Simbolisasi Tuhan dalam Tasauf Ibnu `Arabi

Collin Cobuild dalam English Language Dictionary memberikan makna simbol sebagai suatu bentuk yang digunakan untuk mewakili sesuatu. Dari makna simbol ini dapat dipahami bahwa simbolisasi merupakan proses mencipta atau memformulasikan sesuatu yang dilakukan dengan memberikan lambang atau tanda tertentu yang digunakan untuk mewakili sesuatu. Jadi simbolisasi Tuhan bisa diartikan sebagai proses memformulasikan simbol Tuhan yang diyakini dalam suatu bentuk tertentu.

Simbolisasi merupakan bagian terpenting bagi manusia dalam kehidupan sosial masyarakat apalagi dalam keberagamaan mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh Ernst Cassier dalam bukunya yang berjudul The Philosophy of Symbolic Forms. Sedang dalam buku yang berjudul The Sacred & The Profane The Nature of Religion, Mircea Eliade menyebutkan bahwa simbolisasi dalam keberagamaan menjadi kebutuhan paling mendasar manusia, karena  menurutnya simbol-simbol Tuhan yang dihasilkan dari proses simbolisasi dapat menjadi alat atau sarana penting untuk lebih mengenal yang transenden (Tuhan).

Kebutuhan terhadap simbol Tuhan, secara historis mengalami tiga tahap pemodelan simbol yaitu, Pertama model arkais yakni menyimbolkan Tuhan dengan batu atau patung dari batu. Kedua yakni menyimbolkan Tuhan dengan simbol manusia sakti yang memiliki kekuatan supernatural serta dapat menjadi juru selamat bagi manusia. Tahap pertama dan tahap kedua ini memberikan model simbol terhadap Tuhan lebih menekankan bentuk dualistis dan politheistis serta memberikan sifat yang imanen terhadap Tuhan. Ketiga, model simbol Tuhan secara transenden dengan memposisikan Tuhan sebagai inti keyakinan tanpa menyimbolkan-Nya dengan sesuatu yang bersifat kemanusiaan melainkan menyimbolkan-Nya dengan sifat ketuhanan yang murni. Misalnya model simbol yang bisa memberikan interpretatif terhadap ekisitensi Tuhan yang bersifat transenden seperti dalam bentuk tulisan Allah (الله).

Tahap pemodelan simbol Tuhan yang ketiga dimiliki oleh ajaran tauhid yang bersifat monoteistis yaitu mempercayai adanya satu Tuhan. Salah satu ajaran pokoknya adalah mensucikan Allah SWT dari sifat-sifat yang tidak layak, karena Dia memiliki segala sifat yang sempurna dan sangat jauh dari kekurangan serta tidak bisa diserupai dengan apapun. Ajaran inilah yang membatasi simbolisasi Tuhan secara berlebihan agar tidak menyimpang.

Penyimpangan terhadap simbol Tuhan memang seringkali terjadi dalam sejarah keberagamaan manusia. Misalnya pada masa Nabi Nuh AS, penyimpangan terhadap simbol Tuhan yang dilakukan oleh umatnya yakni Tuhan disimbolkan oleh mereka dengan nama-nama seperti Wad, Suwa`, Yagus, Ya`uq, dan Nasr yang diambil dari nama-nama orang shaleh yang telah meninggal dunia. Pada masa Nabi Musa AS, umatnya mempertuhankan seorang raja yang bernama Fir`aun sebagai simbolisasi kepercayaan terhadap Tuhan pada saat itu. Simbol Tuhan dalam bentuk seekor anak lembu juga pernah terjadi pada umat Nabi Musa AS. Selanjutnya pada masa Nabi Muhammad SAW, kaum musyrikin Mekah saat itu mempercayai Tuhan yang disimbolkan dalam bentuk patung berhala seperti patung berhala Hubal, Lata, Uzza, dan Manat.

Pada masa sekarang simbol-simbol Tuhan gaya baru bermunculan sebagai akibat dari percampuran keyakinan terhadap ajaran Islam dengan agama lain atau dengan unsur lain. Misalnya pada agama Baha`i yang merupakan suatu agama hasil dari percampuran ajaran Islam dengan beberapa agama lain seperti Yahudi, Budha, Zoroaster, Hindu, dan Kristen. Agama Baha`i ini menyimbolkan Tuhan dengan seorang yang bernama Baha`ullah, karena ia diyakini sebagai perwujudan Tuhan. Serupa dengan agama Baha`i, agama Druze di Timur Tengah juga menyimbolkan Tuhan dengan seorang manusia yang bernama Tariq al-Hakim. Tariq al-Hakim ini adalah pelopor agama tersebut yang diyakini sebagai jelmaan Tuhan.

Formulasi simbol Tuhan oleh agama-agama di atas lahir dari sitem kepercayaan yang bersifat panteistis. Di antara ajaran panteisme adalah imanensi yaitu sistem kepercayaan terhadap Tuhan yang imanen yang berarti bahwa Tuhan berada dalam struktur alam semesta dan ikut serta dalam kehidupan manusia. Apabila ditinjau dari tasauf Ibnu `Arabi, maka simbolisasi Tuhan dalam sistem kepercayaan yang panteistis tersebut dianggap belum sempurna tanpa dibarengi dengan keyakinan terhadap Tuhan yang transenden.   

Dalam bukunya yang berjudul Fushush Al-Hikam, Ibnu `Arabi memberikan pandangan yang komprehensif tentang kepercayaan terhadap Tuhan yang transenden dan imanen. Misalnya pada kasus simbolisasi Tuhan secara imanen oleh umat Nabi Nuh AS yang memformulasikan simbol Tuhan dalam bentuk orang-orang shaleh yang disembah. Contoh lain simbolisasi Tuhan secara imanen yang dilakukan oleh umat Nabi Musa AS dalam bentuk seekor anak lembu dan juga yang dilakukan oleh umat Nabi Isa AS dalam rupa seorang manusia suci yang diyakini sebagai anak Tuhan. Semua simbolisasi Tuhan ini menurut Ibnu `Arabi mengandung hikmah bahwa simbol-simbol Tuhan tersebut tidak lepas dari kehendak-Nya untuk menifestasikan diri-Nya kepada sesuatu sebagai perwujudan rahmat-Nya.

Adanya manifestasi Tuhan pada sesuatu hingga dapat menjadi simbol Tuhan dalam gagasan tasaufnya Ibnu `Arabi ini menyempurnakan konsep tauhid yang ada, karena menurutnya ketauhidan yang sempurna adalah mencakup pada keyakinan terhadap Tuhan yang transenden dan imanen. Hanya saja keyakinan terhadap Tuhan yang imanen harus tepat pemahamannya dalam batas mengakui esksistensi sakralitas pada sesuatu atau seseorang karena memang benar-benar ada manifestasi Tuhan terhadap keduanya baik yang didukung oleh wahyu Tuhan maupun oleh hadits Nabi, seperti pada bangunan Ka`bah yang sakral dan para Nabi dan Rasul yang dimuliakan atau disucikan.

Meskipun pengakuan terhadap yang sakral karena adannya manifestasi Tuhan ini ada, namun dalam ajaran tauhid esensi sakral yang sesungguhnya hanya satu yaitu kekuatan supernatural dalam bentuk tunggal sebagai Tuhan. Sehingga sakral yang termanifestasi oleh Tuhan pada sesuatu dan seseorang tidak menjadikan keduanya sebagai simbol Tuhan yang disembah, akan tetapi cukup menjadikan keduanya sebagai simbol yang mewakili sifat-sifat Tuhan. Contoh sifat-sifat Tuhan yang mewakili konteks ini adalah al-Batin (Yang Maha Tersembunyi) dan al-Zahir (Yang Maha Tampak). Sifat Allah Yang Maha Tersembunyi sebagai sifat yang mewakili realitas yang tertinggi  dan transenden, sedangkan sifat Allah Yang Maha Tampak menjadi simbol yang mewakili Allah memanifestasikan diri-Nya secara imanen kepada alam nyata.

Konsep ini menjadi batasan simbolisasi Tuhan dalam ajaran tauhid dengan tetap melarang formulasi simbol-simbol Tuhan dalam wujud material berdasarkan pada  keyakinan bahwa Allah tidak bisa diserupai dengan sesuatu apa pun sebagaimana yang tertera dalam QS. al-Syura/42: 11, yang artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya”. Disamping itu juga formulasi simbol-simbol Tuhan dalam wujud material tersebut terjebak ke dalam sikap yang berlebih-lebihan dalam beragama. Sikap seperti ini dilarang oleh Rasulullah SAW, seperti dalam hadits berikut:“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (berlebih-lebihan melampaui batas) dalam beragama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam beragama”. (HR. Ibnu Majah).

Sikap ghulluw atau berlebih-lebihan melampaui batas dalam memformulasikan simbol Tuhan dalam tasauf merupakan sikap yang lahir dari kehendak hawa nafsu. Menurut Ibnu `Arabi bahwa hawa nafsu menjadi motivator utama terciptanya rasa cinta kepada Tuhan yang kemudian mampu berimajinasi dan memformulasikan simbol Tuhan yang dikehendakinya. Hanya saja kemampuan hawa nafsu ini bisa terjebak menjadi sikap mempertuhankan hawa nafsu itu sendiri sebagaimana yang disinggung dalam QS. al-Furqan: 25/ 43, yang artinya: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”.

Dengan demikian konsep tasauf Ibnu `Arabi tentang kesempurnaan tauhid dengan meyakini Tuhan yang transenden juga imanen menghindari penyimpangan simbolisasi Tuhan. Keyakinan terhadap Tuhan yang transenden menghilangkan simbolisasi Tuhan yang dilakukan oleh manusia hanya dengan hawa nafsunya. Sedangkan keyakinan terhadap Tuhan yang imanen mempertegas simbol kehadiran Tuhan pada segala sesuatu dengan segala sifat-sifat sempurna-Nya.[]

Editor: IS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *