“Mengetahui” Tuhan adalah problem tersendiri karena ada kecurigaan bahwa objek yang hendak diketahui terlalu besar untuk ditanggung oleh alat mengetahui, meskipun alat tersebut adalah akal, indra, bahkan hati. Jika tetap dilakukan, maka tidak akan pernah sampai kepada pengetahuan yang sejati tentang Tuhan. Meski demikian, dengan segala keterbatasan, manusia tetap upaya-upaya untuk mengetahui Tuhan. Bagaimana upaya manusia dalam menjadikan Tuhan sebagai objek pengetahuan dan apa dampak dari upaya tersebut? Tulisan ini mencoba menawarkannya.
Manusia dan Pengetahuan
Manusia tidak mungkin memisahkan diri dari pengetahuan. Bisa dikatakan bahwa tanpa pengetahuan, manusia bukanlah manusia karena manusia telah terlanjur berakal yang merupakan elemen penting bagi pengetahuan. Membayangkan manusia tanpa akal adalah hal yang mustahil dan begitu pula mustahil manusia tanpa pengetahuan. Konon, akal yang membedakan antara manusia dengan selain manusia. Selain manusia, mungkin, maksudnya hewan dan tumbuhan. Malaikat dan Iblis? Itu hal yang berbeda.
Bisa pula dikatakan bahwa manusia tidak mungkin tidak berpengetahuan karena tidak mungkin manusia menahan diri untuk tidak menggunakan akalnya bahkan saat tertidur. Akal tidak seperti mata yang bisa dipejamkan jika sedang tidak ingin melihat; telinga yang mungkin saja ditutup untuk tidak mendengar; hidung yang bisa disumbat untuk tidak bernafas. Lalu bagaimana menghentikan akal agar usai beraktivitas? Bagaimana membungkam akal agar aliran pengetahuan berjeda?
Manusia terlahir dengan berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada tingkat paling mendasar ada kebutuhan jasmani seperti makan dan minum yang tidak mungkin terpenuhi tanpa pengetahuan. Pada tingkat lebih tinggi ada kebutuhan ruhani seperti kebahagiaan yang juga tidak mungkin tanpa pengetahuan. Belum lagi kebutuhan yang tidak semata individu tetapi lebih merupakan relasi antarmanusia. Manusia tidak mungkin hidup sendiri, tetapi bagaimana cara hidup bersama? Manusia harus berpengetahuan untuk menjalani membangun relasi sesama manusia.
Lebih jauh daripada kebutuhan-kebutuhan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan ada yang tidak bersentuhan langsung tetapi pasti mendapatkan perhatian manusia. Misalnya, bukan hanya tentang bagaimana cara mendapatkan makanan, tetapi juga bagaimana agar lebih mudah mendapatkannya, bagaimana agar makanan bertahan lama, bagaimana agar makanan lebih beragam, bagaimana agar lebih enak rasanya, dan seterusnya. Semua itu membuat manusia tidak pernah berhenti bertanya karena pengetahuan terhadap segala hal juga berkembang setiap saat.
Manusia dan Pengetahuan Tentang Tuhan
Pengetahuan juga tidak hanya tentang hal-hal yang bisa memenuhi kebutuhan tetapi bagi manusia, pengetahuan itu sendiri adalah kebutuhan. Banyak hal yang hendak diketahui oleh manusia padahal hal tersebut tidak membuat kebutuhan makan dan minumnya terpenuhi. Manusia cukup hanya dengan mengetahui sesuatu meskipun pengetahuan tersebut tidak untuk memenuhi kebutuhannya. Selalu ada kebahagiaan tersendiri bagi manusia saat mereka mengetahui sesuatu meski tanpa tahu apa gunanya pengetahuan tersebut.
Di antara hal yang secara tidak langsung berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia tetapi membuat manusia penasaran untuk mengetahuinya adalah segala hal tentang Tuhan. Jika manusia terbagi kepada mereka yang bertuhan (teis) dan tidak bertuhan (ateis), maka bahkan ateis pun memiliki atau mendalami pengetahuan tentang Tuhan, minimal untuk membutikan penolakannya valid, apalagi teis. Mereka yang bertuhan memerlukan pengetahuan tentang Tuhan untuk menjelaskan kebertuhanan kepada orang lain maupun terutama kepada diri mereka sendiri.
Pengetahuan tentang Tuhan bisa disebut teologi. Karena ada kata “logi” yang berasal dari “logos” dalam kata “teologi” yang berarti ilmu pengetahuan, maka pengetahuan tentang Tuhan dalam hal ini seharusnya tertata dan dikembangkan secara objektif, sebagaimana biasanya ilmu pengetahuan. Penataan tersebut, dibangun di atas hal-hal yang mendasar tentang Tuhan seperti kemungkinan mengetahui Tuhan, penelaahan tentang eksistensi-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hubugan-Nya dengan manusia dan alam raya. Meski mendasar, biasanya teologi lebih condong kepada penegasan eksistensi Tuhan daripada menggugat-Nya atau lebih kepada memahami-Nya daripada mengasikan-Nya.
