Review Buku: Muslim Qur’anic Interpretation Today – Johanna Pink

Kisah di Balik Lahirnya Muslim Qur’anic Interpretation Today

Pada tahun 2019, Johanna Pink menerbitkan sebuah buku “penting” bagi kesarjanaan studi Qur’an dan Tafsir. Muslim Qur’anic Interpretation Today: Media, Genealogies and Interpretive Community. Sesuai judulnya, buku ini membawa sekian pertanyaan yang mencoba melihat fenomena aktivitas penafsiran al-Qur’an yang dilakukan umat Islam “hari ini”.

Di bagian prolognya, Pink menceritakan kisah Muhammad Sayfuddin Thaha, seorang pekerja akuntansi di negara Teluk yang mengirimkan karyanya berupa 6 volume tafsir al-Qur’an ke dewan riset al-Azhar pada tahun 2005. Thaha menyelesaikan karyanya selama 20 tahun dan menariknya, ia menuliskan tafsirnya dalam bentuk prosa/ puisi Arab tradisional. Ia percaya bahwa gaya sastra ini telah matang di masa kini.

Bacaan Lainnya

Setelah menanti selama 4 tahun, putusan dewan riset al-Azhar pun terbit. Hasilnya, karya “tafsir” Sayfuddin Thaha dianggap tidak layak terbit. Padahal secara teologis, substansi “tafsir” Thaha tidak dipermasalahkan apalagi diklaim heretik (bid’ah/ sesat). Thaha pasrah akan keputusan tersebut dan tidak mencari cara alternatif apapun untuk mengusahakan penerbitan karyanya.

Ada dua alasan utama dibalik penilaian “tidak layak terbit” yang diutarakan dewan riset al-Azhar. Poin pertama, penggunaan Sayfuddin Thaha terhadap stilistika Arab klasik dinilai “buruk” dan atas dasar itu, ia dituduh telah mengubah makna al-Qur’an ke dalam pola dan sajak yang dangkal dan formalistik tanpa nilai artistik. Poin kedua, karya Thaha tidak bisa dikonstitusi sebagai “tafsir”, sebab sama sekali tidak memiliki kontribusi bagi pemahaman makna al-Qur’an.

Kasus ini mendapatkan perhatian dari seorang pengamat perkembangan tafsir al-Qur’an modern dan kontemporer di Mesir, Muhammad al-Baz. Pada salah satu serial Ramadhannya, ia meliput kasus Thaha dan kemudian mencetak serta menerbitkan tiga puluh dokumen jurnalismenya selama serial tersebut.
Al-Baz berhasil memotret fenomena yang berkaitan dengan al-Qur’an pada suatu konteks negara modern serta melihat jalinan politik yang mengitarinya. Bahkan, pada satu segmen ia membawa sebuah judul interogatif yang begitu tajam: “Mengapa para syaikh Azhar takut pada sebuah penafsiran kontemporer terhadap al-Qur’an?”.

Kisah penolakan yang terjadi pada Muhammad Sayfuddin Thaha dan rekaman jurnalisme al-Baz memantik pertanyaan besar dalam riset Pink ini yang berkaitan dengan hubungan tafsir dengan otoritas keilmuan dan struktur “kekuasaan” (the relationship between tafsir, authorities and power structures) di milieu dunia Islam saat ini.

Pengoperasian Nalar Foucauldian: Mengurai Ketegangan dan Kuasa

“Qurʾānic interpretation today is embedded in power structures, and it is also beset by tensions: tensions between localising and globalising forces; tensions between hierarchical and egalitarian social ideals; and tensions between the quest for new approaches and the claim for authority raised by defenders of exegetical traditions.”

Johanna Pink melihat bahwa tafsir bukan hanya suatu genre literatur dalam khazanah keislaman yang mencoba menyajikan makna atas al-Qur’an. Tafsir merupakan sebuah medan “pertarungan” yang diisi oleh berbagai unsur ketegangan yang saling berkonflik untuk mendapatkan otoritas (kuasa), baik tampak secara jelas maupun samar. Pertimbangan teoretis yang difungsikan oleh Pink ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang yang ia pergunakan ketika berhadapan dengan berbagai realitas yang berkaitan dengan produksi tafsir al-Qur’an di era kontemporer.

Nalar Foucauldian menjadi sentral dalam karya Pink ini. Ia terinspirasi pada cara Foucault melihat fenomena masa kini secara genealogis atau yang disebut dengan istilah “history of the present”. Catatan ringkas Pink terhadap teori penting untuk ditampilkan, “I set out from a problem expressed in the terms current today and I try to work out its genealogy” (Saya berangkat dari masalah yang diungkapkan dalam istilah-istilah yang ada saat ini dan saya mencoba mencari tahu silsilah/ genealoginya”.

Bagi Pink, nalar genealogis Foucault lebih tepat untuk dioperasikan dari pada paradigma change and continuity. Nalar genealogis, tidak seperti paradigma change and continuity, menitikberatkan ketersambungan/ kontinuitas sebagai bagian yang tidak terpisah dari fenomena yang dianggap sebagai “perubahan/ change” di era saat ini. Model berpikir ini sejalan dengan tradisi tafsir itu sendiri yang telah membangun karakternya sebagai tradisi genealogis atau dalam istilah lain disebut tradisi diskursif. Masih fundamental dan strategisnya posisi tafsir klasik di era modern menjadi contoh paling pas untuk menggambarkannya. Berbeda halnya dengan change and continuity yang menempatkan change sebagai “lawan/ anatagonis” dari continuity.

