The Study Quran merupakan karya terjemahan dan komentar Al-Qur`an yang disusun oleh para sarjana di Amerika, seperti Seyyed Hossein Nasr, Joseph Lumbard, Maria Dakake, Caner Dagli, dan Mohammed Rustom. Di balik nama besar para penyusun, karya ini tidak terlalu familiar dalam pergulatan diskursus Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir, khususnya di Indonesia. Alasan yang paling mungkin adalah karena penyajian komentar atau tafsir dalam The Study Quran berdasar pada karya-karya terdahulu yang menempatkan sejarah intelektual Islam sebagai sejarah (Alexandrin, 2016: 108).
Hal ini dirasa wajar mengingat tujuan dari penyusunannya didasarkan pada fungsi Al-Qur`an sebagai bagian dari adat istiadat di dunia Muslim, bahkan menjadi kerangka berpikir para ulama dalam menumpahkan hasil karyanya (Nasr, dkk, 2015: 34). Meski demikian, dominasi keilmuan Nasr yang sebelumnya menelurkan karya-karya filosofis tentang hubungan Islam dan sains termasuk kaitannya dengan kosmologi sangat terlihat pada karya ini, misalnya penggunaan kata “kosmologi” yang mulai tampak di bagian pendahuluan umum (general introduction) (Nasr, dkk, 2015: 19).
Penggunaan kata “kosmologi” di awal pendahuluan karya ini hanyalah salah satu alasan mengapa karya ini dikaji oleh penulis. Alasan lain yang perlu dijabarkan dalam tulisan ini adalah hasil penafsiran yang merujuk 41 karya tafsir terdahulu seperti Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Āy al-Qur`an karya Aṭ-Ṭabarī (w. 310/923), Mafātiḥ al-Ghayb karya Fakhr al-Dīn ar-Rāzī (w. 606/1210), dan lain-lain.
Karya ini juga merujuk ke beberapa tafsir kontemporer seperti At-Taḥrīr wa at-Tanwīr karya Muḥammad al-Ṭāhir ibn ʿĀshūr (w. 1393/1973) dan al-Mīzān fī tafsīr al-Qurʾān karya Muḥammad Ḥusayn Ṭabāṭabāʾī (w. 1401/1981). Adanya rujukan yang tercantum dalam penafsiran setiap ayatnya menguatkan asumsi Alexandrin di awal bahwa karya ini fokus kepada warisan tradisi intelektual Islam, alih-alih mengikuti perspektif studi agama di Barat yang cenderung mengalokasikan pendekatan metodologis dan teoritis dalam mengkaji teks religius dan kitab suci (Alexandrin, 2016: 108). Atas dasar inilah penulis menyematkan kata “epistemologi bayani” pada karya tafsir ini.
Epistemologi bayānī pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad Abid Al-Jabiri dalam karyanya berjudul Bunyah al-‘Aql ‘al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyah li Nuzûm al-Ma‘rifah fi at-Thaqâfah al-‘Arabiyyah (“Struktur Nalar Arab: Studi Kritik-Analitik atas Sistem-sistem Pemikiran dalam Kebudayaan Arab”) (Al-Jabiri, 1993: 5). Dari sudut pandang epistemologi, term “bayani” identik dengan teks-sentris yang menjadikan teks sebagai ukuran kebenaran. Artinya, teks dipahami berdasarkan teks itu sendiri, bukan berdasarkan rasio (Ro’uf, 2018: 87).
Dalam konteks karya The Study Quran, cara kerja tafsir yang merujuk kepada karya-karya tafsir sebelumnya menunjukkan adanya kecenderungan untuk memberi otoritas referensial pada model masa lampau (Ro’uf, 2018: 102). Alhasil penyajiannya terkesan repetitif, terlebih Nasr sendiri mengakui adanya usaha untuk menyeleksi konten tafsir dengan mengacu kepada pembuktian secara luas dalam sumber-sumber tafsir tradisional (Nasr, dkk., 2015: 40).
Meski demikian, usaha Nasr untuk menggambarkan bagaimana penafsiran-penafsiran sebelumnya memahami tema tertentu yang sekaligus menunjukkan perbedaan di antara mereka, menjadi kekuatan karya ini dalam mendeskripsikan dinamika tradisi keilmuan Islam melalui karya tafsir (Nasr, dkk., 2015: 41).
Kesan bayānī dalam karya The Study Quran cocok dalam menjelaskan tema kosmologi. Tema yang identik dengan filsafat sains ini justru tidak disajikan dengan beberapa validasi teori sains modern, seperti yang dilakukan oleh Zaghlul Najjar dalam karyanya Tafsīr al-Āyāt al-Kawniyyah fī al-Qur`ā nal-Karīm. Nasr sebagai ketua tim penyusun masih konsisten dengan menjelaskan bagaimana kosmologi dipahami dalam tradisi keilmuan Islam, persis seperti yang ia lakukan dalam karya sebelumnya An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines.
Dalam karya tersebut dan karya setelahnya, termasuk The Study Quran, ia banyak mendeskripsikan bagaimana kosmologi dipahami oleh para cendekiawan atau kelompok sarjana Muslim klasik. Tujuan dari deskripsi ini adalah untuk mengkritik sains modern dan efek kerusakan yang ditimbulkannya diidentifikasi secara radikal hingga ia menemukan adanya perbedaan pandangan kosmologis antara sains modern dan Islam (Nasr, 1993: xix).
Untuk menawarkan kosmologi Islam sebagai paradigma dalam menangkal problem sains modern, Nasr secara radikal menjadikan wahyu sebagai asas dalam membangun kosmologi Islam. Melalui karya The Study Quran, Nasr mulai menyusun bangunan-bangunan epistemologis kosmologi Islam dalam Al-Qur`an berdasarkan pemahaman para sarjana Muslim yang terepresentasi dalam karya-karya tafsirnya. Dari sinilah kajian kosmologi ala Nasr mulai berubah dari filosofis (karena pada karya sebelumnya, Nasr mendeskripsikan pemikiran-pemikiran filsuf Muslim klasik terkait kosmologi, seperti Ibnu Sina, Al-Biruni, dan Ikhwan As-Safa)(Nasr, 1993: xxi) ke Qur`ani (dengan menafsirkan ayat-ayat tentang kosmologi berdasarkan apa yang telah ditafsirkan oleh penafsir sebelumnya).
Jika meninjau The Study Qur`an itu sendiri, kepakaran Nasr terhadap kosmologi terlihat dari bagaimana ia memaparkan pesan-pesan yang terdapat dalam Al-Qur`an. Dalam pendahuluan The Study Qur`an, Nasr memulai pemaparan pesan-pesan Al-Qur`an dari pandangan kosmologisnya dengan menyatakan bahwa Al-Qur`an mengandung seluruh doktrin tentang karakteristik realitas di seluruh level, yaitu dari wujud Tuhan sebagai “Absolute Reality” sebagai sumber kosmos dan turunan-Nya yang merupakan karya ciptaan-Nya, yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Aspek realitas ini tidak bisa terlepas dari penggambaran Tuhan melalui sifat-sifat dan nama-Nya yang terefleksi dalam seluruh tatanan realitas, seperti sifat Khâliq dan Hâfizh (Yang Maha Mencipta dan Yang Maha Menjaga) yang dapat diidentifikasi langsung melalui bagaimana alam ini bekerja ((Nasr, dkk., 2015: 20-21). Hal tersebut menunjukkan ontologi segala wujud empiris yang kita hidup dengannya.
Kosmologi sebagai ilmu untuk mengakses pengetahuan kepada Realitas Absolut melalui fenomena alam yang diidentifikasi secara empiris menyajikan bentuk-bentuk akses yang tidak hanya terbatas pada materi saja, namun ia menyajikan bentuk lain yang bersifat metafisik. Sebagai pandangan yang orisinal dalam kajian kosmologi, pernyataan di atas diakomodasi oleh wahyu dalam Islam, yaitu Al-Qur`an.
Oleh karena itu, dalam menelaah simbol-simbol kosmologis yang dipahami dalam The Study Qur`an, penulis menukil simbol-simbol tersebut dari lafaz “āyāt” dan interpretasinya dalam The Study Qur`an yang berhubungan dengan kosmologi, serta implikasinya dengan pandangan terhadap alam dan tindakan saintis dalam kegiatan saintifiknya. Adapun sebab utama pemilihan lafaz “āyāt” adalah karena posisi lafaz tersebut dalam Al-Qur`an identik dengan tangga empiris yang harus dilalui oleh manusia sebelum mencapai Realitas Absolut (Nasr, 2005: 52).
Āyāt menjadi sinyal Allah yang menjelaskan kepada manusia tujuan penciptaan alam. Sinyal ini dalam Al-Qur`an sering melibatkan pendengaran dan penglihatan. Hal ini dikarenakan dua indra tersebut memiliki fungsi reflektif yang berpengaruh pada jiwa dan tubuh dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan sesuatu yang materiil dan empiris. Hal ini disampaikan pula oleh The Study Quran dalam menafsirkan Q.S. Ar-Rūm [30]: 23 (Nasr,dkk., 2015: 2182)(Aziz, 2022: 46).
Hasil informasi yang didapat oleh pendengaran dan penglihatan termasuk sesuatu yang sensibel. Sensibilitas yang aktif dan dimiliki oleh manusia dapat menghasilkan kesadaran (awareness) yang menyadarkan tubuh dan jiwa akan eksistensi sesuatu. Dalam beberapa keadaan, objek tersebut akan memancing perhatian manusia sehingga menjadikannya penasaran untuk mengetahui objek yang baru saja ia temui atau ia sadari (Acikgenç, 2021, 45).
Meskipun penggambaran kosmos dalam Al-Qur`an kebanyakan muncul melalui redaksi empiris, namun informasi yang diterima keduanya harus diolah dalam pikiran agar mencapai pengetahuan. Akal atau pikiran menjadi standar bagi suatu informasi apakah ia menjadi pengetahuan atau tidak, karena objek pengalaman berupa informasi tadi belum dikatakan objek pengetahuan jika belum melewati proses berpikir di dalam akal ataupun pikiran.
The Study Quran menerjemahkan lafaz “ya’qilûn” pada Q.S. Ar-Ra’d [13]: 3-4 dengan “who reflect” yang berarti orang-orang yang melakukan refleksi terhadap fenomena alam yang ditunjukkannya, menggunakan akalnya ketika pendengaran dan penglihatan menerima informasi tentang fenomena tersebut. Informasi ini diolah oleh akal bermula dari pandangan akal itu sendiri atau sudut pandang – hal inilah yang menghasilkan pandangan berbeda-beda dalam pemikiran terhadap suatu objek pengetahuan – terhadap dalil-dalil atau bukti-bukti ilmiah, terhadap premis-premis yang didapat dari bukti-bukti tersebut, dan terhadap hasil-hasil yang diperoleh dari kombinasi keduanya (Nasr, dkk., 2015: 1337).
Untuk menjadikan informasi-informasi tersebut bernilai aksiologi, maka informasi tersebut perlu diolah secara kontemplatif oleh hati. Untuk merealisasikan hal tersebut, The Study Quran menawarkan perspektif sufistik melalui penafsiran Q.S. Al-Kahfi [18]: 27-28 dengan menunjukkan bahwa level spiritual tertinggi adalah mencari penglihatan kepada Allah SWT (Nasr, dkk., 2015: 1603). Level itu dicapai melalui partisipasi spiritual yang aktif yang dalam Al-Qur`an dibangun berdasarkan kata “dzikr”, yaitu “mengingat” atau “menyebutkan” (Decharneux, 2023: 72) atau dalam The Study Quran, dimaknai dengan “melakukan refleksi”. Kelalaian seseorang dari “dzikr” akan menutup pandangannya kepada Tuhan.
Hati merupakan pusat dari pengalaman internal yang menilai aspek emosional manusia dalam mengarahkan emosi untuk membentuk sisi etis dalam hidup. Emosi yang dihasilkan oleh intuisi sensibel (dikatakan sensibel karena ia memberikan kesan terhadap dunia fisik sebagai objek) diseleksi oleh hati sehingga emosi yang lolos dari seleksi tersebut akan bermakna bagi kehidupan etis. Artinya, konsep etis tidaklah selalu didasari pada nalar murni sebagaimana filsafat Kantian, namun ia didasari oleh hati, karena pada dasarnya, pengalaman spiritual hanya dialami di hati (Acikgenç, 2021, 52).
Adanya intelek manusia yang memutuskan dan menilai data pengalaman yang diberikan oleh hati dalam mencapai kesimpulan berdasarkan suasana pengalaman tersebut, maka manusia akan menyadari bahwa alam pengalamannya bersifat spiritual, sehingga manusia akan bertindak atas dasar kesadaran spiritualnya. Dari pandangan ini, jelaslah bahwa dari sudut pandang moral, ada kewajiban pada pihak manusia bahwa dirinya bertanggung jawab atas tindakan jahatnya.
Kewajiban dan akuntabilitas ini dapat dicapai hanya jika pengetahuan terhadap alam pengetahuan manusia dapat diakses. Terlebih, akses tersebut sulit diidentifikasi jika hanya bersandar pada pengalaman luar saja. Oleh karena itu, maka pengetahuan terhadap standar baik dan buruk sebagai hasil dari cara pandang kosmologis tidak dapat disimpulkan melalui rantai argumen logis secara spekulatif, melainkan ada dalam pengalaman internal manusia sebagai sebuah persepsi pengalaman yang dievaluasi dan dipikirkan di dalam pikiran sehingga persepsi tersebut mengikuti urutan argumen logis yang mengarah pada kesimpulan rasional tentang yang baik dan buruk.