Pendahuluan
Latar belakang dari pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd adalah menginginkan pengkajian Al-Qur’an yang bersifat objektif dan terpisah dari ideologis dan tendesius dari gerakan-gerakan Islam salah satunya gerakan Ikhwanul Muslimin. Pengaruh gurunya Amin al-Khuli dalam memahami Al-Qur’an melalui metode pendekatan linguistik sastra, serta dipengaruhi paham Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah mahluk (diciptakan Tuhan). Penafsirannya juga dipengaruhi teori hermeneutika, salah satunya yang digagas oleh Schleirmacher dalam mengembangkan penafsirannya terkait teks dan konteks.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, ia menggunakan metode analisis teks bahasa sastra atau metodologi kritik sastra (literary criticism). Sejalan dengan pandangan gurunya, Abu Zayd mengatakan: “Saya mengkaji Al-Qur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh kaum Muslim, Kristen maupun Atheis”. Hal ini mempunyai dampak pada tiga hal, yaitu: pertama, Al-Qur’an adalah sebuah teks, dan lebih khususnya sebuah teks linguitik, dan karena bahasa tidak dipisahkan dari budaya dan sejarah, Al-Qur’an juga sebuah teks kultural dan historis; kedua, teks haruslah dikaji dengan menggunakan pendekatan linguistik dan sastra dengan memperhatikan aspek kultural dan historis suatu teks; dan ketiga, titik berangkatnya bukannya keimanan, namun objektivitas keilmuan, sehingga baik muslim maupun nonmuslim dapat memberikan kontribusi kepada studi Al-Qur’an. Al-Qur’an dianggap bukan lagi sebagai teks Tuhan yang sakral, tetapi telah bergeser menjadi ‘teks manusiawi’.
Alasan-alasan yang mengangap Nasr Hamid murtad di antara pendapatnya: Al-Qur’an adalah produk budaya sehingga mengingkari status azali Al-Qur’an sebagai kalamullah yang telah ada dalam Lauhulmahfuz. Dan pendapat lain ia mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah teks linguistik, ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan Al-Qur’an adalah karangan beliau.
Pemikiran kritisnya tidak hanya disampaikan kepada ulama-ulama konservatif dan moderat namun juga sekuler, seperti: ulama sekuler membungkus ide subjektifnya berdasarkan nilai-nilai kemanusian yang bersifat global; sedangkan ulama konservatif membungkus ide subjektifnya dengan makna literistik kitab suci. Pemikiran kritis lainnya, ia membangun jalan dan etos terhadap perspektif baru dalam pengkajian Al-Qur’an yakni: mempertegas hubungan antara hermeneutika Al-Qur’an dengan historis dan sastra atas teks Al-Qur’an, adalah seperti dua sisi dari satu mata uang; yang satu mensyaratkan yang lain. Di samping itu ia memiliki keteguhan yakni keyakinan mental dan kepastian nalar yang final, sekalipun harus terbuang dari negaranya.
Pembahasan
Kelemahan penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd karena menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an yang tidak didasari bentuk penafsiran sebelumnya (riwayat dan pemikiran yang berlandaskan ayat Al-Qur’an/Hadis). Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Emilio Betti, Hans Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan Eric D. Hirsch. Hermeneutika teks-teks agama Barat (Bibel) bermula dengan masalah besar: 1) ketidak yakinan tentang keshahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak dari awal karena tidak adanya bukti materil teks-teks yang paling awal; 2) tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang boleh [dapat] diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma; dan 3) tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu.
Agama Islam memiliki teks wahyu (Al-Qur’an) yang final dan otentik, sebagai kitab yang tanzil karena lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Allah SWT telah menjamin keaslian dari teks Al-Qur’an. Di dalam QS. Yunus/10: 15, Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri, aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa: jangan ikuti pikiran-pikiran mereka yang lahir dari hawa nafsu, dan jika tindakan-tindakan itu bersifat ilmiah maka terima tetapi jika tidak maka jangan diikuti. Sejak Rasululah Saw hidup, ia pernah mengingatkan kepada umatnya, “Kalian pasti akan mengikuti jejak orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga bila mereka dahulu itu masuk lubang biawak pasti kalian mengikutinya. Kami bertanya: Ya Rasulullah, apakah orang Yahudi dan Nasrani?” Jawab Nabi, Siapa lagi selain mereka?”.
Kelemahan lainnya siapa saja boleh menafsirkan sehingga mengabaikan integritas penafsir. Dimana ketentuan seorang mufasir harus menguasai ilmu-ilmu alat yang diperlukan seperti: nahu, tasrif, nasikh-masukh, dan sebagainya serta berkriteria/kualifikasi penafsir (akidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, dan sebagainya).
Dampak Penafsiran Al-Qur’an Menggunakan Teori Hermeneutika:
- Relativisme tafsir, paham ini sangat berbahaya, sebab: 1) menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga selalu berusaha memandang kerelativan kebenaran Islam, 2) menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari Al-Qur’an dan sunah Rasul yang sudah teruji selama ratusan tahun. Padahal, metode hermeneutika Al-Qur’an hingga kini masih merupakan upaya coba-coba beberapa ilmuwan kontemporer yang belum membuahkan pemikiran Islam yang utuh dan komprehensif. Akibatnya, para pendukung hermeneutika tidak akan mampu membuat satu tafsir Al-Qur’an yang utuh. Mereka hanya berkutat pada masalah dekonstruksi sejumlah konsep/hukum Islam yang sudah dipandang baku dalam Islam, dan 3) menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman.
- Curiga dan mencerca ulama Islam, seorang sarjana syariah dari lAIN Semarang, M. Kholidul Adib Ach, dengan artikel “Al-Qur’an dan Hegemoni Arabisme,” yang secara terbuka menyerang integritas kepribadian dan keilmuan Imam asy-Syafi’i. Mereka ingin “Islam yang baru,” bukan Islam yang dipahami para sahabat, tabiin, tabiut tabiin, dan generasi awal Islam yang berjasa meletakkan fondasi keilmuan Islam yang kokoh dan tahan uji.
- Dekonstruksi konsep wahyu, Abu Zayd yang menyatakan bahwa teks Al-Qur’an sebagai “spirit wahyu dari Tuhan” begitu identik dengan konsep teks Bibel, bahwa “The whole Bible is given by inspiration of God.” Akibatnya orientalis menyebut agama Islam sebagai “agama Muhammad,” dan hukum Islam disebut sebagai “Mohammedan Law,” umat Islam disebut sebagai “Mohammedan.” Penganut konsep Al-Qur’an versi Abu Zayd ini biasanya tidak mau menyatakan, “Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an,” sebab mereka menganggap” Al-Qur’an adalah kata-kata Muhammad. Atau, Al-Qur’an adalah karya bersama antara Muhammad dengan Tuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ichwan, Moch Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Jakarta: Teraju, 2003.
Armas MA, Adnin. Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Husaini, Adian, Abdurrahman Al Baghdadi. Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2007.Fu’ad Abd Baqi, Muhammad. Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979.