Jika teologi disebut ilmu pengetahuan tentang Tuhan, maka ia berbeda dengan filsafat karena filsafat adalah pengetahuan tentang segalanya, termasuk Tuhan dan juga termasuk pengetahuan tentang Tuhan. Dengan demikian, ilmu pengetahuan juga adalah hal yang berbeda dengan filsafat dan teologi karena ilmu pengetahuan kadang tidak ingin membicarakan tentang Tuhan. Bertrand Russel menggambarkan hubungan antara ketiganya dengan: filsafat adalah sebuah wilayah tak bertuan antara ilmu pengetahuan dan teologi, yang memiliki kemungkinan untuk menyerang keduanya.[1]
Dinamika Pengetahuan Manusia Tentang Tuhan
Jauh sebelum perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di abad ke-21, semua manusia hampir bisa dipastikan bertuhan. Apapun bentuk agamanya, selalu ada keyakinan yang dipahami bersama bahwa ada sebuah kekuatan yang Maha Segalanya yang menentukan gerakan alam raya. Pada masa itu, bertuhan bukan sebagai hasil permenungan filosofis tetapi lebih karena orang-orang tumbuh dalam budaya yang memang meyakini Tuhan.[2]
Perkembangan selanjutnya adalah era di awal-awal perkembangan filsafat pada Abad Pertengahan di mana keyakinan kepada Tuhan mendapatkan landasan rasional dari agama. Sebuah era harmoni antara agama dengan ilmu pengetahuan terjadi. Pada waktu itu, filsafat hingga ilmu pengetahuan dikembangkan untuk memahami dan membuktikan eksistensi Tuhan, bukan untuk mempertanyakannya.
Lalu, sejak era Pencerahan yaitu abad ke-17 dan ke-18, harmoni agama dengan ilmu pengetahuan mengalami retak. Ilmuwan yang sebelumnya tidak bisa dibedakan dengan agamawan mulai membedakan dirinya. Ilmuwan sudah mulai menggugat eksistensi Tuhan sedangkan agamawan mencoba mempertahankannya. Filsafat pun mulai enggan berbicara tentang Tuhan dan membiarkan Kitab Suci sendiri yang membicarakannya. Uniknya, jauh setelah itu, malah Kitab Suci yang mulai mencoba berbicara tentang filsafat dan ilmu pengetahuan.
Franz Magnis-Suseno mencatat ada dua penyebab retaknya hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Pertama, ada kecenderungan untuk memahami bahwa Tuhan berada di luar kemampuan nalar untuk memahami. Kedua, karena Tuhan berada di luar kemampuan nalar untuk memahami, maka pemikiran rasional tentang Tuhan menjadi tidak bermanfaat.[3] Jadi, sejak era Pencerahan, ateisme muncul dengan pemahaman bahwa eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan secara rasional dan secara empiris, sebagaimana ilmu pengetahuan. Namun, ateisme memiliki persoalan mendasarnya sendiri yaitu, jika eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan secara rasional dan empiris, bagaimana membuktikan bahwa Tuhan memang tidak ada? Benar-benar itu menjadi kelemahan ateisme tetapi tidak menolong teisme karena pembicaraan tentang Tuhan bukannya kembali normal, tetapi malah semakin ditinggalkan.
Kenyataan yang juga cukup mendukung tenggelamnya pembicaraan tentang Tuhan adalah ketika banyak agamawan memproklamirkan bahwa Tuhan memang bukan urusan rasional dan empiris, tetapi urusan hati. Sepertinya itu tidak membantu bangkitnya kembali pembicaraan tentang Tuhan karena hati bukanlah wilayah diskursif. Hati lebih merupakan wilayah personal yang melampuai urusan benar atau salah. Pembicaraan tentang Tuhan memberi ruang bagi penolakan terhadap-Nya. Tidak membicarakan-Nya sama dengan penolakan diam-diam terhadap-Nya. Seumpama si malakama.
Di dalam Islam, kecenderungan untuk membicarakan Tuhan ada pada Ilmu Kalam dan yang cenderung tidak membicarakan-Nya adalah Ilmu Tasawwuf. Mungkin perbandingan tersebut agak tergesa-gesa karena pembicaraan tentang Tuhan dalam Ilmu Tasawwuf pun sangat sering terjadi, tetapi Tuhan yang dimaksudkan adalah Kesegalaan sehingga apapun yang dibicarakan pastilah tentang Tuhan, walaupun itu dalam diam. Jika harus dibandingkan, maka bentuk keengganan membicarakan Tuhan sesungguhnya ada pada kaum tekstualis yang semata-mata memahami Tuhan sebagaimana ada alam teks dan menutup kreativitas akal dalam pembicaraan tersebut. Pada kaum tekstualis inilah filsafat tidak mendapatkan tempat karena dikhawatirkan mengganggu keimanan.
Problem Pengetahuan Manusia Tentang Tuhan
Membungkam manusia untuk tidak membicarakan tentang Tuhan mungkin bisa terjadi di suatu masa tetapi tidak akan terjadi selamanya atau mungkin bisa terjadi di ruang publik, tetapi di ruang senyap sendiri-sendiri kala permenungan, pembicaraan tetap berkecamuk tanpa henti. Beberapa orang bisa saja takut menuliskan pemikirannya tentang Tuhan sehingga tampak Tuhan tidak dibicarakan, tetapi yang lain bisa saja menuliskan kegelisahannya untuk dokumentasi pribadi.
Pembicaraan tentang Tuhan bisa terjadi dalam lingkup suatu agama tertentu. Tentu saja rujukan utama pembicaraan tersebut adalah rujukan utama agama itu sendiri yang biasanya adalah Kitab Suci masing-masing agama. Karena itu, teologi masing-masing agama tidak sama meski mungkin tema-temanya sama, misalnya pertanyaan tentang relasi manusia dengan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, kehendak Tuha, dan sebagainya. Yang membedakan adalah rujukan utama untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Pembicaraa tentang Tuhan juga bisa terjadi lintas agama yang biasanya membicarakan hal paling pokok dari agama itu sendiri yaitu eksistensi Tuhan. Agama manapun memerlukan argumen ini sehingga tidak jarang argumen yang dibangun sama antara satu agama dengan agama yang lain. Pengandaian pembicaraan ini adalah ada kelompok-kelompok tertentu yang menolak eksistensi Tuhan atau minimal enggan membicarakan tentang Tuhan dengan alasan-alasan tertentu. Adalah hak kelompok-kelompok tersebut untuk berkeyakinan demikian, tetapi juga menjadi hak orang lain pula untuk melakukan pembicaraan tentang Tuhan untuk membuktikan kepada diri sendiri dan orang lain bahwa yang meyakini Tuhan bukanlah orang gila dan tidak berakal.
Saat ini, era ketika manusia meyakini Tuhan bukan karena permenungan filosofis masih relevan tetapi dengan catatan bahwa itu hanya bisa disimpan di dalam hati dan pegangan pribadi, bukan untuk dibicarakan bersama lingkungan yang lebih luas. Pembicaraan tentang Tuhan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan untuk dibicarakan dengan orang lain juga masih relevan dengan catatan bahwa hal itu penting untuk agama itu sendiri tetapi tidak relevan dalam kerangka kehidupan yang lebih luas.
Saat ini, pembicaraa tentang Tuhan memasuki era baru, yaitu ketika teologi dikritik sebagai semakin melangit dan terlalu menekankan Ketuhanan sehingga tidak relevan dengan kehidupan manusia itu sendiri. Era ini memaksa pembicaraan kepada dua hal yang pada ujungnya nanti akan berkonfrontasi dahsyat, yaitu pertama, relevansi teologi dengan segala aspek kehidupan mengharuskan apapun serba Berketuhanan secara formal dari hal yang paling besar seperti negara hingga hal kecil-kecil seperti tetangga. Hantu fundamentalisme membayangi sisi ini. Kedua, sebagai reaksi terhadap yang pertama, ketidakharusan segala hal serba Berketuhanan secara formal, cukup dengan dalam kesadaran.
Di dalam Islam, hantu fundamentalisme bisa dipahami sebagai konsekuensi sejarah karena sudah sejak lama Islam lebih dominan membicarakan tentang hukum daripada dogma atau Ketuhanan. Kebertuhanan tidak diukur dari keyakinan kepada dogma tetapi kepada tingkah laku atau dalam istilahnya: bagi Islam, ortopraksi lebih penting daripada ortodoksi.[4] Sebuah kenyataan yang belakangan menjadi tidak karuan karena keimanan dihukumi lewat perbuatan, padahal keduanya berada di wilayah berbeda, akal atau hati dan sekujur jasmani.[]
[1] Bagus Takwin, Filsafat Timur, Yogyakarta: Jalasutra, 2001, hal. 2-3.
[2] David Papineau, Philosophy: Theories dan Great Thinkers, New York: Shelter Harbor Press, 2017, hal. 108.
[3] Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hal. 19-20.
[4] Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology, Cambridge: Harvard University Press, 2006, hal. 16.