Salah satu masalah politik yang akhir-akhir ini diperbincangkan adalah nepotisme, yang berasal dari kata nepos atau nepotis bermakna keponakan. Dari kata ini lahir istilah nepotisme yang secara makna adalah praktik mengangkat keluarga dekat menjadi pegawai pemerintahan, memberi perlakuan istimewa untuk mengangkat nama keluarga hingga memperkuat organisasi politik.
Dalam departemen Pendidikan Nasional, nepotisme adalah: sikap kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. Kecenderungan menguntungkan dan memilih keluarga atau saudara dalam jabatan lingkungan pemerintahan. (Nasional, 2001: 726) Nepotisme dalam konteks modern, erat kaitannya dengan korupsi dan kolusi (populer dengan istilah KKN) karena ia berada dalam satu nafas, praktik ini sering dipandang negatif karena melanggar keadilan, hukum, sikap tak bertanggung jawab. (Klitgaard, 2001; XIII)
Vice versa, persoalan timbul ketika mengingat konteks kisah kenabian dalam al-Qur’an. Diantaranya, kisah Musa dan Harun sebagai saudara, serta pengangkatan pemimpin dalam kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman selaku anaknya. Maka lahirlah sebuah pertanyaan, bolehkah menerapkan sistem nepotisme menurut al-Qur’an?
Perlu dipahami bahwa al-Qur’an bukanlah kitab Sejarah atau buku cerita, meski di dalamnya terdapat banyak kisah dan sejarah yang bertujuan untuk pembelajaran bagi pembacanya. Redaksi ayat kisah dalam al-Qur’an tentu mengandung maksud dan tujuan, penting untuk dianalisis bagaimana kekerabatan dan pengangkatan posisi yang diuraikan al-Qur’an, dan bagaimana konteks al-Qur’an; menolak atau mendukung?
Pertama, dalam QS. Shad: 30-35 dikisahkan tentang hubungan Ayah-anak antara Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.
Terjemahnya:
“Dan kepada Dawud Kami karuniakan (anak bernama) Sulaiman; dia adalah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah). (Ingatlah) ketika suatu sore dipertunjukkan kepadanya (kuda-kuda) yang jinak, (tetapi) sangat cepat larinya, maka dia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, sampai matahari terbenam.” “Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku.” Lalu dia mengusap-usap kaki dan leher kuda itu. Dan sungguh, Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian dia bertobat. Dia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.”
Sulaiman adalah salah seorang putra Daud. Di antara para saudaranya, ia nampak paling menonjol. Dalam usia muda, ia telah memberi saran terhadap ayahnya menyangkut persoalan masyarakat. Maka dialah yang ditunjuk menjadi raja untuk menggantikan sang ayah. Banyak kisah Nabi Sulaiman yang berkembang dan menjadi misteri ilmu pengetahuan, salah-satunya mampu berbicara dengan hewan. Beliau juga dikenal cerdas, bijaksana dan adil. (Syahabuddin, tt; 17)
Sebagai contoh, dalam kasus perselisihan antara pemilik ladang anggur dan pemilik kambing (Qutaibah, t.t; 244-245), disini Sulaiman menunjukkan kebijaksanaan, pemikiran kritis dan memberikan pemahaman mendalam tentang keadilan dari ayahnya. Allah juga mengabadikan kebijaksanaan dan keadilan Nabi Sulaiman ini dalam QS. Al-Anbiya: 78-79. (Abdillah, t.t; 78-79)
Nabi Sulaiman diberkahi dengan banyak kelebihan, keadilan serta kebijaksanaan yang luar biasa. Dalam QS. Al-Anbiya: 78-79 menegaskan bahwa kualitas diri yang dimiliki Nabi Sulaiman adalah pemberian Allah swt yang diakui dan dihargai. Nabi sulaiman mampu menunjukkan bahwa pengangkatannya sebagai Nabi didasarkan pada kualitas dan pencapaiannya, bukan semata-mata karena pengaruh privillagenya.
Kedua, Ketika Nabi Musa menerima wahyu untuk memimpin Bani Israel keluar dari Mesir, beliau meminta Allah untuk mengangkat saudaranya sebagai asisten. (QS. Thaha: 29-32)
…وَاجۡعَلْ لِّىۡ وَزِيۡرًا مِّنۡ اَهۡلِىْ هٰرُوۡنَ اَخِى اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي
Terjemah:
“…Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah kekuatanku dengannya, dan sertakan dia dalam urusanku (kenabian)”
Dalam ayat tersebut, terdapat lafadz “wazir” وَزِيۡرًا yang berasal dari kata “wizr” وزر berarti beban yang berat. Karena itulah dosa disebut “wazir“, karena orang yang berdosa memikul beban yang berat. Nabi Musa meminta seorang pembantu dari keluarganya sendiri, yaitu saudaranya Harun. (Sayyid Quthb, 2001, 400) Setelah bermohon penyempurnaan yang berkaitan dengan pribadinya, kini Nabi Musa as. bermohon pengukuhan melalui keluarganya.
Nabi Musa mengetahui bahwa saudaranya memiliki kefasihan bicara, keteguhan hati, dan ketenangan temperamen, sementara Nabi Musa sendiri cenderung emosional, mudah tersinggung, dan cepat marah. Oleh karena itu, Nabi Musa memohon kepada Tuhannya agar saudaranya dapat membantu, mendukung, memperkokoh posisinya, dan menjadi teman untuk berdiskusi dalam urusan-urusan besar.
Analisis Ayat al-Qur’an Tentang Nepotisme
Nepotisme dalam tatanan hukum positif Indonesia adalah setiap perbuatan penyelenggara negara yang secara melawan hukum menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara (UU RI No. 28, 1999), sedangkan istilah Arab memiliki makna hampir serupa, nepotisme adalah ashabiyah (kesukuan), (Ibn Khaldun, t.th. 128).
Nepotisme adalah sikap kecenderungan yang dimiliki oleh pemimpin/yang memiliki kekuasaan memberikan posisi penting kepada kerabat atau teman akrabnya dan seringkali tidak memperhatikan kemampuan atau kelayakan mereka.
Dalam konteks ini, ayat-ayat al-Qur’an sering dijadikan sebagai referensi untuk menilai tindakan nepotisme dan memberikan panduan tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap. Salah satu ayat yang relevan dalam menganalisa terkait nepotisme diantaranya:
Qs. Al-A’raf/7: 142
۞ وَوٰعَدْنَا مُوْسٰى ثَلٰثِيْنَ لَيْلَةً وَّاَتْمَمْنٰهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيْقَاتُ رَبِّهٖٓ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً ۚوَقَالَ مُوْسٰى لِاَخِيْهِ هٰرُوْنَ اخْلُفْنِيْ فِيْ قَوْمِيْ وَاَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيْلَ الْمُفْسِدِيْنَ
Terjemah:
“Dan berkata Musa kepada saudarannya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan prbaikilah, dan janganlah kami mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”
Dalam ayat ini, Nabi Musa menggambarkan tindakan dalam memberikan mandat kepada suadaranya, Harun, untuk menggantikannya sementara dalam memimpin Bani Israil. Sikap memperlakukan saudaranya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, termasuk profesionalisme, tanggung jawab dan integritas dalam kepemimpinan tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan kebaikan.
Nabi Musa as. sangat memperlakukan saudaranya secara professional dengan memberikan arahan yang jelas kepada Harun, dengan menekankan pentingnya memperbaiki keadaan ummat dan menghindari jalan orang yang membuat kerusakan. Ini menunjukkan bahwa keputusan tersebut bukanlah tindakan nepotisme tanpa dasar. Nabi Musa juga bukan hanya memberikan arahan, tetapi memastikan tugas tersebut dilaksanakan dengan baik.
QS.al-Nisa’/4: 135
۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
Terjemahnya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikan (kata-kata) atau enggang menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Ibn Katsir berpendapat bahwa keharusan berlaku adil tersebut harus dilakukan meskipun dirinya sendiri akan mendapatkan bahaya (mudarat), meskipun akhirnya keluargannya menjadi miskin, karena hak Allah lebih utama daripada hak kekeluargaannya sendiri (Ibn Katsir, tt, 80). Lafadz كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ, “jadilah penegak keadilan”, memiliki makna yang sangat kuat. Perintah berlaku adil dapat disampaikan dengan i’dilû, “berlaku adillah”, lebih tegas lagi kûnû muqassithȋn, “jadilah orang yang adil”, puncaknya adalah kûnû qawwâmȋna bi al-qist, “jadilah penegak keadilan” (al-Qurtubi,t.t, 617).
Al-Nahl/16: 90
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebajikan, serta memberikan bantuan kepada kaum kerabat; dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar serta kezaliman. Ia mengajar kamu (dengan suruhan dan larangannya ini), supaya kamu mengambil peringatan mematuhiNya.”
Adil adalah moderasi: “tidak mengurangi tidak juga melebihkan,” dan masih banyak rumusan yang lain. Kata iẖsân menurut al-Harrali adalah puncak kebaikan amal perbuatan (terhadap hamba maupun hamba dengan Allah). Kata (ȋtâ’/pemberian) mengandung makna-makna yang sangat dalam. Sebenarnya pemberian kepada sanak keluarga telah dicakup dalam dua hal yaitu adil dan ihsan. Tetapi agaknya hal ini sengaja ditekankan di sini, karena sementara orang mengabaikan hak keluarga atau lebih senang memberi bantuan kepada orang lain yang bukan keluarganya. (Shihab, 2002, 328-331)
Antara Kisah al-Qur’an dan Nepotisme
Sikap nepotisme ini menandakan sikap kecenderungan seorang pemimpin atau pejabat dengan memberikan keistimewaan kepada kerabat tanpa memperhatikan kelayakan mereka. Dalam konteks modern, Nepotisme sering dikaitkan dengan sikap KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) dan dipandang negatif karena melanggar prinsip keadilan dan tanggung jawab.
Contoh dalam kisah al-Qur’an, dalam kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, Sulaiman diangkat menjadi raja oleh ayahnya, karena kebijaksanaan dan kemampuannya yang luar biasa, bukan semata-mata karena hubungan darah yang mereka miliki. Sedangkan dalam kisah Nabi Musa dan Harun, Harun diangkat sebagai asisten karena kefasihannya dan sifat lain yang melengkapi kelemahan Musa.
Prinsip keadilan dan profesionalisme yang ditekankan dalam al-Qur’an diantaranya:
Al-A’raf; 142, menegaskan pentingnya keadilan dan tanggung jawab dalam kepemimpinan dengan memberi arahan yang jelas dan professional. QS. An-Nisa; 135, menekankan pentingnya menjadi penegak keadilan tanpa mengikuti hawa nafsu, meskipun terhadap diri atau keluarga. QS. An-Nahl; 90, menekankan antara keseimbangan keadilan dan pemberian hak kepada kerabat.
Referensi
Abdillah, Ummu, Kisah Raja yang Adil; Nabi Sulaiman a.s, Raudhatul Muhibbin, t.th.
Al-Qurtubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, juz V, Libanon; Dar al-Fikr, tt.
Katsir, Ibn, Tafsir Ibn Katsir, Suriah: Dar al-Qalam al-Araby, tt.
Khaldun, Ibn, Muqaddimah, Beirut : Dar al-Fikr, tth.
Klitgaard, Robert, Controlling Corruption, Terjemahan; Hermoyo dengan judul Membasmi Korupsi. Cet. II. Edisi ke-2. Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Lajnah Pentashih al-Qur’an Departement Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Bekasi: Sukses Publishing, 2012.
Nasional, Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, cet. Ke-1, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Pasal 1 Bab I ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin, Gharib al-Qur’an li Ibn Qutaibah, Juz I, t.d.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jilid 12, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, jil.4, Jakarta: Lentera hati, 2002.
Syahabuddin, Kisah Nabi-nabi, t.th.