Pengoperasian nalar Foucauldian yang berkaitan dengan cara melihat realita masa kini juga tidak hanya berfungsi sebagai panduan untuk melakukan pelacakan sejarah. Lebih dari itu, model berpikir Foucault juga membantu dalam merangsang daya kritis untuk mempertanyakan hal-hal yang terlihat “mapan” saat ini sebagai produk dari relasi kuasa. Perihal siapa/ apa yang memiliki otoritas, siapa/ apa yang dinilai otoritatif serta bagaimana predikat otoritas dan otoritatif itu terbentuk—pada saat yang sama juga memperlihatkan sematan yang sebaliknya, “tertolak, termarginalkan”, merupakan bagian yang tidak terhindarkan dari analisis ini.

Kutipan paragraf di bawah ini akan memperjelasnya.

“The notion of authority is central to this book. Conflicts over the interpretation of the Qurʾān always touch upon the question who has the authority to talk about the Qurʾān and in what way. Qurʾānic interpretation takes place in power fields. It is not merely about the things that are being said or written; it is just as much, sometimes more so, about the person who says them, the reasons for which they are said, the place in which they are said or published and the opposing parties against whom they are directed. Furthermore, it is about the – imagined or real – recipients of that message. Who are they? Why and how are they supposed to gain access to that message? How is it mediated, and how do media shape the form and contents of the message? Who has control of that media? That last question again leads us to the issue of power.”

Sorotan Terhadap Bagian-Bagian Penting dari Karya ini

Salah satu bagian yang menjadi keunggulan dari karya Pink ini, bagi saya, ialah pembaca bisa melihat gambaran umum dari hasil analisisnya sejak di daftar isi. Bagian ini juga menentukan karya-karya yang akan dipergunakannya sebagai data dalam menyusun argumen dan analisisnya. Pada satu paragraf di pendahuluannya, Pink menulis beberapa pertanyaan risetnya,

“In my analysis and choice of source texts I have tried to select, from among the huge and diverse contemporary Muslim discourse on the Qurʾān, such themes and questions that, to me, seemed to be recurrent and pervasive. For example, why is it that Ibn Kathīr is so important as a premodern source – important enough to have been translated into multiple languages? On the topic of language: what impact do Qurʾān translations have on the ways in which Muslims today understand the Qurʾān? Why is the Qurʾān’s view on gender relations such a ubiquitous subject of debate? How do new media shape the way in which the Qurʾān is negotiated? Why and how do so many exegetes use scientific language and paradigms in their Qurʾānic interpretations? What parts of the exegetical tradition have become controversial, marginalised or ignored?”

Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian dijawab dalam masing-masing part/ bab dari bukunya yang juga memperlihatkan karya-karya yang dieksplorasi di dalamnya. Semisal pada pembahasan pertama, The New Centrality of the Qur’anic Message (Sentralitas baru dari pesan al-Qur’an), yang mengesankan adanya pergeseran posisi dari pesan al-Qur’an (tafsir) menuju ke apa yang disebut sebagai sentralitas baru.

Sorotan selanjutnya, pada konteks teks tafsir yang akan digunakannya sebagai sumber data. Pink menginventarisir karya-karya yang dipublikasi pada rentang tahun 2000-2016, dan tidak membatasinya hanya pada karya tafsir 30 juz. Baginya, karya yang memuat penafsiran atas satu segmen spesifik dari al-Qur’an sudah masuk dalam radar pertimbangannya untuk melihat fenomena penafsiran muslim terhadap al-Qur’an terkini.

Kelenturannya dalam memasukkan karya tafsir non 30 Juz tidak menandakan adanya upaya melakukan reshaping terhadap batasan genre dari karya tafsir itu sendiri di era kontemporer. Pink, secara tegas, membedakan antara upaya muslim saat ini untuk menafsirkan al-Qur’an dengan genre tafsir itu sendiri. “in any case, contemporary Muslim Qurʾānic interpretation cannot be reduced to the genre of the Qurʾānic commentary…”. Sederhananya, upaya menafsirkan al-Qur’an dalam bentuk buku sekalipun tidak serta merta bisa diverifikasi sebagai bagian dari genre literatur tafsir. Ia bisa dilihat sebagai fenomena interpretatif, namun belum tentu sebagai literatur eksegesis.

Terakhir, ketika menganalisis penulis dari karya-karya yang dihadirkannya, Pink membangun sebuah kategorisasi yang berupaya menghindari polemik dari kategori dikotomis yang problematis dan dipertanyakan landasan analitisnya. Seperti halnya “konservatif”, “progresif”, “liberal”, “modern”, “tradisional” dan “salafi”. Pasangan istilah kategoris tersebut lebih banyak digunakan dalam pertimbangan ideologis yang dipergunakan untuk menilai sesuatu dalam konotasi positif maupun negatif, alih-alih bernilai analitis. Dalam konteks Indonesia, malahan, beberapa dari istilah itu disamakan ketika penyematannya terhadap objek tertentu, “modern = progresif = liberal”.

Salah satu permisalan kasus ketika menganalisis Muhammad Abduh (w. 1905). Ketika berbicara perihal perempuan, di satu sisi pandangan Abduh terlihat “modern” karena menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan di saat yang sama “konservatif”, karena ia menghalangi keterlibatan perempuan di wilayah publik. Penilaian semacam itu mungkin bisa dikatakan pseudo-analitis.

Untuk menghindari hal ini, Pink mengajukan beberapa tawaran kategorisasi “baru” yang dilandasi oleh kesamaan gagasan metodologis dalam membaca al-Qur’an serta faktor genealogis. Ada lima kategori yang ia tawarkan: “ulama”, “modernis”, “islamis”, “salafis”, “pendekatan postmodern”. Masing-masing dari istilah ini didefinisikan oleh Johanna Pink di akhir pendahuluannya. Bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang kategorisasi tersebut dan mendapatkan kesan membaca serta refleksi yang berbeda, silakan unduh langsung bukunya di sini. Selamat membaca!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *