Relativisme, Skeptisisme, dan Agama

pexels.com

Relativisme adalah ide bahwa ketika masing-masing orang memiliki pendapat berbeda, maka masing-masing benar bergantung/relative pada sudut pandangnya. Apakah itu berarti kebenaran universal tidak ada? atau sebaliknya apakah itu berarti tidak adanya kebenaran sama sekali?

Masih teringat terang bagaimana pada suatu zaman ada keyakinan bahwa bumi adalah sentra alam semesta (geosentrisme) dan yang meyakini itu—pada waktu itu—bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah para ilmuwan dan orang-orang cerdas. Keyakinan seperti itu dianggap salah oleh umumnya orang yang hidup di masa sekarang. Persoalannya, seandainya orang-orang yang menolak pendapat tersebut hidup di masa itu, maka bukan tidak mungkin mereka juga meyakini bahwa bumi adalah sentra alam semesta karena pada waktu itu, ada alasan untuk keyakinan tersebut dan belum muncul untuk alasan pendapat berbeda. 

Bacaan Lainnya

Demikian pula, pada banyak budaya di masa lalu dan juga masa kini, ada keyakinan tentang adanya banyak tuhan yang menguasai urusan manusia. Keyakinan tersebut juga dianut oleh banyak orang cerdas dengan alasannya sendiri. Tentu saja tidak bisa begitu saja orang lain menyebut mereka salah hanya karena sudut pandang yang berbeda. Yang menolak pandangan banyak tuhan ada dua golongan, yaitu yang pertama, mereka yang meyakini adanya hanya satu tuhan (monoteis). Kedua, mereka yang sama sekali tidak meyakini adanya tuhan (ateis). Jadi, dalam hal-hal tertentu, monoteis dan ateis pun bisa saling bersepakat. Dalam hal ini, sepakat untuk menolak menolak banyak tuhan. 

Bagaimana seandainya jika ketiga pandangan tersebut di atas (banyak tuhan, satu tuhan, dan tidak ada tuhan) hanyalah perbedaan pendapat yang berasal dari perbedaan sudut pandang? Bagaimana jika seandainya pendapat-pendapat yang berbeda itu hanyalah kepingan-kepingan puzzle yang jika disusun akan melahirkan gambar yang lebih utuh tentang kosep ketuhanan? Itulah yang dibayangkan oleh relativisme.

Secara umum, teori yang mengukuhkan relativisme berdasar pada pemahaman bahwa keyakinan atau pendapat selalu bergantung kepada kenyataan hidup subyektif orang yang berpendapat atau yang berkeyakinan. Misalnya, ada tiga orang duduk berdampingan di sebuah bangku, maka yang duduk di sebelah kanan akan mengatakan bahwa yang tengah berada di sebelah kirinya. Sedangkan yang duduk di sebelah kiri akan mengatakan bahwa yang tengah berada di sebelah kanannya. Karena itu, sebuah pendapat bisa benar bagi seseorang tetapi salah bagi orang lain. Bagi relativisme, itulah takdir kebenaran, selalu tergantung kepada siapa yang meyakininya. Lalu, kebenaran itu maksimal sebagai “kebenaran menurut A”, tidak lebih, bukan kebenaran yang berlaku universal. Itulah mengapa menurut relativisme, kebenaran selalu relatif. Nama lain untuk hal ini adalah perspektivisme.

Banyak pemikir memandang bahwa pemahaman relativisme itu sesungguhnya membingungkan. Memang bisa saja kebenaran tertinggi bagi manusia adalah kebenaran menurutnya sendiri dan belum tentu orang lain memahami kebenaran yang sama. Namun itu belum tentu sebagai bukti bahwa kebenaran yang tidak relatif itu tidak ada. Keterbatasan manusia untuk mencapai kebenaran yang sesungguhnya bukanlah bukti bahwa kebenaran absolut itu tidak ada. Lagipula, ada cara untuk menghindari “kebenaran menurut A” sendiri, yaitu lewat metodologi tertentu. Dengan metodologi, A tidak bisa lagi menolak kebenaran walaupun kebenaran itu tidak sesuai dengan sudut pandangnya.

Karena itu, ada relativisme yang lebih ringan, yaitu yang berpendapat bahwa yang terjadi pada manusia hanyalah perbedaan kosakata atau perbedaan ungkapan tentang hal-hal yang sesungguhnya sama. Misalnya, jika yang dimaksud “tuhan” adalah “faktor penting yang memengaruhi hidup manusia”, maka bisa saja pendapat bahwa tuhan itu tidak hanya satu adalah benar. Berbeda jika yang dimaksud “tuhan” adalah “faktor terpenting yang memengaruhi hidup manusia”, maka bisa saja pendapat bahwa hanya ada satu tuhan itulah yang benar.

Sebaliknya, pendapat anti-relativisme tentang kebenaran yaitu yang memahami bahwa apabila ada sebuah keyakinan, maka pastilah bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya oleh siapapun. Intinya, kebenaran tidak tergantung waktu dan tempat karena berlaku kapapun dan di manapun. Ilmu pengetahuan di masa datang barangkali bisa menyangkal sebagian besar keyakinan yang ada saat ini, dan barangkali pula akan menggunakan metode yang saat ini bahkan belum terpikirkan. Namun anti-relativisme meyakini bahwa selalu ada fakta: ilmu pengetahuan di masa datang berbeda dengan ilmu pengetahuan masa kini dalam beberapa hal, kemudian ilmu pengetahuan di masa datang itu benar dan di masa kini pun benar: tetap saja tidak bisa dikatakan bahwa semuanya benar dengan sudut pandangnya masing-masing. Menurut anti-relativisme, pastilah ada yang salah dan ada yang benar karena tidak masuk akal jika tidak ada yang salah atau bahkan tidak ada yang benar.

Bisa dikatakan bahwa pandangan relativisme berfokus kepada keterbatasan pengetahuan manusia karena keterbatasan perspektif manusiawi. Yang menolak relativisme pun memahami bahwa selalu ada respek kepada perbedaan pendapat dan pandangan dan setiap pandangan mesti mengakui pandangan berbeda, namun mengatakan bahwa semuanya menjadi relatif atau bahkan menjadi benar hanya gara-gara keterbatasannya, maka itu sama saja mengatakan tidak ada yang salah. Semua benar. Bagaimana sebuah tatanan dibangun di atas aturan yang tidak mampu menentukan mana benar dan mana salah?

Di atas tampak perbedaan antara skeptisime dan relativisme. Misalnya, A dan B berbeda pendapat karena A dan B berbeda sudut pandang. Relativisme memahami kenyataan tersebut sebagai kebenaran yang bergantung kepada sudut pandang dan belum tentu kebenaran yang sesungguhnya. Konsekuensinya, A dan B tetap memiliki kemungkinan untuk benar. Karena itu, ada kemungkinan tidak hanya satu kebenaran. Lalu, bagi relativisme, di manakah kebenaran? Kebenaran ada pada A atau B, tergantung sudut pandang keduanya, meskipun barangkali keduanya bukan kebenaran yang sesungguhnya. 

Adapun skeptisisme akan memahami kenyataan itu sebagai gagalnya A dan B mencapai kebenaran dan karena itu, kebenaran tidak ada baik pada A maupun pada B. Lalu, bagi skeptisisme, di manakah kebenaran? Ada di luar sana, entah di mana. Pertanyaannya: Bagaimana kebenaran yang ada di luar sana dan entah di mana bisa mengalahkan kebenaran yang ada di sini pada A dan B padahal itu nyata adanya? Itulah problem mendasar pada skeptisisme, yaitu tidak adanya kebenaran. Jika demikian, skeptisisme pun tidak benar karena juga meragukan.

Baik relativisme maupun skeptisisme meragukan adanya kebenaran yang berlaku universal atau absolut. Bedanya, relativisme mengakui adanya kebenaran meskipun itu harus bergantung kepada sudut pandang yang berkeyakinan atau yang bependapat. Sedangkan skeptisisme tidak mengakui adanya kebenaran sama sekali.

Agama mengalami konflik dengan skeptisisme dalam hal keraguan. Agama menghendaki keyakinan, sedangkan skeptisisme menghendaki keraguan. Agama meyakini kebenaran, sedangkan skeptisisme tidak meyakini apa-apa. Agama sesungguhnya tidak alergi terhadap keraguan karena terbukti agama tetap membuka ruang bagi dialog, terutama untuk mereka yang meragukan agama. Di dalam Al-Qur’an banyak fragmen yang berisi dialog antara yang yakin dengan yang tidak yakin. Agama juga berkembang karena keterbukaannya terhadap keraguan yang sudah merupakan tabiat dasar manusia. Kemampuan agama untuk merespon dengan baik setiap keraguan adalah kunci bagi berkembangnya agama itu sendiri, baik perkembangan agama itu sendiri maupun perkembangan individu penganut agama itu. Sebagai catatan, individu pun perlu menantang dirinya dengan keraguan agar muncul keyakinan yang sesungguhnya.

Agama juga mengalami konflik dengan relativisme dalam hal kebenaran yang beragam. Agama umumnya hanya mengokohkan kebenarannya sendiri dan menafikan kebenaran agama lain, apalagi ketidakberagamaan. Barangkali ada agama yang meyakini banyak tuhan, tetapi akankah agama seperti itu bersedia menerima kebenaran agama yang meyakini satu tuhan? Tentu saja tidak dan demikian pula sebaliknya. Di sisi lain, agama sesungguhnya tidak juga alergi terhadap kebenaran yang beragam karena memang tidak mungkin keyakinan manusia hanya satu dan seragam. 

Al-Qur’an seringkali berbicara tentang keyakinan berbeda dengan nada bersahabat dan bahkan mengajak kerjasama. Agama juga berkembang justru dengan keterbukaanya untuk bekerjasama dengan keyakinan dan orang berbeda. Pemaksaan agama untuk menghilangkan kebenaran yang beragam barangkali bisa dilakukan, tetapi harus dengan cara memusnahkan keragaman dan itu hanya akan memusnahkan kemanusiaan seluruhnya karena suatu agama tidak hanya akan berhadapan dengan keragaman di luar dirinya, tetapi juga keragaman di dalam diri agama itu sendiri. Jika ada pemaksaan, maka ujungnya, agama itu akan melakukan tindakan bunuh diri.[]

Bahan Bacaan

Blackburn, Simon, Kamus FilsafatYogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Papineau, David, Philosophy: Theories and Great Thinkers, New York: Shelter Harbor Press, 2017.

Schimmel, Annemarie, Sayap Jibril: Gagasan Religius Muhammad Iqbal, Yogyakarta: Lazuardi, 2003.

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *