Cara Benar Memahami Hadis Nabi

Hadis adalah perkataan, perbuatan, dan sifat Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh umat Islam hingga sampai ke zaman sekarang. Meski tidak berawal dari perbuatan atau sifat, Hadis sampai ke saat ini sudah dalam bentuk perkataan atau kalimat. Hadis biasanya memiliki perbedaan dalam struktur kata dan kalimat dengan perkataan orang biasa, namun kadang juga mirip dengan perkataan orang biasa. Berikut beberapa cara untuk memahami Hadis. 

1. Fahami Metafornya

Bacaan Lainnya

Strategi ini dapat digunakan untuk memahami beberapa Hadis tertentu. Misalnya, dalam Fath al-Baarii, Ibn Hajar mengemukakan sebuah hadis riwayat al-Bukhari. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah. Para istri bertanya kepada Nabi tentang siapakah yang paling cepat menyusul duluan sepeninggal Nabi. Rasul pun menjawab: “Yang paling panjang tangannya”. Akhirnya mereka mengukur tangannya masing-masing dan ternyata yang paling panjang tangannya ialah Saudah. Hanya saja ternyata Zainab yang meninggal duluan sementara tanganya paling pendek dari istri-istri nabi lainnya. Zainab ini merupakan istri nabi yang paling banyak sedekahnya.

Di sini ada kaitan antara “Yang paling panjang tangannya” dan “yang paling sering bersedekah”. Metafora ‘panjang tangan’ dalam kebudayaan Arab dikonotasikan sebagai perilaku yang sering memberi orang lain.

2. Temukan Illat/Alasan di Balik Pensyariatan 

Misalnya, hadis tentang perintah agar umat Islam harus berbeda secara penampilan dari kaum Musyrik. Nabi SAW bersabda: “Bedakanlah diri kalian dari kaum Musyrik. Panjangkan jenggot dan cukurlah kumis kalian.” Perintah panjangkan jenggot dan cukur kumis di sini dilandasi alasan/illat untuk berbeda secara penampilan dari kaum musyrik. Kaum musyrik di zaman Nabi tentu berbeda dari kaum musyrik di masa sekarang. Nabi berjenggot, meniru nabi dengan berjenggot itu bagus sekali, tapi jenggot saja tidak bisa dijadikan barometer kesalehan seseorang.

3. Pahami Hadis dalam Bingkai Ruang dan Waktunya 

Memahami Hadis-hadis yang berkenaan dengan kebudayaan Arab seperti pakaian, misalnya, berlaku untuk ini. Hadis-hadis mengenai pakaian banyak sekali jumlahnya. Pemahaman  secara tekstual terhadap Hadis-hadis pakaian ini akan mengimplikasikan bahwa pakaian Nabi wajib digunakan oleh umat Islam. 

Tapi seandainya ada yang berkeyakinan bahwa sebagai wujud cinta kepada Nabi adalah dengan mencontoh pakaian Nabi itu bagus dan utama, asal jangn untuk menilai apalagi menjustifikasi orang lain bahwa org yg pakaiannya tidak persis pakaian Nabi berarti tidak  cinta nabi, terlebih uswah hasanah Nabi harus lebih difahami kepada akhlak. Kita cinta Nabi, maka kita mencontoh akhlak/prilaku Nabi, tidak cukup hanya mencontoh pakaiannya.

4. Perhatikan Skala Prioritas dalam Ibadah

Jika ada dua ibadah di mana yang satu dari segi pahala bersifat utama sementara yang lain lebih utama, maka ibadah yang lebih utama ini yang lebih diprioritaskan untuk diamalkan. Jika ada dua ibadah di mana yang satu dampak positifnya untuk pribadi sementara ibadah yang lain dampak positifnya bukan hanya untuk pribadi namun juga untuk lingkungan sosial, maka ibadah yang berdampak sosial secara positif inilah yang diutamakan.

5. Melihat Semangat yang Melandasi Hadis

Tekstualitas Hadis tetap penting meski semangat yang melandasi Hadis itu yang lebih penting. Contoh Hadis yang berkenaan dengan strategi ini ialah perintah Nabi Saw kepada Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Ibrani. 

Tekstualitas Hadis ini mengatakan bahwa mempelajari bahasa Ibrani itu sunnah. Namun berdasar pada pemahaman atas intensionalitas Hadis ini, harus difahami bahwa belajar bahasa asing itu termasuk sunnah jika semangatnya untuk berdakwah dan kebaikan. Dalam pepatah dunia penelitian dikatakan ‘al-maudhuu’ yafridl al-manhaj’ yang artinya objek menentukan metode yang akan digunakan.

Sebelum tulisan ini berakhir, ada catatan penting yaitu dalam memahami teks Hadits, konteks Hadis tetap penting diperhatikan atau sabab wurud-nya sebuah Hadis tetap penting agar pemahaman awal tidak terlalu jauh. Lalu, penting pula dipahami bagaimana pandangan-pandangan ulama ahli Hadis mengenai persoalan yang dimaksud karena yang sangat faham soal metafor dan lain-lainnya tentu saja para pakarnya (pewaris Nabi) yaitu ulama.

Jika ulama ahli Hadits memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai suatu hadits, maka kembalinya kita kepada Hadits/Sunnah adalah dengan siap berbeda, sepakat untuk berbeda, dan akur dalam perbedaan.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *