Ada dua bagian syahâdah, yaitu bagian kepada Allah SWT dan bagian kepada Rasul-Nya. Bagian syahâdah kepada Allah SWT pun terbagi kepada dua bagian, yaitu bagian negasi (lâ ilâha) dan bagian penegasan (illal Lâh). Negasi menempati posisi yang sangat penting dalam syahâdah karena di situlah inti penegasan eksistensi Ilahi, sebuah eksistensi yang tiada tanding dan tiada banding, bahkan tidak ada yang lain, hanya Dia. Jadi, inti dari eksistensi adalah negasi.
Percaya kepada satu Tuhan bisa berbentuk beberapa hal. Pertama, percaya kepada satu Tuhan yang paling unggul dari semua tuhan-tuhan yang ada. Kepercayaan seperti itu bisa pula dalam bentuk segala tuhan-tuhan lain hanyalah fungsi-fungsi dari Tuhan Yang Esa. Bentuk kedua, percaya kepada salah satu di antara banyak tuhan yang keunggulannya setara dan memilih salah satu tuhan untuk disembah, bukan yang lain. Bentuk ketiga, percaya kepada tuhan yang pada dasarnya berjumlah dua atau lebih lalu disatukan atau dianggap satu sebagai kesepakatan antara dua atau lebih kelompok masyarakat yang sebelumnya terpisah lalu memutuskan untuk bersatu.
Ketiga bentuk percaya kepada satu Tuhan di atas sesungguhnya adalah cara deduksi yang pada dasarnya tetap mengakui banyak tuhan meski ada yang lebih unggul atau sama unggulnya tetapi terpilih satu untuk disembah atau—terakhir—sesungguhnya lebih dari satu lalu disepakati menjadi satu.
Di dalam Islam, tauhîd tidak sama dengan semua bentuk kepercayaan di atas karena Tuhan di dalam tauhîd adalah Tuhan yang bukan hanya satu tetapi hanya satu-satunya, tanpa tandingan dan tanpa toleransi kepada kehadiran selain-Nya dalam bentuk apapun. Itulah makna lâ ilâha (tiada tuhan), baik dalam bentuk, dalam nyata, dalam imaji, dalam konsep, dan dalam apapun.
Lâ ilâha adalah ungkapan negasi dan negasi selalu mendahului penegasan posisi. Tidak mungkin ada posisi tanpa didahului negasi dan itu adalah kodrati. Setiap posisi yang hendak diteguhkan selalu diawali dengan pernyataan “tidak” terhadap posisi yang hendak ditumbangkan. Seluruh konsepsi tentang tuhan paling unggul; beberapa tuhan sama unggul tapi terpilih salah satu; dan fusi banyak tuhan harus ditolak karena Allah SWT tidak hadir lewat deduksi tetapi ada dengan sendiri-Nya atau qiyâmuhû binafsih.
Keterbatasan manusiawi hamba membuat manusia sering berlaku terbalik dalam syahâdah, meskipun mungkin tidak memaksudkannya demikian, yaitu terlebih dahulu menegaskan posisi Allah SWT (illal Lâh) kemudian menebaskan pedang negasi lâ ilâha untuk menerabas habis seluruh tuhan-tuhan selain-Nya, hingga tersisa hanya satu Tuhan Yang Maha Esa. Terasa ada yang heroik dalam perlakukan seperti itu, tetapi apakah tidak aneh jika justru heronya adalah manusia sehingga seakan-akan kehadiran Allah SWT bergantung kepada upaya deduksi manusiawi? Perlakuan seperti itu masih menyisakan sedikit deduksi dalam tauhîd. Lebih parah dari deduksi, perlakuan sedemikian seakan-akan hendak berkata bahwa tanpa tebasan lâ ilâha oleh manusia, tuhan-tuhan yang lain akan tetap ada. Bukankah itu keliru?
Meski keliru, perlu ada pemakluman dalam hal ini karena memang itulah keterbatasan manusiawi. Setiap hari manusia diserbu keagungan tuhan-tuhan lain selain Allah SWT dalam bentuk ketergantungan-ketergantungan yang memengaruhi hidupnya dan tidak jarang mengganggu keagungan Allah SWT dalam benaknya. Lalu, hanya penegasan posisi Allah SWT lah yang menjadi senjata terakhir untuk menanggulangi problem tersebut.
Untuk memahami perlakuan terbalik itu, salah satu dari sifat dua puluh Allah SWT perlu mendapatkan perhatian, yaitu qiyâmuhû binafsih. Lawan dari sifat itu adalah qiyâmuhû bighayrih yang berarti Allah SWT tidak membutuhkan pertolongan selain-Nya. Sifat ini tidak hanya berkaitan dengan sifat yang lain yaitu qudrah yang berarti berkuasa dan karena itu tidak membutuhkan pertolongan. Ya, Allah SWT memang tidak membutukan pertolongan karena Dia Mahakuasa, tetapi qiyâmuhû binafsih juga berarti Allah SWT tidak membutuhkan pertolongan deduksi akal manusia dan bahkan syahâdah manusia untuk menegaskan eksistensi-Nya. Kehadiran Allah SWT bukan barasal dari usaha manusia untuk menerabas habis tuhan-tuhan lain. Kehadiran Allah SWT adalah kehadiran dengan sendiri-Nya dan juga segalanya karena sesungguhnya yang hadir hanyalah Dia.
Allah SWT hadir tanpa deduksi akli, tanpa negasi lâ ilâha, tanpa penegasan illal Lâh, dan bahkan tanpa syahâdah manusia.[]
Editor: AMN