Tidak dipungkiri lagi, pernikahan dalam syariat Islam harus bermuara pada sakīnah, mawaddah, dan rahmah (samara). Namun, penafsiran kitab suci Al-Qur’an atas teknis beserta cara menuju relasi ideal suami istri tersebut tidak selalu seragam alias satu warna. Penafsiran mengenai bagaimana seharusnya suami istri dalam berumah tangga berlandaskan teks suci sepertinya akan senantiasa diperbincangkan.
Satu penafsiran menempatkan suami sebagai sosok superior, dominan, dengan alasan ini penting dimiliki oleh kepala keluarga. Sedang penafsiran lain berbicara dari sudut pandang relatif lebih setara. Baik suami maupun istri, keduanya memiliki andil signifikan dalam mewujudkan keluarga samara.
Artikel ini mencoba untuk menjelajahi ragam penafsiran atas surah Al-Baqarah ayat 228 yang sarat akan relasi suami istri, terutama pada kata darajah dalam kalimat wa lirrijāli ‘alaihinna darajah yang disinggung pada ayat tersebut. Sekilas, makna penggalan kata pada ayat itu mengunggulkan laki-laki. Sepertinya tidak ada ruang penafsiran lain selain pemahaman bahwa laki-laki ditahbiskan oleh Tuhan sendiri, lebih unggul dari perempuan.
Sayangnya, kenyataan berkata lain. Pemaknaan atas ayat tersebut sepanjang lintasan sejarah bagaimana cara mufasir memaknainya, sangat gemuruh, variatif, tidak satu suara. Tulisan ini tidak untuk membenarkan atau menyalahkan salah dua, tiga, atau empat penafsiran yang ada. Meski pada akhirnya, tulisan ini tidak dapat mengelak untuk tidak berpihak pada penafsiran tertentu.
Kitab Relasi Suami Istri di Pesantren
Kiranya, titik tolak penafsiran atas surah al-Baqarah ayat 228 pada tulisan ini bukan kitab-kitab tafsir arustama. Penulis lebih tertarik memulai penelusuran bagaimana pemaknaan mufasir dari kitab relasi suami istri yang populer di dunia pesantren, utamanya pesantren tradisional. Di antara kitab pedoman rumah tangga paling masyhur di lembaga pendidikan Islam tradisional ialah kitab ‘Uqūd al-Lujain. Kitab yang dikarang oleh Syekh Nawawi Banten.
Kakek buyut Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin tersebut memulai bab ‘Hak Istri atas Suami’ dalam karyanya itu dengan mengutip ayat 228 pada surah al-Baqarah. Pada penggalan kata darajah, Syekh Nawawi menafsirkan kata tersebut sebagai landasan suami memiliki hak lebih dibanding istri. Alasannya sederhana, karena suami bertanggung jawab atas mahar dan nafkah istrinya.
Oleh sebab itu, terang Syekh Nawawi, istri wajib patuh kepada suami. Sehingga dapat dipahami, maksud hak lebih menurut Syekh Nawawi adalah hak kepatuhan yang diperoleh suami, ini berarti suami tidak perlu patuh kepada istri (Al-Bantani, t.t.: 6).
Penafsiran Syekh Nawawi sama sekali tidak mengejutkan dan mungkin telah menjadi pandangan umum bahwa relasi suami istri dalam Islam memang idealnya seperti itu. Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), mengamini ayat 228 pada surah al-Baqarah yang kerap kali menjadi landasan derajat perempuan secara mutlak lebih rendah dari laki-laki (FK3, 2001: 12).
Tidak hanya itu, Husein Muhammad menyebut kitab rujukan pesantren ketika berbicara soal relasi suami istri, tidak lepas dari paradigma dan perspektif patriarkis. Nilai-nilai yang harus dipegang perempuan mengandung bias penguasaan laki-laki atas perempuan.
Di antaranya, istri wajib patuh kepada suami–persis penafsiran di atas–, istri wajib memasrahkan tubuhnya ketika suaminya meminta, tugas istri hanya di rumah tidak lebih, istri tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami, kebolehan suami memukul istri, kerelaan Tuhan berada pada kerelaan suami, dan poligami sebagai ketetapan agama yang sebaiknya tidak dibantah oleh istri (Muhammad, 2019: 57-64).
Penafsiran ‘Suami Dominan’ dari Kontemporer Hingga Klasik
Jejak penafsiran di mana suami ditempatkan lebih superior dibanding istri mudah ditemukan di karya tafsir, lebih-lebih karya tafsir klasik. Bahkan, masih dapat dijumpai pada kitab tafsir kontemporer yang digadang-gadang berpikiran maju, revolusioner. Sebut saja karya tafsir Rasyid Ridla (w. 1354 H) dan gurunya Muhammad Abduh (w. 1265 H), al-Manār.
Penulis tidak sedang menafikan al-Manār soal penafsirannya pada ayat 228 surah al-Baqarah secara keseluruhan. Sebab pada penggalan ayat walahunna miṡlullażī ‘alaihinna bil ma‘rūf, tafsir tersebut secara berimbang menjelaskan hak perempuan atas suaminya melampaui penjelasan tafsir klasik.
Namun, ketika menghadapi ayat wa lirrijāli ‘alaihinna darajah, tafsir al-Manār mengakui bahwa pada taraf tertentu, suami memang harus dominan dibanding istri, terutama ketika suami istri berseteru dan silang pendapat. Istri harus memasrahkan keputusan akhir kepada suami.
Menurut al-Manār, suami lebih mengetahui kemaslahatan rumah tangga dan lebih mampu menakhodai keluarga. Ini, lanjut al-Manār, menjadi faktor suami yang dituntut mencari nafkah dan melindungi perempuan. Karena hal ini pula, istri akhirnya dituntut patuh kepada suami. Jika kemudian istri memberontak, suami dapat menasehatinya, memilih pisah ranjang, sampai memukulnya dengan catatan tidak sampai melukainya dan dilakukan dengan tujuan mendidik (Ridla, 1990: 2/301).
Begitu pula tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Ibn ‘Asyur (w. 1393 H), tafsir tersebut banyak menghadirkan ragam rasionalisasi mengapa laki-laki secara alamiah lebih dominan dari istri. Ibn ‘Asyur tidak segan menyebut akal laki-laki lebih cerdas dari perempuan. Ibn ‘Asyur mengajak pembaca melihat dunia hewan sebagai pembenaran; jantan pasti lebih cekatan daripada betina.
Lebih jauh, Ibn ‘Asyur menyebut satu-persatu kelebihan suami dari istrinya yaitu suami berhak poligami, fisik yang lebih kuat, talak serta rujuk berada di tangan suami dan sebagainya. Berdasarkan keunggulan-keunggulan ini, Ibn ‘Asyur berpendapat ketika terjadi perselisihan hendaknya keputusan akhir berada di tangan suami (‘Asyur, 1984: 2/402).
Tafsir-tafsir kontemporer seperti ini, mirip, meski tak serupa dengan tafsir Ibn Katsir yang mengatakan darajah pada ayat ini bermakna keunggulan laki-laki dari sisi akhlak, kedudukan, suami berhak untuk ditaati istri, menafkahi, pelaksana kemaslahatan, bahkan keunggulan suami tidak hanya di dunia melainkan sampai akhirat sana (Katsir, 1998: 1/459). Sehingga dapat dipahami bahwa ‘darajah’ bagaikan privilese mutlak untuk laki-laki, di atas perempuan.
Menelaah Alam Pikir Mufasir
Boleh jadi, teks penafsiran kata darajah yang sarat dominasi suami dipengaruhi oleh sistem kehidupan di mana laki-laki lebih dominan. Ruang publik sepenuhnya milik laki-laki. Mulai dari pengatur kebijakan politik, ekonomi, norma sosial, hingga kesempatan kerja hanya tersedia bagi laki-laki. Sebelum jenis pekerjaan beragam seperti hari ini, sangat mungkin makna ‘kerja’ atau ‘mencari nafkah’ itu sendiri merupakan jenis pekerjaan kasar yang hanya mampu dilakukan oleh laki-laki.
Penafsiran ‘suami dominan’ dari perspektif ini, mungkin saja berusaha melindungi perempuan dari pekerjaan kasar. Sebagai timbal balik, sewajarnya istri menaati suami sepenuhnya selama tidak bertentangan dengan perintah Tuhan.
Jika memang demikian, penafsiran jenis ini tertantang oleh realitas sistem kehidupan masa kini. Terutama di perkotaan, di mana jenis pekerjaan sangat inklusif baik bagi laki-laki dan perempuan, banyak istri yang turut aktif di ruang publik. Seringkali istri menerima beban ganda karena harus bekerja, baik di luar maupun di dalam rumah. Konsekuensinya, penafsiran semacam itu akan terkesan sangat kuno dan ketinggalan zaman karena dinilai tidak menjungjung kesetaraan.
Penafsiran Klasik yang Melampaui Zamannya?
Seperti telah disinggung di awal, mufasir tidak kompak ketika memaknai kata darajah pada surah al-Baqarah. Menarik untuk diperhatikan, kesimpulan tafsir yang menyuguhkan pemaknaan suami dominan sedikit bergeser dari kesimpulan mufasir awal. Mahaguru para mufasir, al-Tabari (w. 310 H) dalam karyanya Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl āy al-Qur’ān memiliki kesimpulan sama sekali berbeda dari penafsiran yang dibahas sebelumnya.
Selayaknya tafsir ensiklopedis, mula-mula al-Tabari menghadirkan ragam pendapat penafsiran kata darajah. Di antara pandangan yang dikemukakan ialah riwayat sahabat Ibn Abbas. Pandangan ini menafsirkan kata darajah sebagai usaha suami agar dapat lebih unggul dari istri dengan cara mengambil alih tugas yang telah menjadi kewajiban istri ketika istri tidak dapat melaksanakannya.
Penafsiran ini semacam menuntut suami supaya bersikap gentleman dengan meringankan tugas istri dan diambil alih olehnya. Uniknya, pendapat penafsiran ini tidak menyinggung soal ketaatan istri kepada suami. Justru yang terjadi adalah anjuran bagi suami untuk meringankan beban tugas istri.
Lebih lanjut, Al-Tabari menekankan bahwa jika ingin dilabeli unggul, suami harus mengambil porsi lebih dalam melaksanakan tugas rumah tangga. Ini artinya darajah dimaknai sebagai keistimewaan bersyarat bagi laki-laki, tidak mutlak. Dari lima pendapat yang dihadirkan, penafsiran riwayat Ibn Abbas ini lah yang diunggulkan oleh al-Tabari (Al-Tabari, 1967: 4/535-536).
Penafsiran al-Tabari ini terbilang cukup unik sebab memandang keunggulan lebih itu didapat dari kontribusinya dalam urusan rumah tangga bukan dari jenis kelamin atau semata-mata hanya karena predikat yang disandang adalah ‘suami’. Jika terbukti kontribusi suami lebih, bahkan sampai menunaikan tugas yang idealnya dilaksanakan oleh istri, baru suami jenis ini dapat dikatakan lebih unggul.
Penafsiran ini membuka ruang pemaknaan bahwa istri juga dapat lebih unggul ketika kontribusinya lebih signifikan dari suami, terlebih bila terbukti istri tersebut banyak mengambil alih tugas yang seharusnya diemban oleh suami. Penafsiran al-Tabari ini kemudian mendapat pujian dari mufasir generasi setelahnya, tepatnya dari Ibn ‘Athiyyah (w. 546 H) dalam al-Muḥarrar al-Wajīz yang menyatakan kesimpulan tafsir al-Tabari tersebut sangat baik dan luar biasa (‘Athiyyah, 2001: 1/306).
Di samping itu, al-Razi (w. 606 H) juga mengetengahkan tafsir sikap kesalingan antara suami dan istri. Walau pada kesimpulannya al-Razi tetap mengatakan istri harus menaati suaminya jika benar suaminya sangat bertanggungjawab. Namun sebelum menuju kesimpulan itu, tafsirnya perlu dipertimbangkan.
Menurutnya, dalam Mafātiḥ al-Gāib ungkapan wa lirrijāli ‘alaihinna darajah memungkinkan dimaknai bahwa baiklah, laki-laki lebih cekatan daripada perempuan, akan tetapi kelebihan anugerah ini berkonsekuensi supaya laki-laki memenuhi hak-hak istri melebihi haknya sebagai suami.
Serta, ungkapan ayat tersebut merupakan informasi yang mengandung ancaman bagi laki-laki agar lebih serius memperlakukan istrinya sebaik mungkin. Alasannya, menurut al-Razi, karena anugerah yang besar berkonsekuensi memikul tanggung jawab yang besar pula.
Tidak hanya itu, al-Razi memaparkan makna dari penggalan ayat tersebut ialah usaha mewujudkan kebahagiaan rumah tangga bersama. Karena tujuan dari pernikahan itu diwujudkan dan diusahakan bersama, baik oleh lelaki, maupun perempuan (Al-Razi, 2000: 6/441).
Penafsiran Masa Kini di Indonesia
Penafsiran jenis ini bagai modal awal bagi mufasir masa kini untuk mengembangkan darajah menjadi lebih seimbang dan tidak ada dominasi, baik suami maupun istri. Tafsir Kementerian Agama RI relatif berhasil mencerminkan tafsir kesetaraan antara suami dan istri. Tafsir ini menyatakan dalam keluarga/rumah tangga, suami dan istri adalah mitra sejajar, saling tolong-menolong dan saling membantu dalam mewujudkan rumah tangga sakinah yang diridai Tuhan. Perbedaan yang ada antara suami dan istri adalah untuk saling melengkapi dan bekerja sama, bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dalam membina rumah tangga bahagia (Kemenag, 2019).
Daftar Bacaan:
Al-Bantani, N (t.t.). Syarḥ ‘Uqūd al-Lujain fī Bayāni Ḥuqūq al-Zaujain. (Surabaya: Darusshalihin)
Al-Razi, F (2000). Mafātīḥ al-Gaib. (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi)
Al-Tabari (1967). Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl āy al-Qur’ān. (Mesir: Dar al-Ma’arif).
FK3 (2001). Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn. (Yogyakarta: LkiS).
Ibn ‘Asyur (1984). al-Taḥrīr wa al-Tanwīr. (Tunis: al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr).
Ibn ‘Athiyyah (2001). Al-Muḥarrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
Ibn Katsir (1998). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
Kemenag (2019). Tafsir Tahlili Qur’an Kemenag. (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an).
Muhammad, H (2019). Islam Tradisional yang Terus Bergerak (Dinamika NU, Pesantren, Tradisi, dan Realitas Zamannya). (Yogyakarta: IRCiSoD).
Ridha, R (1990). Tafsīr al-Mannār. (Mesir: al-Hai’ah al-Misriyah al-‘Ammah li al-Kitab).