Teori Double Movement Fazlur Rahman

pexels.com

Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di suatu daerah bernama Hazrah, yang terletak di barat laut Pakistan. Tempat ini banyak melahirkan para pemikir handal, seperti Syaikh Waliyullah al-Dahlawi, Sayyid Ahmad Khan, Amir Alidan, dan Mohammad Iqbal sehingga keadaan tersebut turut diwarisi oleh Fazlur Rahman sebagai seorang pemikir yang bebas kritis dan neo-modernis. Ayahnya bernama Maulana Syabab al-Din, beliau seorang ulama tradisional yang bermazhab Hanafi sehingga Rahman dibesarkan dalam keluarga yang bermazhab Hanafi, yaitu salah satu mazhab Sunni rasional yang sangat kuat, tak heran jika ia sejak kecil terbiasa dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan fundamental Islam seperti sholat,puasa dan lain sebagainya secara teratur. Fazlur Rahman dididik ayahnya dalam berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadis, falsafah dan kalam. Semasa kecil, sang ayah sering memberikan pelajaran mengenai hadis dan ilmu syari’at. Pada tahap tersebut, ia sudah merasa skeptis terhadap hadis. Menurutnya, pada awal sejarah Islam, sebagian besar hadis tidaklah bersumber dari Nabi Muhammad Saw, tetapi bersumber dari sahabat, tabi’in dan atba’ al-tabi’in (generasi muslim ketiga).

Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam, karena Al-Qur’an sendiri menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia, sehingga kritik Fazlur Rahman juga diarahkan kepada para penulis tafsir Al-Qur’an. Menurutnya, didalam membahas Al-Qur’an sebagian dari penulis muslim mengambil dan menerangkan ayat demi ayat dan hampir semua penulisan dilakukan untuk membela suatu pandangan tertentu. Oleh karena itu prosedur penulisan juga tidak dapat mengemukakan pandangan Al-Qur’an secara kohesif terhadap alam semesta dan kehidupan.

Berangkat dari kritik tersebut, Fazlur Rahman menawarkan metode penafsiran Al-Qur’an dengan mekanisme hermeneutika double movement. Sesuai dengan namanya, teori ini memiliki dua gerakan ganda. Pertama, gerakan dari situasi kontemporer ke situasi pewahyuan Al-Qur’an. Yakni, seorang penafsir harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut adalah jawabannya. Jadi langkah pertama dari gerak yang pertama adalah memahami makna Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batasan-batasan ajaran khusus yang merupakan respons terhadap situasi khusus.

Kedua, dari situasi pewahyuan kembali ke situasi kontemporer. Melihat situasi historis pewahyuan menjadi urgen karena Al-Qur’an adalah respon ilahi dengan media insani, yakni melalui nalar kenabian (the prophet’s mind). Respon ilahi tersebut ditujukan pada situasi sosial-moral yang terjadi pada masa dan tempat Nabi, khususnya masyarakat komersil Makkah pada era Nabi.

Gerakan kedua ini adalah masa Al-Qur’an diturunkan (setelah menemukan prisip-prinsip umum) kembali lagi ke masa sekarang. Dalam pengertian bahwa ajaran-ajaran (prinsip) yang bersifat umum tersebut harus ditumbuhkan dalam konteks sosio historis yang konkret masa sekarang. Sehingga perlu dikaji secara cermat situasi sekarang, sehingga situasi tersebut bisa dinilai dan diubah sejauh yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas baru demi mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula.

Di samping itu, gerakan kedua juga dapat bertindak sebagai alat koreksi terhadap hasil dari gerakan pertama, yakni tafsiran atas teks. Jika hasil dari pemahamannya gagal diterapkan dalam realitas sosial, maka akan muncul kegagalan dalm melihat kondisi yang ada secara tepat atau ada kegagalan dalam memahami Al-Qur’an. Karena menurut Rahman, tidak mungkin sesuatu yang dulu bisa direalisasikan kemudian tidak bisa diterapkan karena adanya perubahan situasi dan kondisi. Untuk itu diperlukan upaya intelektual dari penafsir untuk memahami teks Al-Qur’an yang merupakan produk masa lalu yang memuat aturan-aturan lama, kemudian mengubah aturan-aturan tersebut agar secara aktual dan efektif bisa diterapkan dalam situasi saat ini.

Teori double movement ini sejalan dengan kaidah Alquran yakni al’ibrah bi umuum al-lafd laa bi khushuus al-sabab ialah mengambil pelajaran atau hukum dari keumuman lafaz, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni bila sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafaznya umum (general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafaznya, karena Al-Qur’an turun sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi standar adalah keumuman lafaznya tersebut, bukan kekhususan sebabnya.

Bukan berarti seseorang mengabaikan pendekatan linguistik ketika memaknai dengan metode ini, seperti nahwu, sharaf, filologis, dan balaghah. Menurut Rahman, pendekatan linguistik ini tetap penting digunakan, namun harus menduduki tempat kedua dan ayat-ayat Al-Qur’an tetap harus dinilai dengan pemahaman dari Al-Qur’an itu sendiri.

Rahman dalam memandang Al-Qur’an lebih berorientasi pada aspek moral dibanding spekulasi intelektual. Orientasi ini tentu berbeda dengan orientasi kajian ulama abad pertengahan yang mementingkan ranah pribadi dibanding ranah sosial. Rahman menekankan pada penegakan etika Al-Qur’an, yakni etika yang terbebas dari segala kepentingan. Etika yang bertumpu pada nilai humanitas itu sendiri, namun tetap berpegang pada nilai-nilai transedental Ilahi. Nilai-nilai moral yang berusaha dikuak dan dipadukan dengan nilai humanisme yang menonjolkan peran manusia sebagai makhluk yang dibebani tanggung jawab boleh dikatakan sebagai suatu hal yang baru pada masanya. Sebab hal tersebut menuntut adanya perhatian terhadap penggalian konsep-konsep sosiologis-antropologis.

Dari pemaparan singkat di atas, Rahman lebih menekankan ideal moral yang bernilai moralitas yang universal dibanding legal spesifik yang memuat norma dan hukum-hukum yang baginya bersifat meruang dan mewaktu.

DAFTAR PUSTAKA

A’la, Abd. Dari Neo-Modernisme Keislaman Liberal. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

Ahsin, Mohammad. Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual Fazlur Rahman. Bandung: Pustaka, 2005.

Mustakim, Abdul. Epistimologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS, 2012.

Rodiah, dkk. Studi Al-Qur’an: Metode dan Konsep. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.

Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra, 2007.

Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika Al-Qur’an Dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.Wahid, Abdul Ramli. Ulumul Qur’an. Ed. Rev, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *