Orang Berpengetahuan Pasti Berkebaikan

pexels.com

Ada ungkapan lama yang mengaskan bahwa tidak mungkin manusia melakukan perbuatan yang menurut pengetahuannya itu buruk. Tindakan melakukan keburukan adalah tindakan yang tidak masuk akal. Semakin berpengetahuan seseorang, maka dia pasti semakin baik. Kekurangan pengetahuan lah yang membuat orang melakukan keburukan. Karena itu, satu-satunya cara orang untuk menjadi baik adalah dengan berpengetahuan.

Rentetan ungkapan di atas pastilah menuai banyak kritik karena dalam kenyataan tidak sedikit orang yang dikenal pandai, tetapi melakukan tindakan buruk. Namun, sebelum sampai kepada kritik, ada baiknya ditelaah lebih seksama apa yang dimaksud oleh rentetan ungkapan di atas.

Barangkali yang perlu dipahami adalah apa yang dimaksud dengan orang berpengetahuan. Paling tidak, orang yang berpengetahuan adalah orang yang mengetahui hal-hal yang dia tahu dan mengetahui pula hal-hal yang dia tidak tahu. Tidak sedikit orang—mengaku—berpengetahuan yang tidak tahu apa yang dia tidak tahu. Tentu saja itu tidak masuk akal karena yang masuk akal adalah manusia tidak mungkin mengetahui segala hal. Hanya Tuhan yang seperti itu. Karena itu, mereka yang tidak mengetahui apa yang mereka tidak tahu sama dengan mengaku mengetahui segala hal dan itu tidak mungkin.

Orang yang berada pada level seperti di atas pastilah orang yang pengetahuannya kurang. Karena itu, orang seperti ini sangat mungkin melakukan keburukan akibat kurangnya pengetahuan mereka. Di antara keburukan yang mungkin dilakukannya dalam hal ini adalah menghina orang lain, merasa benar sendiri, mudah mengkafirkan orang lain, menyombongkan diri, dan seterusnya. Dengan kata lain, berlaku sebagai Tuhan. Sebaliknya, mereka yang mengetahui ketidaktahuan mereka atau mengetahui keterbatasan pengetahuannya pastilah tidak demikian. Dengan itu, orang yang berpengetahuan besar kemungkinan terhindar dari perbuatan buruk daripada yang tidak berpengetahuan.

Selanjutnya, pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang dilakukan, bukan hanya yang dikatakan. Misalnya, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa kejujuran itu baik dan ada orang yang mengatakan demikian. Jika orang tersebut hanya mengatakannya dan belum melakukan tindakan kejujuran, maka sesungguhnya pengetahuannya masih kurang. Perbandingan yang sederhana adalah ada orang yang mengatakan bahwa Masjidil Haram itu indah dengan Kabah yang ada di tengahnya. Ada pula orang yang tidak hanya mengatakan tetapi pernah beribadah di Masjidil Haram sambil menatap Kabah. Manakah di antara dua orang itu yang pengetahuannya lebih baik? Pastilah yang kedua. Demikian pula dengan pengetahuan tentang kejujuran.

Lebih jauh, sesuatu disebut pengetahuan apabila mampu menjangkau apa yang berada di balik segala yang tampak. Karena itulah, seorang pengamat politik disebut lebih berpengetahuan dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya karena pengetahuannya yang menjangkau bukan hanya apa yang tampak di berita tetapi hingga yang tidak tampak oleh kebanyakan orang. Segala yang kita bisa dijangkau oleh pancaindera adalah hal-hal yang material. Pengetahuan sejati mampu menjangkau bukan hanya hal-hal yang material tetapi sampai di balik yang material itu. Dengan demikian, pengetahuan yang sesungguhnya adalah hal-hal yang di balik material, bakan yang material.

Pengetahuan biasa mampu menjangkau yang material. Namun pengetahuan sejati mampu menjangkau di balik material. Mereka yang pengetahuannya hanya sampai ke material akan menilai segala hal dari ukuran material seperti kekayaan, kemasyhuran, penampilan, dan seterusnya. Sedangkan mereka yang pengetahuannya menjangkau yang tidak material akan memiliki penilaian berbeda. Kebaikan tidak lagi bersangkut dengan hal-hal material, tetapi lebih dalam kepada spiritual. Kebaikan yang diperjuangkan hendaklah kebaikan yang menjangkau batin, bukan hanya sampai kepada penampilan. Pada sisi penampilan dan penampakan, tidak mungkin manusia dijadikan sama, tetapi pada sisi batin, sesungguhnya semua sama. Semua menghendaki kebaikan, terutama kebaikan bersama. Jangan sampai perbedaan penampakan membuat manusia lupa tujuan kebaikan bersama.

Kegagalan untuk mengetahui kebaikan sebagaimana telah dicontohkan di atas—dan juga contoh yang sebaliknya—membuat manusia melakukan kekeliruan karena tidak ada yang melakukan keburukan secara sukarela. Kalaupun keburukan ternyata tetap dilakukan, maka pastilah karena keburukan itulah yang dianggap kebaikan oleh manusia. Ketika manusia melakukan tindakan kekerasan kepada sesamanya, maka pasti dia menganggap kekerasan itu adalah kebaikan. Namun jika dia belajar lebih baik dan lebih mendalam, pastilah pada puncak pengetahuannya, dia akan paham bahwa kekerasan bukanlah kebaikan.

Kembali kepada masalah di awal: Benarkah dengan berpengetahuan, manusia menjadi lebih baik dan tidak menjadi lebih jahat? Bukankah banyak yang dikenal sebagai orang pandai tetapi malah melakukan tindakan keburukan? Sampai detik ini, manusia masih percaya bahwa berpengetahuan adalah satu-satunya jalan kepada berkebaikan. Sebaliknya, berkebodohan adalan jalan kepada berkejahatan.

Perjalanan manusia untuk terus menyempurnakan pengetahuannya—di saat bersamaan—adalah perjalanan manusia untuk terus-menerus menyempurnakan kebaikannya. Di dalam perjalanan itu, sesekali manusia terperosok di dalam jurang keburukan, tetapi manusia pasti akan bangkit untuk melanjutkan proyek penyempurnaan pengetahuannya dan juga proyek penyempurnaan kebaikannya.[]

Bahan Bacaan

Buckingham, Will (ed.), The Philosophy Book: Big Ideas Simply Explained, London: DK, 2011.

Lavine, T. Z., From Socrates to Sartre, Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus, 2020

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *