Gadamer dan Hermeneutik Filosofis

ssl.com

Hans Georg Gadamerlahir di Marburg pada tanggal 11 Februari 1900 dari kalangan keluarga menengah yang memiliki karir akademik yang tinggi. Ayahnya yang bernama Johannes Gadamer merupakan seorang profesor dan peneliti di bidang ilmu kimia.[1] Gadamer diharapkan oleh ayahnya agar kelak menjadi seorang ahli ilmu alam (naturwissenschaften), namun dia justru tertarik pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora (geisteswissenschaften). Gadamer sempat menimba ilmu di Universitas Breslau, tetapi kemudian kembali ke kota kelahirannya untuk belajar filsafat kepada para filosof neo-kantian yakni Paul Natorp dan Nikolai Hartman. Pada umur 22 tahun dia telah merampungkan disertasinya.[2]

Setelah itu, Gadamer mengunjungi Freiburg untuk belajar filsafat kepada Martin Heidegger bersama Leo Strauss, Karl Lowith dan Hannah Arendt. Dari sini Gadamer mempunyai hubungan yang sangat dekat dengannya. Ketika Martin Heidegger mempunyai posisi di Universitas Marburg, Gadamer mengikutinya ke kota tersebut. Pemikiran Martin Heidegger sejak saat itu sangat mempengaruhi pola pikir Gadamer dan hal ini membuatnya jauh dari pengaruh-pengaruh Neo-Kantianisme.

Pada tahun 1922, Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat. Pada tahun 1929, dia menjadi privatdozent (dosen privat) di Marburg dan menjadi profesor di tempat yang sama pada tahun 1937. Sejak tahun 1949 dia mengajar di Heidelberg sampai dia pensiun. Menjelang masa pensiun, karir filsafat Gadamer justru mencapai puncaknya melalui publikasi Wahrheit und Mehtode (Kebenaran dan Metode).[3]

Hermeneutika Gadamer banyak dipengaruhi oleh ontologi Martin Heidegger. Bahkan sering kali ia disebut penerus dari hermeneutika ontologi gurunya itu. Pengaruh ini terlihat jelas terutama dalam hal pandangannya yang mengatakan bahwa hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Ia banyak membahas tentang memahami bagaimana orang memahami. Oleh sebab itu, ia sering menyebut pemikirannya secara umum dengan hermeneutika filosofis.[4]

Hans Georg Gadamer yang dikenal sebagai seorang filosof hermeneutika ini mengungkapkan beberapa teori dan konsep. Salah satunya adalah konsep peleburan cakrawala (horizon). Menurut Gadamer cakrawala yang saat ini dimiliki oleh setiap orang merupakan dari hasil terbentuknya akumulasi berbagai cakrawala pada masa lalu dalam gerak melingkar yang terus-menerus, sehingga dalam hal ini cakrawala tidak berhenti begitu saja, ia akan terus ada berdasarkan keadaan pada masa lalu.[5] Dengan kata lain, cakrawala ini akan terbentuk tanpa adanya cakrawala pada masa lampau. Cakrawala (horizon) pada dasarnya menurut Gadamer dapat diartikan sebagai jangkauan pandangan atas suatu titik atau objek tertetu. Sehingga cakrawala ini akan menjelaskan makna maupun maksud dari titik atau objek pandang, dan dapat dikatakan apabila seseorang yang memiliki cakrawala maka ia akan dapat melihat cukup jauh atau luas terhadap titik tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki cakrawala yang jauh dan luas maka ia akan mampu melihat bagian-bagian yang terhubung dengan titik atau objek tersebut.

Pada ruang hermeneutika, Hans Georg Gadamer mengatakan bahwa pencapaian cakrawala seseorang akan dilalui dengan cara sebuah penyelidikan dan mencermati pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan dari penafsiran atau pemaknaan tentang suatu objek. Akan tetapi, pernyataan bahwa seseorang dapat memahami suatu objek dengan menggunakan cakrawalanya belum dapat disebut dengan pemaham atau penafsiran yang benar atau satu-satunya. Hal ini dikarenakan cakrawala hanya bagaikan sebuah sudut pandang khusus. Cakrawala pada masa sekarang tidak akan terbentuk tanpa adanya cakrawala pada masa lampau. Untuk memahami masa lalu tersebut, menuntut pula adanya cakrawala historis tertentu. Perlunya cakrawala historis ini dimaksudkan oleh Gadamer adalah untuk menempatkan diri kita pada keadaan masa lalu. Sederhananya untuk memahami dan memberi pengertian terhadap seseorang tentang bagaimana keadaan pada masa lalu.

Sebagai contohnya, cakrawala seseorang dalam konteks historis atau sejarah yaitu saat memahami suatu karya seni maka cakrawala historis seseorang digunakan sebagai perangkat yang meleburkan titik estetik dari karya seni tersebut. Hal ini berarti terjadi peleburan antara cakrawala tersebut dengan cakrawala arus makna tradisi tertentu dari karya seni tersebut pada masa sekarang. Setiap pertemuan cakrawala dari masa ke masa, dengan tradisi pemaknaan tertentu terjadi peleburan cakrawala. Pertemuan cakrawala-cakrawala tersebut akan terus-menerus terbentuk dari cakrawala-cakrawalanya pada masa lalu. Adapun bagian terpenting dari ini adalah pertemuan antara dua cakrawala tersebut, bukan dari apa hasil pemaknaannya.

Proyek Gadamer adalah membebaskan hermeneutik dari batas-batas estetis dan metodologis yang masih menjerat Schleiermacher dan Dilthey sehingga hermeneutik tidak lagi dimengerti entah sebagai seni (kunst) ataupun sebagai metode (methode), melainkan sebagai kemampuan universal manusia untuk memahami. Karena itu hermeneutik Gadamer bisa disebut “hermeneutik filosofis” (philosophische Hermeneutik).[6]

Hermeneutika Gadamer selanjutnya menjadi kritik atas pemikiran hermeneutika yang dikembangkan oleh Schleiermacher dan Dilthey. Sebagaimana yang dikemukakan oleh F. Budi Hardiman, salah satu pokok gagasan Gadamer adalah meninggalkan romantisme Schleiermacher dan historisme Dilthey. Ia menegaskan:

Gadamer berpendapat bahwa pembaca tidak dapat kembali ke masa silam untuk menemukan kembali makna asli yang dimaksud oleh penulis teks. Kesadaran kita tidak berada di luar sejarah, melainkan bergerak di dalam sejarah, sehingga pemahaman kita juga dibentuk oleh sejarah. Dengan kata lain, pemahaman kita berada di dalam sebuah horizon tertentu.[7]

Kesimpulan

Menurut pandangan Gadamer, bahwa sesungguhnya pengetahuan kita bahkan seluruh hidup kita ini, secara intrinsik dipengaruhi oleh kesejarahan. Oleh karena itu, tidak perlu diragukan bahwa cakrawala besar masa lalu memiliki pengaruh pada diri kita dalam menentukan keinginan kita, harapan kita atau segala sesuatu untuk masa depan kita.

Daftar Pustaka

Hardiman, F. Budiman. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.

Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Edisi Revisi dan Perluasan). Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2017.

Kaprisma, Hendra. “Cakrawala Historis Pemahaman: Wacana Hermeneutika Hans-Georg Gadamer”. Dalam Jurnal Literasi, Vol. 1 No. 2 Tahun 2011.

at al., M. Najib. “Hermeneutika Klasik Dan Hermeneutika Modern”. Dalam Jurnal Inovatif, Vol. 7 No. 2 Tahun 2021. Hayatuddiniyah. “Kritik Hermeneutika Filsafat Hans Georg Gadamer”. Dalam Jurnal Filsafat Indonesia, Vol. 4 No. 2 Tahun 2021.


[1] F. Budiman Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015, hal. 157.

[2] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Edisi Revisi dan Perluasan), Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2017, hal. 76.

[3] Hendra Kaprisma, “Cakrawala Historis Pemahaman: Wacana Hermeneutika Hans-Georg Gadamer”, dalam Jurnal Literasi, Vol. 1 No. 2 Tahun 2011, hal. 247.

[4] M. Najib, at al., “Hermeneutika Klasik Dan Hermeneutika Modern”, dalam Jurnal Inovatif, Vol. 7 No. 2 Tahun 2021, hal. 147.

                [5] Hayatuddiniyah, “Kritik Hermeneutika Filsafat Hans Georg Gadamer”, dalam Jurnal Filsafat Indonesia, Vol. 4 No. 2 Tahun 2021, hal. 127.

[6] F. Budiman, Seni Memahami Hermeneutik…, hal. 160.

[7] F. Budiman, Seni Memahami Hermeneutik…, hal. 167.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *