Sebagai panduan etika bagi manusia, Al-Qur’an tidak hanya menyajikan norma-norma, melainkan juga mengandung nilai-nilai dalam berbagai bentuk, baik secara konseptual maupun empiris. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an memuat makna yang sangat luas, mencakup berbagai aspek dan dimensi kehidupan manusia. Keanekaragaman ide dan nilai universal yang terkandung dalam Al-Qur’an membuatnya diakui sebagai sebuah karya kompleks yang menyimpan ide-ide dan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Dengan sifat keuniversalannya, Al-Qur’an tetap relevan dengan perkembangan zaman dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu (Abdul Mustaqim, 2010).
Pada momentum ini, menarik untuk kembali mengulas peristiwa Isra’ Mi’raj, yang merupakan salah satu tema sejak dahulu menjadi perbincangan hebat, baik di kalangan ulama, mufassir, akademisi, ilmuan, dan orientalis. Dalam dunia tafsir sendiri, peristiwa Isra’ Mi’raj telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan ditafsirkan pada berbagai konstelasi tafsir, baik dari era klasik hingga kontemporer, dari dimensi teologi hingga saintifik.
Secara sederhana, peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan sebuah perjalanan malam luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw dan telah menjadi salah satu episentrum keajaiban dalam sejarah Islam. Ayat al-Qur’an yang berbicara tentang Isra’ Mi’raj, secara khusus terdapat pada QS. Al-Isra (17:1). Sebagai seorang muslim, keyakinan terhadap peristiwa Isra’ Mi’raj telah menjadi aspek sentral bagi keimanan umat Islam (Miswari & Fahmi, 2019).
Persoalannya adalah, penafsiran terhadap peristiwa Isra’ Mi’raj sejauh ini cenderung terfokus pada dimensi teologis, namun sering kali mengabaikan dimensi sosiologis dan saintifik yang tidak kalah pentingnya. Kecenderungan para ulama dan mufassir mengeksplorasi makna teologis dari peristiwa ini, tampaknya disebabkan oleh keterbatasan interpretatif sehingga terkesan mengecualikan aspek-aspek lain yang dapat membuka dan menjangkau spektrum yang lebih luas (Yamamah, 2021).
Dalam kajian teologis, banyak ulama yang mendalamkan diri pada pemahaman tentang keesaan Allah, keagungan-Nya, dan hikmah dari pengangkatan Nabi Muhammad Saw ke langit. Namun, sejauh mana peristiwa ini memberikan dampak dan relevansi dalam konteks sosial masyarakat Muslim atau bagaimana fenomena ini dapat dihubungkan dengan pengetahuan sains yang berkembang, tampaknya sering terabaikan.
Namun, penting untuk diakui bahwa pembahasan mengenai Isra’ Mi’raj memiliki relevansi yang signifikan dalam konteks memperkuat iman dan keyakinan umat Islam. Fenomena ini tidak hanya mengajak untuk merenungi akidah dan iman, tetapi juga menjadi sebuah panggung yang membutuhkan upaya untuk menyelaraskan pandangan keislaman dengan pemahaman ilmiah yang berkembang.
Oleh karena itu, pembahasan ini menjadi urgent dalam meneguhkan keimanan seorang muslim dan memperkuat keyakinannya terhadap keagungan Allah Swt. Pemahaman dan interpretasi yang mendalam, disertai dengan refleksi akal dan hati, dapat menjadi jembatan untuk menyatukan perspektif ilmiah dan spiritualitas, memungkinkan umat Islam untuk menjaga harmoni antara keyakinan agamis dan pemahaman rasional di era modern ini.
Top of Form
Diskursus Isra’ Mi’raj dalam Tafsir Teologis
Aspek teologis menjadi awal dalam diskursus ini. Seperti yang kita ketahui, telah banyak penafsiran al-Qur’an yang mengulas konsep keesaan Allah, keadilan-Nya, dan hikmah di balik Isra’ Mi’raj. Pengangkatan Nabi Muhammad Saw ke langit menjadi bukti keajaiban dan kemukjizatan seorang rasul, sementara keadilan-Nya tercermin dalam ujian dan pemberian kenikmatan yang luar biasa.
Pandangan ulama tafsir, seperti At-Thabari, Al-Qurthubi, dan mufassir lainnya, telah memperkaya diskursus ini dengan pemahaman yang beragam. Berbagai interpretasi dari berbagai mazhab menunjukkan kompleksitas dan kedalaman makna yang dapat diambil dari Isra’ Mi’raj.
Imam al-Thabari, dalam tafsirnya, mengartikan kata “Maha Suci Allah” dalam QS. Al-Isra’ (17:1) sebagai ungkapan kesucian Allah dari segala bentuk penyekutuan atau asosiasi-Nya dengan makhluk, seperti istri, anak, atau keturunan yang diasosiasikan oleh orang-orang musyrik (At-Thabari, 2007). Ini merujuk pada keesaan dan keagungan Allah yang tidak dapat dicampuri oleh konsep-konsep anthropomorfik yang umumnya terkait dengan praktik keagamaan yang tidak benar.
Ketika berbicara tentang perjalanan Nabi, para ulama Islam berselisih pendapat dalam memberikan gambaran mengenai perjalanan malam Isra’ Mi’raj dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Sebagian di antara mereka berpendapat bahwa Nabi Saw. mengalami isra’ dengan jasadnya, yaitu melalui perantara Buraq. Tafsir al-Ṭabari mencatat banyak riwayat yang mendukung pandangan ini, termasuk riwayat dari Ibnu Syihab dan Anas bin Malik melalui jalur al-Zuhri. Riwayat-riwayat ini mengisahkan pengalaman Nabi Saw. ketika Jibril membawa Buraq, dan Nabi berjalan beriringan dengan makhluk tersebut (At-Thabari, 2007).
Namun, ada pula ahli tafsir yang berpendapat bahwa Nabi Saw. mengalami isra’ hanya dengan rohnya, tanpa melibatkan jasadnya. Riwayat-riwayat ini diperoleh dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Aisyah, dan al-Hasan, menyuguhkan perspektif yang menekankan dimensi spiritual dari peristiwa Isra’ Mi’raj (At-Thabari, 2007).
Di samping itu, Al-Qurthubi juga memberikan penjelasan yang hampir sama dengan apa yang dikemukan oleh At-Thabari, bahwa kata subhana memiliki makna pujian yang luhur dan hanya dapat ditujukan kepada Allah, menyiratkan penyucian-Nya dari segala keburukan dan kekurangan. Sementara itu, kalimat asra biabdihi lailan mengandung arti bahwa Allah memperjalankan hamba-Nya, Nabi Muhammad Saw, pada malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina (Al-Qurthubi, 1384).
Melihat dua penafsiran di atas terhadap peristiwa Isra’ Mi’raj, memberikan gambaran bahwa epistemologi tafsir pada era klasik cenderung mendalam dalam dimensi teologis, sementara pada saat yang sama belum sepenuhnya merambah pada aspek-aspek sosiologis dan saintifik.
Isra’ Mi’raj Perspektif Sociosaintificos Top of Form
Isra’ Mi’raj, peristiwa spiritual luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw, selama ini sering dilihat dari perspektif teologis. Namun, mari kita membuka jendela pemahaman dengan melibatkan perspektif sosiologis dan saintifik agar dapat meraih wawasan yang lebih luas dan aplikatif.
Dari sudut pandang sosiologis, peristiwa Isra’ Mi’raj dapat dilihat sebagai landasan yang membentuk identitas sosial umat Islam. Bagaimana pengalaman spiritual Nabi Muhammad SAW memengaruhi dinamika masyarakat Muslim pada masa itu? Apakah peristiwa ini menjadi titik tolak bagi norma-norma sosial atau bahkan memicu perubahan dalam struktur sosial? Mungkin, penerimaan atau penolakan masyarakat terhadap peristiwa ini dapat menjadi refleksi dari nilai-nilai sosial yang berlaku pada waktu itu.
Salah satu intelektual yang berupaya mengaitkan peristiwa Isra’ Mi’raj dengan dimensi sosiologis adalah Kuntowijoyo melalui paradigma ilmu sosial profetik yang dikembangkannya (Nurul Khotimah, Putri Wulansari, 2019). Konsep ini lahir dari refleksi mendalamnya atas penafsiran Muhammad Iqbal terhadap peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Iqbal menyampaikan gagasan bahwa jika Nabi Muhammad adalah seorang mistikus atau sufi, niscaya ia tidak akan merasa memiliki dorongan untuk kembali ke dunia ini setelah mengalami perjalanan spiritual Mi’raj. Alasannya, karena dalam pertemuan dengan Tuhan di sisi-Nya, ia seharusnya telah mencapai ketenangan dan kepuasan batin yang sempurna (Kuntowijoyo, 2006).
Namun, Nabi Muhammad membuat pilihan yang signifikan dengan memutuskan untuk kembali ke dunia ini. Pilihan ini, menurut Iqbal, tidak semata-mata bermotifkan kebutuhan individu untuk kembali ke kehidupan sehari-hari, melainkan memiliki tujuan lebih besar, yakni menggerakkan roda perubahan sosial yang terimplementasi dari perintah shalat. Dengan kata lain, perjalanan spiritual Mi’raj Nabi Muhammad Saw tidak hanya terbatas pada dimensi mistik dan individu, melainkan membawa misi yang bersifat sosial dan menciptakan transformasi dalam masyarakat (Kuntowijoyo, 2006).
Dalam pandangan Kuntowijoyo, konsep ilmu sosial profetik ini menjadi jembatan antara dimensi spiritual dan sosial. Peristiwa Isra’ Mi’raj, yang umumnya dihubungkan dengan pengalaman spiritual tinggi, dipahami sebagai dorongan untuk menciptakan perubahan positif dalam tatanan sosial. Dengan pendekatan ini, Isra’ Mi’raj bukan hanya menjadi kisah keagungan, tetapi juga menjadi landasan bagi peran sosial dan misi perubahan yang diemban oleh Nabi Muhammad Saw (Kuntowijoyo, 2018).
Sementara pada ranah saintifik, kita dapat menggali apakah ada aspek-aspek dari perjalanan Isra’ Mi’raj yang dapat dijelaskan dengan pemahaman ilmiah modern. Dari sudut pandang astronomi, apakah terdapat fenomena langit atau benda langit tertentu yang sesuai dengan deskripsi peristiwa Isra’ Mi’raj? Atau mungkin dari sudut pandang fisika, apakah ada interpretasi yang dapat memberikan pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana perjalanan ini mungkin terjadi? Menggabungkan pengetahuan sains dengan kisah keagungan spiritual dapat memberikan dimensi yang menarik dan menggugah pikiran.
Salah satu contoh metode penafsiran yang berupaya menjangkau aspek-aspek saintifik, telah diimplementasikan oleh Ansari Yamamah melalui metode tafsir al-Wasi’nya. Menurutnya meskipun ayat ini dimulai dengan kata subhana yang mengarah pada dimensi teologis, menunjukkan kemahahsucian, kemuliaan, dan keagungan Allah Swt yang melebihi batas nalar manusia, terutama dalam konteks peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Perjalanan ini terjadi dalam waktu yang sangat singkat, hampir sepanjang satu malam, dan melibatkan dimensi yang melewati batas-batas ruang, waktu, dan massa (Yamamah, 2021).
Seperti yang dinyatakan dalam hadis dan atsar para sahabat, peristiwa Isra’ Mi’raj melibatkan dua makhluk dalam bentuk cahaya yang sangat luar biasa, yaitu Malaikat Jibril dan Buraq (yang berasal dari kata barqun yang berarti kilat). Makhluk ini mampu menembus angkasa dengan kecepatan yang jauh melampaui cahaya, yang memiliki kecepatan sekitar 300.000 kilometer per detik (km/detik). Jika kita memperkirakan kecepatan Buraq setidaknya setara dengan kecepatan cahaya, yakni 300.000 km/detik, dan mengingat jarak antara Masjidil Haram di Mekkah dan Masjidil Aqsha di Palestina sekitar 1.500 kilometer, maka perjalanan antara kedua kota itu hanya memerlukan waktu sekitar 1/200 detik (Yamamah, 2021).
Dalam konsep fisika, perjalanan Nabi Muhammad Saw melibatkan peleburan massa-Nya dalam super cahaya bersama Malaikat Jibril dan Buraq. Mereka menjadi lebih kecil dari partikel-partikel subatomik seperti proton, neutron, dan elektron, yang kemudian berubah menjadi sinar gamma melalui reaksi annihilasi. Proses ini secara unik membawa dimensi spiritual dan fisika dalam satu kesatuan, di mana batasan-batasan fisika konvensional tampak melebur dalam kemampuan luar biasa dari peristiwa ini (Yamamah, 2021).
Kemudian ketika menafsirkan kalimat linuriyahu min ayatina yang dalam penafsiran sebelumnya dimaknai Allah memperlihatkan kebesarannya kepada Nabi Muhammad Saw seperti malaikat, surga, neraka, sidratul muntaha dan baitul makmur. Dalam Tafsir al-Wasi’, frasa linuriyahu min ayatina mengindikasikan bahwa Allah memperlihatkan kepada Nabi Muhammad Saw kebesaran angkasa raya dengan segala isinya, termasuk milyaran bintang, planet, dan galaksi, sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya yang tak terbandingkan (Yamamah, 2021).
Penafsiran semacam ini dapat menjadi inspirasi bagi kajian ilmu fisika modern, tentunya para fisikawan dapat menyajikan elaborasi lebih lanjut untuk menggali lebih dalam rahasia ilahi yang tersembunyi dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Kecepatan dan transformasi fisika yang melebihi batasan konsep-konsep tradisional menjadi tantangan dan ketertarikan bagi komunitas ilmiah untuk menjelajahi lebih lanjut dan merentangkan wawasan manusia terhadap dimensi-dimensi yang luar biasa dalam cakrawala keimanan dan pengetahuan.
Peristiwa Isra’ Mi’raj bukan hanya ujian bagi keimanan seseorang, tetapi juga sebuah tantangan bagi dunia keilmuan. Bagaimana seseorang dapat memahami dan menerima kebenaran peristiwa yang melebihi batas-batas pengalaman dan akal manusia? Ini bukan hanya sekadar sebuah cerita keagungan, melainkan juga menjadi bahan refleksi bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang keilmuan untuk menjelajahi dan meresapi makna kebesaran Allah yang melampaui batas-batas kognitif manusia.
Menggabungkan ketiga perspektif: teologis, sosiologis, dan saintifik, memberikan gambaran yang lebih lengkap dan mendalam tentang Isra’ Mi’raj. Ini tidak hanya memperkaya pemahaman tentang keagungan Allah Swt, tetapi juga memberikan pandangan yang lebih kontekstual dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman.
Daftar Pustaka
Abdul Mustaqim. (2010). Epistemologi Tafsir Kontemporer. PT. LKiS Printing Cemerlang.
Al-Qurthubi. (1384). Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. In 5 (2nd ed.). Dar al-Kitab al-Misriyah.
At-Thabari, I. J. (2007). Tafsir At-Thabari. Pustaka Azam.
Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (2nd ed.). Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. (2018). Muslim Tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilai-Nilai Al-Qur’an pada Masa Kini. IRCiSoD.
Miswari, & Fahmi, D. (2019). Historitas dan Rasionalitas Isra’ Mi’raj. Jurnal At-Tafkir, 12(2), 152–167. http://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/at/article/view/1354
Nurul Khotimah, Putri Wulansari. (2019). Membumikan Ilmu Sosial Profetik: Reaktualisasi Gagasan Profetik Kuntowijoyo dalam Tradisi Keilmuwan di Indonesia. Jurnal PROGRESS: Wahana Kreativitas Dan Intelektualitas, 7(2), 431–435.
Yamamah, A. (2021). Tafsir Al-Wasi’: Islam Transitif (Pendekatan dan Metode Tafsir Milenial). 1–156.