Abstrak
Peristiwa MATAN merupakan fenomena kelam yang pernah terjadi di Indonesia pada 18 sampai 30 September 1948 di Jawa Timur. Selain aparat, sipil, tokoh masyarakat tak luput juga para agamawan (kiai/santri) menjadi korban dalam peristiwa pembantain Partai Komunis Indonesia (PKI). Monumen Kresek dan Soco menjadi saksi bisu kekejaman PKI yang terjadi selama beberapa hari di kota tersebut. Patung, relief dan beberapa nama-nama yang tertulis di batu seolah menunjukkan pembantaian itu banyak di lakukan kepada kiai dan santri karena peran mereka sebagai patron masyarakat yang bisa saja mempengaruhi mereka untuk menentang idiologi komunis PKI. Menariknya agamawan menjadi sebab adanya jurang pemisah dalam kelas sosial karena perannya sebagai lokomotif dalam menyampaikan agama kepada masyarakat menjadikannya mendapat posisi paling tertinggi dalam strata sosial. Sementara, persamaan hak dalam strata sosial merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Penelitian ini membuktikan bahwa adanya hierarki dalam masyarakat menyebabkan konflik sosial. Tujuan penulisan ini memberikan pandangan baru terhadap masyarakat bahwa penghoramatan berlebihan terhadap agamawan bahkan sampai mengkultuskannya menghilangkan egaliter dalam strata sosial. Dengan pendekatan sejarah dan dilandasi dengan argumen ilmiah melalui kajian pemikiran, paper ini menemukan pangertian sejarah kemanusian yang panjang selalu menuntut adanya kesedarajatan hak dalam sosial.
Kata kunci: Agamawan, Komunis, Egalitarianisme
- Pendahuluan
Komunisme merupakah paham yang terbentuk dari sosial ekonomi lapisan bawah dalam masyarakat dikarenakan adanya monopoli ekonomi yang dilakukan oleh penguasa atau lapisan atas. Para penguasa ini terdiri dari aristokrat dan agamawan yang biasa disebut sebagai kaum borjuis sedangkan masyarakat lapisan bawah biasa disebut proletar.[1] Kekecewaan proletar terhadap borjuis yang menerapkan sistem kapitalis menimbulkan kesenjangan antara keduanya. Sampai pada akhirnya muncul idiologi komunis dalam lapisan bawah dengan tujuan kepemilikan bersama atas segala hal yang dimiliki kalangan lapisan atas. ide ini dibawa pertama kali oleh Karl Marx asal Jerman (1818-1883) dalam kutipan Die Religion … ist das Opium des Volkes (Agama… adalah opium bagi masyarakat) yang berasal dari bukunya yang berjudul; “A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right” yang mulai ditulis pada tahun 1843.[2]
Paham itu tentunya memberikan angin segar kepada para agamawan –salah satu bagian dari borjuis- untuk meninabobokan para proletar yang kalah berkompetisi dengan borjuis dalam menguasai roda perekonomian. Para proletar ini hanya dijadikan sebagai alat produksi yang keuntungannya dinikmati kaum borjuis.[3] Agamawanpun mamainkan perannya sebagai pengisi spiritual proletar dengan menjanjikan surga dengan cara tidak mengejar materi. Banyak keuntungan yang diambil mereka dari para proletar ini dengan cara membayar menggunakan materi untuk penebusan dosa (indulgensi) disaat sudah terjadinya revolusi ajaran agama yang lebih baik dari sebelumnya.[4] Melihat fenomena ini, Mark meyimpukan bahwa agama ini dapat menjadi ‘Candu’ dalam masyarakat agar tidak berambisi dalam kompetisi ditengah revolusi industri besar-besaran yang terjadi saat itu.[5]
Paham yang tepat untuk mengatasi hal itu adalah dengan cara meniadakan peran tuhan terhadap manusia karena dianggap mengganggu stabilitas sosial saat itu. Selanjutnya, paham ini semakin berkembang ke berbagai wilayah-wilayah di luar asalnya dan menjadi idiologi baru yang banyak disambut masyarakat yang ingin adanya revolusi dalam tatanan moral, budaya, ekonomi, dan politik.[6] Adanya penjajahan bangsa Eropa terhadap Asia Tenggara menjadikan akses transfer keilmuan semakin mudah ke wilayah koloninya, temasuk Indonesia yang masih dikenal sebagai Nusantara saat itu dan dijajah oleh Belanda sampai beberapa abad lamanya. Orang-orang Belanda aliran kiri yang anti kapitalisme meninggalkan negaranya kemudian masuk ke negara koloninya yaitu Indonesia. Komunis masuk ke Indonesia pada tahun 1914 dibawa oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet asal Belanda bersama Adolf Baars dan mendirikan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV).[7]
Selanjutnya paham ini disambut baik sekali oleh sebagain tokoh-tokoh muda Syarekat Islam (SI) yang merupakan sebuah organisasi masyarakat ketika itu untuk menghimpun dan menggalang massa untuk melawan kolonial Belanda. Sisi sosialnya yang memiliki kesamaan dengan Islam menjadikan paham ini cepat sekali penyebarannya di pulau Jawa dan banyak mendapat dukungan dari rakyat bawah yang sudah bosan hidup dalam kesengsaraan akibat sistem imperialisme yang dibangun oleh belanda. Infiltrasi komunis dalam kubu SI menciptkan blok sosialis (kiri) dan tradisional (kanan) yang pada akhirnya menjadi cikal bakal dari pemberontakan blok sosialis kiri terhadap blok kanan pada tahun-tahun selanjutya.[8]
Di Madiun, kota ketiga republik setelah Yogya dan Solo yang terletak strategis di persimpangan jalan lalu lintas, partai partai Front Demokrasi Rakyat ( FDR ) sejak awal Revolusi hampir selalu merupakan kekuatan yang paling kuat. Partai-partai ini bersandar pada serikat-serikat buruh yang kuat, dan juga mempunyai pengikut sangat banyak dari kalangan penduduk desa, yang sangat peka terhadap janji-janji tentang reformasi agraria. Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO) kuat di wilayah ini, dan juga mempunyai kesatuan-kesatuan bersenjata yang sangat besar. Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) yang didominasi oleh Pesindo bermarkas besar di Madiun. Setelah kabinet Hatta tampil, posisi Pesindo yang dominan ini diberondong oleh PNI, GRR, dan Masyumi yang paling mendapat sukses. Dalam kompetisi ini rencana rasionalisasi juga memainkan peran besar. Untuk itu Madiun akan dijadikan sebagai basis divisi TNI. Posisi laskar FDR yang kuat itu akan dipatahkan oleh rasionalisasi, sebagai ancang-ancang untuk sama sekali menyingkirkannya. Karena itu dalam bulan Mei 1948 protes keras dilancarkan terhadap rencana-rencana tersebut.[9]
Aksi di Madiun tersebut lebih didasari oleh rasa kekecewaan terhadap para pemimpin Islam dan masalah ketentaraan. Para anggota PKI lebih menggunakan cara seperti agitasi dan provokasi terhadap musuhnya. Ternyata dengan cara seperti itu merupakan cara yang ampuh untuk mengalahkan para musuh-musuh dari PKI dengan mengandalkan semua elemen rakyat kalangan bawah. Hingga akhirnya peristiwa pemberontakan PKI di Madiun terjadi 18 September 1948. Namun berita pemberontakan tersebut baru di ketahui oleh pemerintah pada sore hari di Yogyakarta.[10] Rangkaian peristiwapun berlanjut di Soco yaitu sebuah desa yang letaknya kurang lebih lima ratus meter di sebelah Selatan Lapangan Udara Iswahyudi. Soco termasuk wilayah Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan. Desa Soco dalam peristiwa berdarah yang dilakukan oleh PKI tahun 1948 memiliki arti sejarah tersendiri. Hal ini dikarenakan di desa Soco inilah para tokoh dianggap musuh oleh PKI dibantai secara masal di dalam sumur-sumur tua di tengah tegalan.
Pembantaian PKI terhadap beberapa tokoh agamawan di MATAN tidak terlepas dari sejarah hierarki yang pernah terjadi antara proleter dan borjuis di Eropa. Sejak di kampanyekannya idiologi komunis internasional (Komintern) di Uni Soviet, rangkaian-rangkaian peristiwa revolusi di berbagai kawasan terhadap penguasa banyak di ikuti oleh negara-negara yang lemah, dikarenakan ide komunis menjadi salah satu ide yang tepat dalam membentuk negara kuat dan terbesar di dunia saat itu.
Kesimpulan Abad pertengahan membuktikan bahwa pengkultusan secara berlebihan terhadap agamawan menciptakan strata sosial antara kelas atas dan kelas bawah. Penebusan dosa (indulgensi) yang dilakukan atas nama agama menjadi media untuk menarik materi secara terpusat kepada agamawan yang akhirnya menjadi basis kekuatan dalam sosial. Kebebasan manusia dalam mengekspresikan keinginannya terbelenggu disebabkan pembatasan agama (infibilitas). Pada saat itulah muncul dari kalangan masyarakat yang mengkritisi fenomena keagamaan yang disalahgunakan para agamawan dengan menggunakan idiologi komunis dengan tujuan menghilangkan jurang pemisah antara kelas atas dan kelas bawah (egalitarianisme). Menyebarnya idiologi ini sampai ke hindia belanda (Indonesia) sebelum merdeka, antara agamawan (kiai) dan komunis belum terjadi konflik sangat besar karena keduanya masih dalam koloni belanda (imperial). Dengan artian kolonial belanda sebagai kelas atas sedangkan agamawan dan komunis sebagai kelas bawah. Namun, setelah merdeka dengan banyaknya para kiai dan santri yang terlibat dalam pemerintahan menjadi konflik sosial baru. Tragedi berdarah di MATAN 1948 ini merupakah contoh ketidakharmonisan antara agamawan yang diwakili oleh kiai dan santri. Konflik itu disebabkan egalitarianisme, dimana para kiai dan santri sebagai kelas atas sedangkan komunis sebagai kelas bawah.
[1] Meryland Suryati and Emmy Solina, “Gerakan Buruh Di Indonesia Dalam Analisis Teori Perjuangan Kelas Karl Mark,” Jmm 3, no. 2 (2019): 2019.
[2] Karl Marx, “Contributions to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction,” in Karl Marx: Early Writings, 1963.
[3] Afnanee Panae and Islahuddin, “Pertentangan Kelas Dalam Cerpen Kuda Itu Seperti Manusia Juga Karya Kuntowijoyo : Analisis Sosiologi Sastra Marxis,” Senasbasa, no. 4 (2020): 249–58.
[4] Pristiwa ini akhirnya menimbulkan reformasi dalam ajaran Kekristenan yang diajukan oleh Luther dengan dalil-dalilnya yang menentang adanya indulgensi melalui Bapa Gereja. Kalvin S. Budiman, “Aquinas, Konsili Trent, Dan Luther Tentang Pembenaran Oleh Iman : Sebuah Isu Tentang Kontinuitas Dan Diskontinuitas,” Veritas: Jurnal Teologi Dan Pelayanan 7, no. 2 (2006): 190–97, https://doi.org/10.36421/veritas.v7i2.182.
[5] Joachim Eberhardt, “Religion as »Opium of the People«: Remarks to Its History of Ideas, with Some New Finds,” Deutsche Vierteljahrsschrift Fur Literaturwissenschaft Und Geistesgeschichte 93, no. 3 (2019), https://doi.org/10.1007/s41245-019-00080-4. Pungky Lela Saputri and Achmad Gunaryo, “REVIEWING POVERTY IN INDONESIA: KARL MARX’S VIEW OF RELIGION IS AN OPIUM,” Jurnal Alwatzikhoebillah : Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora 7, no. 1 (2021), https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v7i1.335.
[6] Oleksa Drachewych, “The Communist Transnational? Transnational Studies and the History of the Comintern,” History Compass 17, no. 2 (2019): e12521, https://doi.org/10.1111/hic3.12521.
[7] A. Syatori, “JEJAK MARXISME DI INDONESIA,” JURNAL YAQZHAN: Analisis Filsafat, Agama Dan Kemanusiaan 3, no. 1 (2017): 175–76, https://doi.org/10.24235/jy.v3i1.2129.
[8] Kartika Sari, “GERAKAN SAREKAT ISLAM (SI)-MERAH (Persinggungan Antara Islam Dan Komunis Di Indonesia Tahun 1920-1926)” (PROGRAM PASCASARJANA IAIN RADEN FATAH PALEMBANG, 2011), 39–42.
[9] Mohammad Heris Setiawan, “Sejarah Peristiwa PKI Di Dusun Djengkol Desa Ploso Kediri 1961-1966,” Simki UNP Kediri, 2016, 5–6.
[10] Setiawan, “Sejarah Peristiwa PKI Di Dusun Djengkol Desa Ploso Kediri 1961-1966.”