Kisah Isra Mikraj, Mitos atau Fakta? (Pendekatan Hermeneutika Demilogasi Bultmann)

innovationnewsnetwork.com

Pengetahuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami banyak perkembangan dan peningkatan. Sejak manusia modern telah mengenal dan menggunakan alat-alat dari hasil ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya sains, di sinilah sebenarnya letak posisi mitos sering dianggap terlalu kuno dan mengada-ada. Hal ini lantaran sains dan teknologi modern menggunakan pendekatan empiris atau jika meminjam istilah Auguste Comte yakni pendekatan Positivisme[1], sehingga mitos tidak dapat diterima oleh nalar di zaman modern.

Mitos adalah ekspresi dari suatu pemahaman tertentu tentang eksistensi manusia. Terkadang mitologi sering dianggap sebagai ilmu atau pengetahuan primitif, yang bermaksud untuk menjelaskan gejala-gejala dan kejadian-kejadian yang langka atau yang mengejutkan dan dianggap sebagai akibat dari roh-roh jahat. Mitos berkata tentang dewa-dewa dan roh-roh jahat sebagai kuasa-kuasa yang padanya manusia bergantung.[2] Manusia modern tidak dapat menerima lagi bahwa realitas ini dibagi atas tiga bagian, alam atas (surga), alam tengah (bumi tempat manusia dan tempat pertemuan kekuasaan Tuhan dan roh jahat), alam bawah (neraka). Manusia modern tidak percaya kepada roh-roh dan kuasa-kuasa yang penuh kekuatan lagi. Manusia tidak percaya lagi akan mitos-mitos yang demikian.[3]

Dari sinilah Bultmann mengembangkan suatu pemikiran baru dalam dunia teologi yang dikemas dengan istilah hermeneutika demitologisasi. Menurutnya, hermeneutika demitologisasi adalah metode penafsiran yang mencoba menyingkapkan rahasia di belakang konsep-konsep mitos yang dipakai dalam Alkitab. Bultmann mengatakan bahwa Alkitab penuh dengan mitos, karena itulah diperlukan suatu metode penafsiran untuk menyingkapkan rahasia di belakang konsep mitos itu. Mitos yang dimaksud adalah pemakaian bahasa, simbol dan gambaran yang ada di dunia ini untuk menjelaskan tentang keberadaan dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Hermeneutika demitologisasi adalah tafsiran terhadap bagian-bagian Alkitab yang dianggap mitologis dengan menekankan kebenaran-kebenaran eksistensial yang terkandung dalam mitos itu.[4]

Serupa dengan itu, dalam memahami teks Al-Qurˈan, para mufasir pun juga tidak boleh terjebak dalam hal-hal yang bersifat mitos. Tafsir yang ideal adalah tafsir yang mampu mengungkap maksud firman Allah dan hikmah penetapan syariat dalam hal akidah dan hukum dengan cara yang memikat jiwa sehingga mampu mendorong terlaksananya petunjuk yang tersimpan dalam firman tersebut demi mewujudkan misi “hudan wa rahmah” Al-Qurˈan. Jadi, tujuan utama pembacaan tafsir adalah untuk meraih petunjuk Al-Qurˈan.[5] Kita ambil contoh demitologisasi eksistensial dalam kisah Isra Mikrajyang menggunakan pendekatan metode analisis historis kritis Bultmann. Melalui model analisis ini, makna kisah Isra Mikrajbukan mitos yang hanya didengung-dengungkan oleh teks ajaran Islam atau hanya diceramahkan, tetapi benar-benar terealisasi dalam praktik nyata untuk dunia.[6] Seiring berjalannya waktu, tradisi penafsiran Al-Qurˈan terus berkembang secara dinamis mulai dari periode klasik hingga kontemporer. Para mufasir dari masa ke masa berupaya melakukan interpretasi terhadap Al-Qurˈan sesuai latar belakang keilmuan dan ijtihad. Kisah Isra Mikraj akhirnya ditafsirkan dengan demitologisasi yang mampu dimengerti oleh manusia modern. Melihat peristiwa Isra Mikrajdari kacamata demitologisasi dengan pendekatan keilmuan Fisika barat dijelaskan bahwa peristiwa Isra Mikrajmenggunakan Teori Saintifik Modulasi Quantum Isra yang merujuk kepada Q.S al-Isrâˋ/17:1.[7]

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ  ١

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Memperjalankan berarti memindahkan suatu objek (dalam hal ini Nabi Muhammad) dari satu titik ke titik lain, dari satu dimensi ke dimensi lain, keluar dari dimensi ruang dan waktu. Kemudian peristiwa ini terjadi pada malam hari, ini adalah masalah waktu. Ayat tersebut memberi isyarat bahwa, inilah kosmologi Islam, bahwa realitas itu terdiri dari ruang, waktu, materi, dan ruh.

Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang dan waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman. Alam dibatasi dimensi ruang dan waktu, dan pengukuran umumnya adalah soal jarak dan waktu. Sedangkan keluar dari dimensi ruang dan waktu, jika dianalogikan berarti pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Dimensi yang lebih besar atau tinggi ini akan mengungguli dimensi yang lebih rendah. Keluar dari dimensi ruang dan waktu berarti melepaskan diri dari hukum ruang dan waktu.[8]

Terlebih lagi jika dilihat dari prespektif keilmuan Islam maka persoalannya menjadi lain. Ia tetap ilmiah dan benar, sebab dalam konsep Islam, ilmu di samping memiliki paradigma deduktif-induktif juga mengakui paradigma transenden, yaitu pengakuan adanya manusia, tuhan dan lingkungan yang saling terikat.[9] Pengakuan terhadap hal-hal yang bersifat metafisika merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, melainkan persolan-persoalan metafisika tersebut benar adanya. Sesuatu yang tidak atau belum terjangkau oleh akal pikiran manusia tidaklah selalu menjadi dalih akan ketidakbenaran sesuatu itu sendiri, sebab Al-Qurˈan menyebutkan

وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلٗا  ٨٥ …

… Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali (al-Isrâˋ/17 : 85)

Apa yang ditegaskan Al-Qurˈan tentang keterbatasan pengetahuan manusia tersebut juga diakui oleh para ilmuwan Fisika abad ke-20. Fisikawan abad ke-20 sangat yakin bahwa mereka tidak sepenuhnya tahu segalanya meski yang disebut materi terkecil sekalipun. Teori Black Holes menjadi bukti bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah sedikit sekali. Banyak hal misteri yang sampai saat ini belum terpecahkan.[10] Itulah sebabnya Soren Kierkegaard seorang tokoh Eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu.”[11]

Akhirnya dalam kondisi seperti ini, manusia tidak akan mampu hidup tanpa agama, demikian juga tanpa mitos, sekalipun ia selalu mengalami perubahan dari zaman ke zaman dan dari generasi ke generasi. Mitos dalam kaitannya dengan agama menjadi penting bukan semata-mata karena memuat hal-hal gaib atau peristiwa-peristiwa mengenai makhluk adikodrati, melainkan karena mitos tersebut memiliki fungsi eksistensial bagi manusia dan karenanya mitos harus dijelaskan menurut fungsinya. Percaya terhadap hal supranatural merupakan bentuk keimanan bagi seorang muslim serta suatu pengalaman religius sebagai upaya untuk terhubung dengan perasaan moral dan makna mendalam pada masa lalu, yang kontras dengan dunia teknologi pada zaman sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad dan Muhammad Rasyid Rida. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-. Makrifah. 1975.

Akhwanudin, Afith. “Sains Modern dan Urgensi Sentralitas Nilai Transenden Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan”. dalam Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah. Vol. 16 No .02 Tahun 2019.

Anugraha, Rinto. Teori Relativitas dan Kosmologi. Yogyakarta: FMIPA UGM. 2011.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius. 2015.

Hasbillah, Ahmad Ubaydi. “Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan Nabi” dalam Journal of Qur’an and Hadith Studies. Vol. 01 No. 01 Tahun 2012.

Nugroho, Irham. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains”. dalam Jurnal Cakrawala. Vol. 11 No. 02 Tahun 2016.

Over, Raymond Van. The Meaning Of Mhyts. New York: Meridium Book. 1980.

Patel, Gaurav Singh. “One For All (Mystery Of Black Hole)”. dalam International Journal of Scientific Research in Engineering and Management (IJSREM). Vol. 05 No. 02 Tahun 2021.

Sadiman dan Asri. “Pendekatan Saintific Quantum dalam Memahami Perjalanan Isra’ Nabi Muhammad Saw (Teori Saintifik Modulasi Quantum Isra’)”. dalam Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan. Vol. 2 No. 2 Tahun 2017.

Shihab, M.Quraish. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan. 1994.

Wellem, F.D. Riwayat Hidup Singkat: Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK GM. 2003.


[1] Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis dan Nilai Etisnya Terhadap Sains”, dalam Jurnal Cakrawala, Vol. 11 No. 02 Tahun 2016, hal. 173.

[2] Raymond Van Over, The Meaning Of Mhyts, New York: Meridium Book, 1980, hal. 1-3.

[3] Wellem, F.D, Riwayat Hidup Singkat: Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK GM, 2003, hal. 47.

[4] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius, 2015, hal. 151.

[5] Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Makrifah, 1975, hal. 25

[6] Ahmad Ubaydi Hasbillah, “Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan Nabi”, dalam Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol. 01 No. 01 Tahun 2012, hal. 274. 

[7] Sadiman dan Asri, “Pendekatan Saintific Quantum Dalam Memahami Perjalanan Isra’ Nabi Muhammad Saw (Teori Saintifik Modulasi Quantum Isra’)”, dalam Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2 No. 2 Tahun 2017, hal. 222-223.

[8] Rinto Anugraha, Teori Relativitas dan Kosmologi, Yogyakarta: FMIPA UGM, 2011, hal 61.

[9] Afith Akhwanudin, “Sains Modern Dan Urgensi Sentralitas Nilai Transenden Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, dalam Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, Vol. 16 No .02 Tahun 2019, hal. 122.

[10] Gaurav Singh Patel, “One for all (mystery of black hole)”, dalam International Journal of Scientific Research in Engineering and Management (IJSREM), Vol. 05 No. 02 Tahun 2021, hal. 2.

[11] M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1994, hal 418.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *