Lahirnya Nabi Muhammad SAW di alam dunia merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh khalayak manusia, khususnya pada masyarakat Arab pada saat itu. Zaman dimana perbudakan, pencurian, pembunuhan, peperangan, penindasan, kezaliman, dan hal-hal menyeramkan lainnya sudah menjadi sesuatu yang lumrah, bahkan menjadi konsumsi keseharian mereka.
Dalam keadaan yang menyeramkan itu, umat manusia merindukan akan munculnya seseorang yang dapat memeberikan pesan secara proporsional antara kehidupan sosial yang baik dan kehidupan beragama secara seimbang. Sehingga dalam sejarah Islam, lahirlah sosok kharismatik Nabi Muhammad Saw yang Allah takdirkan untuk memainkan peran yang sangat berat itu.
Namun, lahirnya sang Nabi pada hari Senin telah menimbulkan sejumlah pertanyaan bagi umat Islam saat ini. Secara rasioal, hari Senin bukanlah termasuk hari-hari yang diistimewakan umat Islam. Tidak seperti hari Jum’at, malam Lailatul Qadar, malam nisfu Sya’ban, hari Ied, hari Arafah, hari-hari di bulan Ramadhan, atau hari-hari di bulan Haram. Tapi, mengapa Allah menentukan hari Senin sebagai hari dilahirkannya sang kekasih di muka bumi ini?
Sebagian ulama berpendapat, Allah memang ingin memuliakan hari Senin tersebut dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Seandainya beliau dilahirkan pada waktu mulia yang sudah ada, niscaya orang mengira bahwa Nabi Muhammad Saw menjadi mulia karena dilahirkan pada waktu mulia.
Di lain pendapat, Syeikh Yusri Rusydi Jabr, mursyid tarekat syâdziliyyah di Mesir, memiliki pandangan lain tentang hikmah dibalik lahirnya sang Nabi pada hari Senin. Pendapat ini menurut saya sangat mengagumkan dan jarang diketahui kecuali oleh para ahli hikmah. Dalam salah satu kajiannya beliau menjelaskan, bahwa pada zaman azali hanya ada satu zat, yaitu zat Allah Swt. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Saw dalam hadisnya:
كان الله ولا شيء معه
“Allah telah ada, dan saat itu tidak ada apa pun bersama-Nya”
Dan kemudian makhluk pertama yang Allah ciptakan adalah Nur Nabi Muhammmad Saw, sebagaima yang tertera dalam sebuah hadis yang diriwatkan oleh sahabat Jabir:
عن جابر بن عبد الله الأنصاري قال: قلت يا رسول الله بأبي أنت وأمي أخْبِرْني عن أول شيء خلقَه الله تعالى قبل الأشياء،قال: “يا جابر فإن الله تعالى خلق قبل الأشياء نور نبيك من نوره
“Wahai (Nabi) Muhammad, demi kedua orang tuaku akan menjadi jaminanku, mohon katakan padaku apa yang Allah ciptakan sebelum semua makhluk diciptakan? Rasulullah Saw menjawab: “Sesungguhnya Allah ciptakan sebelum adanya sesuatu adalah nur Nabimu dari Nur-Nya.”
Pertanyaan yang timbul adalah, apa korelasi antara zaman azali yang hanya ada Allah Swt, serta Nur Nabi Muhammad Saw adalah makhluk pertama-Nya, dengan kelahiran beliau di dunia pada hari Senin?
Kelahiran kekasih Allah pada hari Senin seakan memberi pesan logis, bahwasanya dahulu Allah itu sendiri (ahad), Kemudian Dia menciptakan Nur Nabi Muhammad Saw. Maka pada saat itu hanya ada dua zat (istnain). Oleh karenanya, beliau dilahirkan di alam dunia pada hari Senin (يوم الاثنين), setelah ahad.
Konsep di atas kemudian melahirkan sebuah konsep lain, yaitu makhluk yang paling mulia. Kalau seandainya Allah menginginkan sang kekasih lahir pada hari Jumat, maka lahirlah beliau pada hari jumat. Akan tetapi Allah ingin memberi tahu kepada seluruh alam, bahwa beliaulah makhluk paling mulia, dan beliaulah kekasih-Nya.
Lahirnya sang kekasih pada hari senin telah memberikan intuisi, bahwasanya ketika itu hanya ada dua zat, yaitu zat Allah dan Nur Nabi Muhammad Saw yang mendapatkan pancaran cahaya langsung dari Sang Khalik untuk menyinari Alam semesta. Mencintai Nabi berarti mencintai Allah. Taat kepada Nabi berarti taat kepada Allah. Dan nama yang paling layak untuk disandingkan dengan lafdzul jalalah adalah kekasihnya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Cinta terhadap Nabi Saw merupakan keniscayaan mutlak bagi siapa saja yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Dari syair-syair yang ada, Nabi Muhammad Saw sering diserupakan dengan bulan (Qomarun/Badrun). Para penyair mengatakan demikian bukan tanpa alasan. Mereka berfilosofi, bahwa bulan tidak dapat memancarkan cahayanya sendiri, melainkan dengan pantulan dari cahaya matahari. Begitupun dengan Nabi Saw, pancaran cahaya beliau merupakan pantulan langsung dari Allah Swt untuk menyinari alam dari gemerlapnya akhlak pada saat itu, dan akan terus menyinari hingga masa yang tak terhingga. Shallallahu alaihi wasallam.