Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Qur’an: Perspektif Wilhelm Dilthey

Al-Qur’an sebagai kitab suci Islam memiliki penafsiran yang terus berkembang sejak pertama kali diturunkan. Ribuan tafsiran lahir selama berabad-abad, masing-masing dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan sejarah yang berbeda. Metode yang digunakan untuk memahami Al-Qur’an pun mengalami perubahan, yang mengarah pada keberagaman hasil penafsiran. Salah satu pendekatan penting yang kini banyak digunakan adalah hermeneutika, sebuah metode penafsiran yang menekankan pentingnya konteks dalam memahami teks.

Hermeneutika: Dari Schleiermacher ke Dilthey

Hermeneutika, pada dasarnya adalah seni dan teori penafsiran teks. Pemikiran ini awalnya dikembangkan oleh Friedrich Schleiermacher, yang dianggap sebagai pelopor hermeneutika modern. Namun, Wilhelm Dilthey, filsuf Jerman yang lahir pada 19 November 1833, memberikan kontribusi besar dalam pengembangan metode ini, khususnya dalam hubungannya dengan sejarah dan konteks sosial. (Hardiman, 2015: 65) Dilthey tidak hanya melihat teks dari sudut pandang filosofis, tetapi juga mengembangkan teori pemahaman historis (historical understanding), yang menekankan pentingnya konteks sosial, budaya, dan sejarah dalam menginterpretasikan teks. (Nasution, 2022: 4)

Bacaan Lainnya

Dilthey mengenalkan tiga konsep penting dalam pemahaman teks yang berhubungan erat dengan pendekatan hermeneutikanya. Konsep-konsep ini bertujuan untuk menggali makna yang terkandung dalam teks melalui pendekatan yang mengutamakan pengalaman subjektif dan konteks historis. Tiga konsep tersebut adalah: Pertama, Erlebnis adalah pemahaman yang didasarkan pada pengalaman nyata yang dilalui penulis teks (pengalaman yang hidup). Kedua, Ausdruck adalah ekspresi atau bentuk penyampaian pengalaman dalam teks (ungkapan). Ketiga, Verstehen adalah proses mendalam untuk memahami makna di balik ekspresi atau ungkapan dalam teks (pemahaman). (Hardiman, 2015: 82)

Bagi Dilthey, pemahaman yang baik terhadap suatu teks tidak dapat lepas dari pemahaman tentang konteks sejarah dan sosial di mana teks itu ditulis. Oleh karena itu, memahami teks, baik itu teks sejarah, sastra, atau teks-teks keagamaan seperti Al-Qur’an, memerlukan perhatian pada konteks sosial, budaya, dan sejarah pada masa teks itu diturunkan. (Putri, 2022)

Dilthey dan Hermeneutika Sejarah: Keterkaitan dengan Asbab an-Nuzul

Salah satu pendekatan yang sangat relevan dengan hermeneutika Dilthey adalah asbab an-nuzul, yaitu konteks atau alasan turunnya suatu ayat Al-Qur’an. Dalam ilmu tafsir, asbab an-nuzul menjelaskan peristiwa sejarah yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat, serta kondisi sosial pada masa itu. Pendekatan historis ini sejalan dengan pemikiran Dilthey yang menekankan bahwa teks hanya dapat dipahami sepenuhnya jika kita memahami konteks historisnya. (Assarwani, 2021: 284)

Contohnya, ketika kita membahas tentang pengharaman khamr dalam Al-Qur’an, kita tidak hanya melihat teks ayatnya secara harfiah, tetapi juga menggali latar belakang sosial dan budaya di mana ayat-ayat tersebut diturunkan. Masyarakat Arab pada zaman Nabi Muhammad Saw sangat akrab dengan kebiasaan meminum khamr, yang pada awalnya tidak dihukumi haram. Oleh karena itu, pemahaman tentang bagaimana pengharaman khamr terjadi secara bertahap, serta alasan sosial dan budaya di balik proses ini, sangat penting untuk mendalami makna yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an.

Tahapan Pengharaman Khamr: Pendekatan Hermeneutika Dilthey

Pengharaman khamr dalam Al-Qur’an adalah contoh yang baik untuk menggambarkan bagaimana hermeneutika Dilthey dapat diterapkan dalam menafsirkan teks. Proses pengharaman khamr tidak terjadi dalam satu langkah, tetapi melalui beberapa tahapan yang mencerminkan perubahan sosial dan spiritual dalam masyarakat Muslim. Berikut adalah tahapan-tahapan tersebut:

Tahap Pertama: Surah an-Nahl ayat 67. Ayat ini mulai memperkenalkan khamr dengan menyinggung tentang manfaatnya, namun juga memperingatkan tentang dampak buruknya, yaitu memabukkan. Ayat ini turun sebelum khamr diharamkan, dan pada saat itu, khamr masih dianggap sebagai minuman yang tidak terlarang. Ayat ini lebih bersifat prolog yang membuka jalan untuk pengharaman khamr. Dalam konteks sosial saat itu, khamr adalah bagian dari kebiasaan yang sudah lama ada di masyarakat Arab, dan tidak langsung bisa dihilangkan begitu saja. Pengharaman dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan kesulitan bagi umat Islam yang sudah terbiasa mengonsumsinya. (Shihab, 2002: 280-281)

Tahap Kedua: Surat al-Baqarah ayat 219. Ayat ini menyebutkan bahwa khamr memiliki beberapa mudarat yang lebih besar daripada manfaatnya. Meskipun ayat ini belum mengharamkan khamr, ia memberikan peringatan bahwa khamr adalah sesuatu yang dapat merusak akal dan harta. Ayat ini muncul sebagai respons terhadap pertanyaan sahabat mengenai khamr dan judi, yang pada saat itu masih umum di kalangan masyarakat Madinah. Masyarakat Madinah pada masa itu masih banyak yang mengonsumsi khamr, dan ayat ini menjadi titik awal peringatan terhadap bahaya sosial dan moral dari khamr. (Suyuthi, 2018: 175) Dari perspektif Dilthey, ayat ini mencerminkan pemahaman Nabi Muhammad Saw terhadap kondisi sosial masyarakat Madinah dan perlunya perubahan secara bertahap.

Tahap Ketiga: Surat an-Nisā’ ayat 43. Ayat ini membatasi konsumsi khamr dengan melarang orang yang mabuk untuk melaksanakan salat. Pada saat ini, sebagian umat Islam sudah mulai mengurangi konsumsi khamr karena mereka menyadari akibat buruknya terhadap ibadah. Ayat ini adalah peringatan lebih lanjut yang menunjukkan bahwa khamr dapat mengganggu kewajiban salat. Pada tahap ini, ada perubahan dalam kesadaran umat Muslim mengenai khamr. Beberapa orang mulai mengurangi kebiasaan mereka minum khamr karena sadar akan dampak negatifnya terhadap ibadah dan moralitas. Ayat ini menunjukkan bahwa proses perubahan kebiasaan harus dilakukan dengan cara yang bijaksana. (Suyuthi, 2018: 175)

Tahap Keempat: Surat al-Mā’idah ayat 90-91. Ayat ini secara tegas mengharamkan khamr dan perjudian. Setelah beberapa tahapan peringatan dan pembatasan, Allah menurunkan ayat ini untuk menetapkan dengan jelas bahwa khamr adalah haram dan harus dihindari. Ayat ini juga menjelaskan bahwa khamr dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan sosial. Di sini, kita melihat bagaimana masyarakat yang sebelumnya akrab dengan kebiasaan meminum khamr perlahan mulai mengubah pola pikir mereka. (Suyuthi, 2018: 175) Hermeneutika Dilthey menunjukkan bahwa perubahan ini terjadi melalui proses panjang, yang menyesuaikan dengan kondisi sosial dan moral masyarakat saat itu.

Menurut hemat penulis, pendekatan hermeneutika Dilthey menunjukkan bahwa untuk memahami teks-teks keagamaan, kita harus memperhatikan konteks historis, sosial, dan budaya di balik teks tersebut. Proses pengharaman khamr dalam Al-Qur’an adalah contoh nyata bagaimana Al-Qur’an tidak mengharamkan sesuatu secara tiba-tiba, tetapi melalui tahapan yang mempertimbangkan kebiasaan dan kondisi sosial umat pada saat itu. Ini mencerminkan bahwa Islam tidak bertujuan memberatkan umatnya, tetapi lebih kepada memberi kemudahan dengan perubahan yang dilakukan secara bertahap.

Dengan demikian, hermeneutika Dilthey memberikan wawasan yang mendalam dalam menafsirkan Al-Qur’an, tidak hanya dengan memperhatikan teks secara literal, tetapi juga dengan menggali makna yang terkandung di balik konteks sosial dan sejarahnya. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami lebih baik bagaimana ajaran Al-Qur’an diterapkan dalam kehidupan sosial yang berubah-ubah.

Referensi:
Assarwani, Mahin Muqoddam. “Epistemologi Hermeneutika Kaitan dan Implikasinya Terhadap Penafsiran Al-Qur’an.” Dalam Jurnal Al-Dzikra, Vol. 15 No. 2 Tahun 2021.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida. Depok: Kanisius, 2015.
Nasution, Umaruddin. “Wilhelm Dilthey’s Hermeneutical Methodology in Understanding Text.” Dalam Kawanua International Journal of Multicultural Studies, Vol. 3 No. 1 Tahun 2022.
Putri, Rachmawati. “Arti Penting Sejarah dalam Tinjauan Dilthey.” Dalam Https://Ibihtafsir.Id/2022/02/25/Arti-Penting-Sejarah-Dalam-Tinjauan Dilthey/ Dikases Pada 10 November 2024.
Suyuthi, Imam. Asbabun Nuzul: Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Jakarta: Qisthi Prees, 2018.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Ciputat: Lentera Hati, 2002.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *