah satunya dengan narasi kesetaraan gender. Selain menyoal eksklusivitas laki-laki dalam redaksi Al-Qur`an, para feminis muslim pun menggugat ekslusivitas peran laki-laki dalam penafsiran. Dobrakan yang dilakukan Nazira Zainuddin dalam melakukan pembacaan Al-Qur`an berdasarkan kacamata perempuan, memicu semangat para perempuan lainnya untuk meruntuhkan eksklusivitas peran laki-laki dalam penafsiran agama. Islam dipandang sebagai agama yang me-“misoginis”-kan perempuan disebabkan karena adanya kesalahpahaman dalam membaca teks-teks yang secara redaksional bersifat hirarkis. Kesalahpahaman pembacaan tersebut pun ditengarai tidak bisa dilepaskan dari dominasi laki-laki dalam penafsiran. Dua hal ini akan terus berputar menjadi sebuah polemik tersendiri bagi feminis muslim.
Menurut Riffat Hassan, semua sumber-sumber ajaran Islam seperti Al-Qur`an, hadis dan fiqih, hanya ditafsirkan oleh laki-laki muslim, yang pada kenyataannya belum memiliki kesiapan untuk memaknai status ontologis, teologis, sosiologis dan eskatologis perempuan muslim (Hassan, 1995:75—76). Begitu pun menurut Amina Wadud, penafsiran yang ada selama ini secara ekslusif ditulis oleh laki-laki. Artinya, laki-laki dan pengalamannya dilibatkan dalam penafsiran itu, sementara perempuan dan pengalamannya ditiadakan, atau ditafsirkan berdasarkan visi, perspektif, keinginan, atau kebutuhan laki-laki terhadap perempuan (Wadud, 1999:2). Lalu disusul oleh pernyataan Asma Barlas bahwa sebagai seorang perempuan, ia akan mengajukan beberapa pertanyaan seputar Al-Qur`an yang tidak mungkin diajukan oleh laki-laki (Barlas, 2003:20). Oleh karenanya, para feminis muslim ini merekontruksi penafsiran Al-Qur`an yang disebut oleh Hidayatullah sebagai penafsiran feminis (Hidayatullah, 2014:4).
Narasi-narasi di atas merupakan narasi gender dalam wacana tafsir yang dapat dikerucutkan kepada satu kesimpulan bahwa perbedaan biologis seorang mufasir mempengaruhi hasil penafsiran. Subjektivitas penafsiran laki-laki yang diklaim oleh feminis muslim menjadi bumerang sendiri bagi mereka karena nyatanya hasil penafsiran mereka pun tidak terlepas dari subjektivas penafsir. Objektivitas penafsiran yang sangat diyakini oleh para mufasir feminis nampaknya hanya klaim sepihak saja. Berangkat dari celah tersebut, lantas sejauh mana perbedaan biologis mempengaruhi hasil penafsiran? Untuk menjawab pertanyaan ini, metode yang tepat untuk digunakan adalah metode komparatif, yaitu dengan membandingkan hasil penafsiran mufasir laki-laki dan mufasir perempuan.
Dengan mempertimbangkan kesamaan genealogi mufasir, Zainab Ghazali (1917 M—2005 M) sebagai perwakilan mufasir perempuan dan Sayyid Quthb (1906 M—1966 M) sebagai perwakilan mufasir laki-laki menjadi relevan untuk dikomparasikan. Keduanya memiliki beberapa persamaan, di antaranya keduanya dilahirkan di Mesir pada awal abad 20; keduanya berasal dari keluarga religius; keduanya tumbuh di masa transformasi sosial yang fundamental di kawasan Timur Tengah; keduanya berkonfrontasi dengan wacana feminisme Barat yang mulai menyentuh dunia Islam; keduanya hidup di tengah pergolakan politik Mesir yang sangat rumit; dan keduanya merupakan anggota kelompok Ikhwanul Muslimin yang diinisiasi oleh Hasan Bana, murid dari Rasyid Ridha yang berujung pada Jalaluddin Afghani. Kesamaan-kesamaan ini digunakan oleh penulis untuk melihat seberapa besar situasi tersebut memiliki pengaruh terhadap mufasir atau apa yang disebut “prapemahaman” dan “effective history”oleh Gadamer
Potret Penafsiran Zainab dan Quthb
Zainab dan Quthb memilik karya tafsir Al-Qur`an 30 juz yang masing-masing diberi judul Nazharât fȋ Kitâbillâh dan Fi Zhilâl al-Qur`ân. Kedua tafsir ini bercorak ijtimâ’i untuk merespon perkembangan zaman. Selain itu, Fi Zhilâl al-Qur`ân pun bercorak haraki. Bedanya, Zainab menyajikannya dengan penjelasan yang singkat agar mudah dipahami oleh semua kalangan masyarakat, sedangkan Quthb menyajikannya dengan penjelasan yeng lebih panjang dan bernuansa sastra.
Salah satu ayat yang dibidik oleh penulis adalah penafsiran QS. An-Nisa/4:1. Selama ini, jumhur mufasir—yang kebetulan semuanya adalah laki-laki—mengartikan kata nafs wâẖidah dengan “Adam”, kata minhâ dengan “dari Adam”, dan kata zaujahâ dengan “pasangan Adam yaitu Hawa”. Artinya, perempuan pertama (Hawa) diciptakan dari jiwa Adam. Pemahaman para mufasir ini didasarkan pada adanya hadis sahih yang mengatakan bahwa perempuan pertama (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Jika merujuk pada diskusi feminis, maka akan dijumpai beberapa pandangan. Hassan memasukkan ayat ini sebagai satu dari tiga landasan teologis yang harus direkonstruksi pemahamannya, yaitu keyakinan bahwa ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan. Dengan metode intratekstual dan semangat pembacaan egalitarian, menurut Hassan, Wadud dan Barlas, kata nafs wâẖidah lebih tepat dipahami dengan unsur yang satu. Artinya, laki-laki dan perempuan diciptakan dari unsur yang sama dan tentunya dengan cara dan waktu yang sama. Dengan demikian, penjelasan ini dapat meluruskan keyakinan yang keliru bahwa ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki dan dari laki-laki itulah baru diciptakan perempuan. Pemahaman yang mereka tawarkan dianggap lebih adil gender, karena berimplikasi pada sebuah asumsi bahwa keduanya adalah makhluk yang setara.
Memotret penafsiran Zainab dan Quthb, keduanya sama sekali tidak menyebut kata “Adam” sebagai maksud dari kata nafs wâẖidah, juga tidak menyebut kata “Hawa” sebagai maksud dari zaujahâ, meskipun arah penafsiran keduanya sama-sama menuju ke sana. Zainab mengatakan bahwa “Setengah dari jiwa laki-laki adalah jiwa perempuan” (Ghazali, 1994:281). Sedangkan Quthb mengatakan bahwa “Allah menciptakannya satu jiwa sebagai permulaan, lalu menciptakan darinya pasangannya” (Quthb, 1412 H:574).
Penulis melihat bahwa keduanya tidak begitu mempermasalahkan makna nafs wâẖidah sebagaimana dianggap penting oleh para feminis muslim sebagai pemahaman yang berimplikasi pada inferioritas perempuan. Untuk menjawab polemik awal penciptaan perempuan ini yang terkesan menomorduakan perempuan berdasarkan hasil penafsiran jumhur mufasir, keduanya hanya menekankan bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu jiwa yang sama, meskipun jiwa perempuan merupakan setengah jiwa laki-laki. Jika setengah jiwa laki-laki adalah jiwa perempuan, maka jiwa mereka adalah jiwa yang satu. Kedudukan jiwa keduanya sama dan setara. Bagaimana mungkin jika perempuan berasal dari setengah jiwa laki-laki menjadikan dia hina dan laki-laki itu mulia. Bukankah jika perempuan dianggap hina, maka jiwa asalnya sudah tentu bersifat hina juga.
Penafsiran keduanya pada ayat di atas memang memiliki kesamaan penafsiran dengan para mufasir yang penafsirannya dikritik oleh para feminis muslim di atas. Penulis melihat bahwa keduanya telah dipengaruhi oleh tradisi dan otoritas yang menegelilingi keduanya, yaitu sebagai sosok yang dari kecil sudah dicekoki pemahaman Al-Qur`an versi mufasir yang ada, Meskipun demikian, hasil penafsiran keduanya tidak dapat dikatakan bias karena adanya penjelasan serta penekanan yang menggiring pembaca untuk berasumsi bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama, meskipun memiliki peran yang berbeda karena tercipta dengan struktur penciptaan yang berbeda pula sesuai dengan fungsinya. Adanya sikap seperti ini, tentunya karena keduanya telah terpengaruh dengan perkembangan zaman yang semakin melek untuk menghargai kemanusiaan. Keterpengaruhan pemahaman keduanya dari situasi yang mewacanakan pembebasan perempuan kala itu disebut sebagai effective history (kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah).
Dari potret penafsiran keduanya di atas, disimpulkan bahwa penafsiran laki-laki tidak selalu bias atau bersifat subjektivis demi memperkuat superioritasnya. Begitu pun dengan penafsiran perempuan, belum tentu selamat dari ketidakbiasan. Terbukti ditemukannya penafsiran Zainab terhadap kata shâliẖât (An-Nisa/4:34) yang mengaitkannya dengan suami. Sehingga, apabila perempuan meninggalkan perintah suami, maka ia terbilang nusyuz. Penafsiran seperti inilah yang dikritik oleh feminis muslim karena menimbulkan asumsi bahwa seorang istri itu menghamba kepada suami. Berbeda dengan Quthb, justru ia menjelaskanya bahwa kesalehannya itu berkaitan erat dengan ketentuan Tuhan yaitu ketaatan pada-Nya.
Merespon penilaian bias terhadap suatu penafsiran, nampaknya penilaian tersebut adalah wacana kelompok pembaca Al-Qur`an yang egalitarian. Tolak ukur yang mereka gunakan sudah sangat jelas, yaitu prinsip bahwa Al-Qur`an itu egaliter dan implikasinya perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang setara. Jika ada penafsiran yang agak kabur dari esensi egaliter, maka akan dengan mudah dihukumi bias. Begitupun dengan anggapan subjektivitas mufasir laki-laki dan objektivitas mufasir perempuan. Sejumlah tokoh intelektual Muslim, seperti Ali, Rhouni, dan Hidayatullah, mengkritik pembacaan feminis egalitarian yang diyakini tidak subjektif. Mereka menyatakan bahwa pembacaan egaliter terhadap Al-Qur’an cenderung dipengaruhi oleh pandangan subjektif tentang kesetaraan gender, terutama ketika ayat sulit dimaknai sejalan dengan wacana tersebut.
Menurut logika hermeneutika Gadamer, hal tersebut pun sangat tidak mungkin. Setiap mufasir pasti subjektif, tidak ada yang objektif. Memahami teks itu tidak mungkin steril dari keterlibatan mufasir dengan segala wacana yang ada pada dirinya dan didapatkan dari konteks yang mengitarinya. Dalam teori effective history-nya, ada beberapa situasi yang dapat mempengaruhi mufasir, seperti tradisi, budaya, dan pengalaman hidup. Kusmana bahkan memasukan lintasan, kapasitas, kebiasaan, arena, lingkungan, kecenderungan mufasir, usaha serta kekuatan sosial (seperti bahasa, keluarga maupun sistem negara) yang dapat mempengaruhi hasil penafsiran. Dari sini terlihat bahwa bukan hanya perbedaan biologis yang dapat membedakan hasil penafsiran. Banyak faktor yang dapat membedakannya. Ada perbedaan posisi, perbedaan keyakinan, perbedaan kepekaan, perbedaan pendidikan, hingga perbedaan cara pembacaan.
Berdasarkan hasil penafsiran Zainab dan Quthb, maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran keduanya tidak ada perbedaan secara esensi pemahaman. Perbedaannya hanya pada corak penafsiran dan metode penafsiran. Dari kesimpulan ini dapat pula menjawab bahwa perbedaan biologis tidak memiliki pengaruh yang signifikan dibanding perbedaan sosio historis atau perkembangan zaman kala itu. Apa yang dikatakan Gadamer dengan prapemahaman dan effective history itulah yangsangat mempengaruhi hasil penafsiran.
Para mufasir klasik sering dianggap memiliki penafsiran yang bias, bukan semata karena mereka laki-laki, tetapi karena dipengaruhi oleh kesadaran yang terikat pada kondisi patriarki pada zamannya. Mereka melihat praktik patriarki sebagai sesuatu yang alami dan menganggapnya sebagai adat yang tak terhindarkan. bisa saja perempuan yang menafsirkan di era klasik terindikasi bias, sedangkan laki-laki yang menafsirkan di era modern sudah tidak lagi terlihat bias. Kusmana menunjukkan bahwa pandangan yang meremehkan perempuan pada masa itu disebabkan oleh keterbatasan partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Namun, kesadaran akan kesetaraan gender muncul secara bertahap seiring dengan perkembangan sosial dan nilai-nilai demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, dan peningkatan keadilan dalam masyarakat modern (Kusmana, 2022:37). Mufasir modern seperti Zainab dan Quthb lebih cenderung memiliki kesadaran tersebut yang berimplikasi terhadap penafsirannya. Namun, ada pula mufasir modern yang belum terpengaruh oleh kesadaran tersebut, sehingga masih menghasilkan penafsiran yang dianggap bias.
Top of Form
Referensi:
Barlas, Asma. Believing Women in Islam, London: Oxford University Press, 2003.
Gazali, Zainab. Nazharât fȋ Kitâbillâh. Kairo: Darul Suruq, 1994, cet.1, jilid.1.
Hassan, Riffat dan Fatima Mernisi, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca-Patriarkhi, diterjemahkan oleh Tim LSPPA, Yogyakarta: LSPPA, 1995.
Hibri, Azizah. Qur`anic Fundations of The Rights of Muslim Women in The Twenty First Century. t.tp:t.p, t.th.
Hidayatullah, Aysha A. Feminist Edges of the Qur`an. NewYork: Oxford University Press, 2014.
Kusmana, Maksud Tuhan dalam Penafsiran Manusia: Dinamika Pembacaan Al-Quran Feminis. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakaarta, 2022.
Mubarak, Hadia. “Women’s Contemporary Readings of The Qur`an” dalam Archer, Gerage, et.al. (ed) The Routledge Companion to the Qur`an. New York: Routledge, 2022.
Muhsin, Amina Waadud. Qur`an and Women Rereading the Secret Text from a Women’s Perspective. New York: Oxford University Press, 1999.
Quthb, Sayyid. Fȋ Zhilâl al-Qur`ân. Kairo: Darus Syuruq, 1412 H.