Dekonstruksi adalah sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jacques Derrida yang pada awalnya merupakan suatu cara atau metode membaca teks. Jacques Derrida adalah seorang filosof yang banyak mengkritik gagasan dan teori para filosof modern. Ia lahir pada tanggal 15 Juli dari sebuah keluarga Yahudi di El-Biar, Aljazair. Derrida mengawali karir akademiknya dengan mengajar ilmu filsafat dan logika di The University of Paris. Derrida adalah tokoh hermeneutika yang berkaitan dengan bahasa dan makna.
Metode dekonstruksi kerap kali dikenal sebagai hermeneutika radikal. Hermeneutika radikal adalah hermeneutika yang mengambil jarak dari apa yang disebut “hermeneutika normal”. Kata “normal” atau “hermeneutika normal” yang diacu oleh dekonstruksi adalah hermeneutika pada umumnya yang merupakan kegiatan interpretasi yang dimaksudkan untuk menemukan “makna asli” teks atau susunan makna teks, entah itu untuk merehabiitasi makna asli ataupun mengkonstruksi makna baru. Dekonstruksi membatalkan upaya rehabilitasi ataupun konstruksi seperti itu. Dekonstruksi justru mengandaikan bukan hanya tiadanya makna asli sebuah teks, melainkan juga ketidakmungkinan keutuhan makna sebuah teks. Hal ini menjadikan sebuah teks dapat diinterpretasikan sampai tidak terhingga.
Dekonstruksi adalah gabungan dari proses deskripsi (penggambaran) dan transformasi (perubahan). Dekonstruksi adalah cara berpikir untuk menggoyang apa yang sudah dianggap stabil dan mapan sehingga membutuhkan ketajaman, ketelitian, dan berfikir secara radikal. Hermeneutika Derrida mengubah interpretasi mapan dari suatu teks berdasarkan apa yang dimiliki oleh teks itu sendiri. Hal tesebut dilakukan dengan meneliti secara sungguh-sungguh suatu teks, sehingga dimengerti betul apa yang dimaksud oleh teks itu, sebagaimana pemahaman orang pada umumnya selama ini. Kemudian setelah gambaran itu didapatkan, dicarilah poin-poin kontradiktif dari teks itu untuk kemudian dikembangkan menjadi suatu pemahaman baru. Sekecil apapun kontradiksi yang ada mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak terpikirkan. Dalam metode dekonstruksi ini satu kalimat kecil yang tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah makna teks secara keseluruhan.
Dekonstruksi tidak merupakan sebuah diskursus, dalam artian sekumpulan pernyataan yang mengarahkan dan membentuk praktik-praktik itu. Dekonstruksi juga bukan berupa metode yang terdiri dari seperangkat aturan formal untuk menganalisis praktik-praktik diskursif dan nondiskursif. Dekonstruksi lebih merupakan sebuah strategi untuk memperlihatkan ambiguitas sebuah diskursus dengan jalan menelusuri gerakan-gerakan paradoksal yang terdapat di dalam diskursus itu sehingga tiap-tiap unit diskursus menyubversikan dasar-dasar asumsi yang dimilikinya sendiri.
Dekonstruksi berjalan dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu dengan berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif di pojok-pojok teks yang diabaikan.
Sifat radikalis dalam dekonstruksi ini ditandai dengan pergantian perspektif secara terus-menerus sehingga makna “tidak dapat diputuskan”. Teks dapat diinterpretasikan sampai tidak terhingga. Apabila makna sudah ditemukan, makna itu terbuka terhadap kemungkinan ditemukan makna yang lain dan demikian seterusnya. Penemuan makna yang baru tidak membatalkan makna yang dahulu, tetapi makna yang dahulu tidak boleh menjadi acuan atau pusat.
Hermeneutika pada umumnya meyakini kemungkinan untuk mendapatkan kesatuan makna dan menganggap makna sebagai sesuatu yang dapat diputuskan, sehingga “makna yang benar” itu dapat dicari dan ditemukan. Sedangkan dekonstruksi justru menganggap makna tidak dapat diputuskan. Setiap upaya untuk menentukan makna diintai oleh suatu makna yang berbeda di dalam sebuah teks. Dalam arti ini, tujuan dekonstruksi bukanlah memahami lewat peleburan horizon-horizon, melainkan mengolah perbedaan-perbedaan yang tidak dapat ditangkap dalam sebuah keutuhan.
Teori dekonstruksi ini diambil dan dikembangkan oleh Muhammad Arkoun yang kemudian menggunakan dekonstruksi dalam memahami Al-Qur’an. Tujuan utama Arkoun adalah melepaskan umat Islam dari kejumudan dan krisis dalam pemikiran mereka, serta untuk menciptakan suatu pemikiran Islami yang mampu menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam di dunia modern. Untuk sampai pada proyek yang besar ini, Arkoun banyak merujuk pada pemikiran-pemikiran Barat kontemporer salah satunya adalah Jacques Derrida.
Dekonstruksi dalam tafsir Al-Qur’an dapat diimplikasikan menekankan bahwa setiap teks (keagamaan) adalah “jejak” yang senantiasa menunjuk kepada teks-teks lainnya, sekaligus menegaskan penolakan atas klaim bahwa sebuah diskursus keagamaan dapat memiliki akses langsung kepada makna “asali” sebuah teks. Klaim inilah yang mengukuhkan posisi dominan sebuah diskursus atas diskursus lainnya. Dengan mengubah struktur hierarkis penafsiran, dekonstruksi menempatkan diskursus-diskursus dalam suatu posisi yang sejajar.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Fajar Hamdani, Akbar Farhan, dan Anshari Hilmi Rahman. Al-Qur’an Dalam Tafsiran Dekonstruksi dan Rekonstruksi. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2020.
Darmawan, Dadang. “Kajian Hermeneutika Terhadap Fenomena dan Teks Agama: Al-Qur’an dan Hadis Nabi,” dalam Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 2 No. 1 Tahun 2016.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeunetik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.
Siregar, Manghiut. “Kritik Terhadap Teori Dekonstruksi Derrida,” dalam Journal of Urban Sociology, Vol. 2 No. 1 Tahun 2019.
Soekarba, Siti Rohmah. “Kritik Pemikiran Arab: Metode Dekonstruksi Mohammed Arkoun,” dalam Jurnal WACANA, Vol. 8 No. 1 Tahun 2006.Udang, Frety Cassia. “Berhermeneutik Bersama Derrida,” dalam Jurnal Tumou Tou, Vol. 6 No. 2 Tahun 2019.