Tafsir Ahkam Surah An-Nur Ayat 32-33: Tentang Pernikahan dan Larangan Zina

Pernikahan merupakan sebuah janji suci yang sakral yang dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan. Selain merupakan bentuk cinta, pernikahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Bahkan, disebutkan bahwa pernikahan adalah menggenapkan setengah agama.

Sebagai sebuah janji suci, anjuran menikah bagi seseorang yang sudah dewasa dan mampu secara fisik dan finansial, termaktub dalam beberapa ayat suci Al-Qur’an, salah satunya di dalam Surah An-Nur 24/: 32-33.

Bacaan Lainnya

وَاَنۡكِحُوا الۡاَيَامٰى مِنۡكُمۡ وَالصّٰلِحِيۡنَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَاِمَآٮِٕكُمۡ‌ ؕ اِنۡ يَّكُوۡنُوۡا فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ اللّٰهُ مِنۡ فَضۡلِهٖ‌ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ

”Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”

Sebab Nuzul ayat ini salah satunya disampaikan oleh Al-Baidhawi menukil riwayat Abu Su’ud, yaitu terkait adanya budak-budak perempuan (jariyah) di masa jahiliyah, yang kerap melakukan pelacuran. Perbuatan yang mereka lakukan bukan karena kemauan dirinya, tetapi karena perintah tuan/majikannya.

Mereka memanfaatkan para budak untuk menghasilkan keuntungan baik dalam bentuk sehelai kain atau gandum dari hasil bayaran lelaki hidung belang. Bahkan supaya banyak peminatnya, rumah-rumah para tuan dipasangkan bendera-bendera khas sebagai simbol di rumahnya ada wanita pekerja seks yang siap untuk melayani lelaki hidung belang yang mau. Tidak lama setelah Rasulullah mendengar laporan adanya kejadian itu turunlah ayat Al-Qur’an perintah menikah larangan melakukan perbuatan zina.

Imam Al-Qurthubi menyebut ayat di atas sebagai dalil perintah menikah dibuktikan dengan penggunaan kalimat perintah (amr‘) yakni ‘ankihu; nikahkanlah’. Khitab perintah ditujukan kepada wali atau orang tua, bukan kepada calon pengantin secara langsung, untuk membuktikan bahwa dalam menikah harus dilakukan bersama orang tuanya, tidak sah hanya dengan dirinya sendiri.

Sedangkan Musthafa Al-Maraghi mengomentari penggunaan kata ‘wassholihina‘ yang dimaknai orang-orang yang layak. Menurutnya, layak dalam ayat ini maksudnya adalah saleh. Dalam arti lain, dalam pernikahan, hal yang perlu dipertimbangkan matang-matang salah satunya adalah kesalehan pasangan.

Para ulama tafsir, salah satunya Imam Al-Qurthubi, menyebut hukum pernikahan terbagi menjadi lima; pertama, wajib, yaitu bagi orang yang sudah mampu secara ekonomi, dan jika tidak nikah khawatir berzina. Kedua, sunah, yaitu bagi seseorang yang belum mampu secara ekonomi, namun bisa menjaga diri dari perbuatan melanggar syariat seperti perzinaan.

Kemudian Ibn Rusyd melengkapi tiga hukum yang lainnya, yaitu mubah bagi mereka yang memilki syahwat namun ekonomi belum mapan; makruh bagi mereka yang syahwatnya tidak sehat dan ekonominya belum mapan; dan haram bagi mereka yang hendak menikah namun berniat tidak akan bertanggung jawab atas istri dan anaknya.

Meski demikian, melalui ayat ini juga, Allah menjamin rezeki setiap siapapun yang hendak melakukan pernikahan. Allah melalui ayat-Nya menyebut ‘yughnihumullah; Allah akan mencukupi mereka’ sebab Allah Maha luas (dalam memberikan rezeki).

Kemurahan agama Islam dalam masalah rezeki bagi pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan agar tidak terjadi perzinaan di tengah masyarakat, yang berdampak negatif pada diri, keluarga, masyarakat, agama, dan bahkan negara. Seperti penegasan Allah melalui ayat setelahnya, terkait dengan larangan berbuat zina.

Allah ta’ala berfirman:

وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ الَّذِيۡنَ لَا يَجِدُوۡنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغۡنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنۡ فَضۡلِهٖ‌ؕ وَالَّذِيۡنَ يَبۡتَغُوۡنَ الۡـكِتٰبَ مِمَّا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ فَكَاتِبُوۡهُمۡ اِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيۡهِمۡ خَيۡرًا ‌‌ۖ وَّاٰ تُوۡهُمۡ مِّنۡ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِىۡۤ اٰتٰٮكُمۡ ‌ؕ وَلَا تُكۡرِهُوۡا فَتَيٰتِكُمۡ عَلَى الۡبِغَآءِ اِنۡ اَرَدۡنَ تَحَصُّنًا لِّـتَبۡتَغُوۡا عَرَضَ الۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَا‌ ؕ وَمَنۡ يُّكۡرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنۡۢ بَعۡدِ اِكۡرَاهِهِنَّ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.”

Larangan Allah kepada makhluk-Nya untuk melakukan perzinaan seringkali disinggung dalam Al-Qur’an. Selain ayat di atas ada lagi Surah An-Nur 24/2 dan Surah Al-Isra’ 17/32.

Allah Ta’ala berfirman dalam Surah An-Nur 24/2,

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِىۡ فَاجۡلِدُوۡا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا مِائَةَ جَلۡدَةٍ‌ ۖ وَّلَا تَاۡخُذۡكُمۡ بِهِمَا رَاۡفَةٌ فِىۡ دِيۡنِ اللّٰهِ اِنۡ كُنۡتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَوۡمِ الۡاٰخِرِ‌ۚ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآٮِٕفَةٌ مِّنَ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.”

Sebab turunnya ayat ini tidak berbeda dengan Surah An-Nur 24/:32-33 terkait dengan adanya budak-budak yang dijajakan oleh ‘mucikari’ di zaman jahiliyah. Islam datang melarangnya, dan jika terpaksa masih melakukan, hukumannya ialah 100 kali jilid/pecut dengan menggunakan rotan.

Sementara ulama menyatakan ayat di atas menjadi bukti bahwa perempuan menjadi subjek dalam masalah perzinaan. Merekalah yang mendorong lelaki untuk berbuat kejahatan seksual, karena tidak menutupi aurat, dan sebagainya. Itu dibuktikan dengan penyebutan kata ‘azzaniyah; perempuan yang zina’ di permulaan, setelah kemudian menyebut ‘azzani; laki-laki yang berzina.

Muhammad Syahrur menolak keras pandangan stereotipe demikian. Penyebutan perempuan terlebih dahulu dibandingkan laki-laki tidak serta merta bermaksud wanitalah yang mendorong perzinaan. Sebab jika melihat sejarah turunnya secara komprehensif, pelaku zina di zaman Jahiliyah karena dimotori oleh (mayoritas) majikan laki-laki, salah satunya Ubay Ibn Salul, seorang majikan yang memiliki banyak budak perempuan yang dijajakan untuk berbuat asusila. Ada peran laki-laki dalam konteks awal perbuatan tersebut.

Terlebih, penggunaan kata sambung yang menghubungkan perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina pada ayat di atas ialah menggunakan wawu musahabah (wawu untuk menunjukkan makna bersamaan), bukan menggunakan kata sambung tsumma, yang bermakna ‘kemudian’. Sehingga, ayat di atas justru hendak mengedepankan kesetaraan, bahwa baik laki-laki maupun perempuan, keduanya berpotensi mengundang perbuatan zina, jika tidak melakukan hal-hal yang diperintah syariat.

Ala kulli haal, Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kehormatan umat manusia. Pernikahan dianjurkan untuk memberi ketentraman jiwa antara pasangan agar tidak terjerumus kepada kemaksiatan. Pun demikian, Islam melarang perbuagan asusila dan perzinaan, semata-mata untuk membentengi manusia dari efek negatif baik untuk masa depan diri, keluarga, dan masyarakatnya secara luas.

Wallahu A’lam.[]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *