Hermeneutika muncul di Barat karena masalah yang dihadapi umat Kristiani untuk memahami kitab sucinya. Mereka kesulitan dalam menghadapi permasalahan dan berusaha memberikan penafsiran terhadap kitab mereka dengan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran yang resmi saat itu. Pada perkembangannya, hermeneutika tidak hanya membahas tentang penafsiran linguistik, akan tetapi juga penafsiran dengan metode ilmu kemanusiaan yang berusaha memberikan interpretasi terhadap psikologi seseorang dalam kaitannya dengan memahami sebuah teks atau bahasa. Bentuk hermeneutika ini dipelopori oleh Wilhelm Dilthey. Menurutnya, kondisi sosial mempengaruhi psikologi seseorang, oleh karena itu, dalam menafsirkan teks harus mengetahui psikologi seseorang dan kondisi sosial di sekitarnya.
Wilhelm Dilthey merupakan seorang filsuf yang terkenal dengan filsafat hidupnya, dia menyatakan bahwa hidup adalah rangkaian pengalaman manusia yang menjadi sejarah hidupnya yang dipahami secara luas dan menyeluruh. Dalam proyek hermeneutikanya, Dilthey memberikan definisi baru terhadap pengalaman (erlebnis), makna (ausdruck) dan pemahaman (verstehen). Ia sendiri menyandarkan pada karya seni sebagai objek hermeneutikanya.[1]
Dilthey dibesarkan di dalam keluarga Protestan Jerman yang terpelajar. Dia dilahirkan di kota Bicbrich di tepi sungai Rhain dekat kota Mainz pada tanggal 19 November 1833. Ayahnya adalah seorang pendeta gereja Reformed di Nassau, sehingga mendorongnya untuk belajar teologi. Karena itu setelah lulus gymnasium di Wiesbaden, Dilthey mendaftarkan diri di Universitas Heidelberg untuk belajar teologi. Seperti Schelling, Hegel, dan banyak pemikir lain, dia merasa sesak dengan suasana dogmatis dalam studi teologi dan akhirnya pindah ke filsafat. Kalaupun dia lulus teologi di tahun 1856, hal itu dilakukan demi menyenangkan hati ayahnya.[2]
Teori Dilthey adalah sebuah dikotomi antara erklaren yang berasal dari ilmu alam dan verstehen yang berasal dari ilmu sosial. Erklaren adalah sikap memusatkan diri pada sisi luar obyek penelitian, proses-proses objektif dalam alam, benda jatuh, kadar kolesterol, ledakan Natrium dalam air adalah proses-proses yang bisa diamati secara lahiriah. Hasil pengamatan atas hal-hal itu dapat disepakati secara bersama oleh pengamat yang berbeda-beda.[3]
Berbeda dari erklaren, verstehen adalah pemahaman subjektif yang digunakan sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid tentang arti subjektif tindakan sosial. Misalnya, dalam memahami sebuah teks peneliti harus menggambarkan seutuhnya dari maksud pengarang seakan-akan peneliti mengalami sendiri peristiwa historis sebagaimana yang dialami oleh pengarang.[4]
Ilmu kemanusiaan, khususnya sejarah, tidak akan memperoleh pengetahuan yang dicari tanpa mempergunakan verstehen atau pemahaman yang membedakannya dari ilmu alam. Manusia sebagaimana objek pengertian dalam ilmu kemanusiaan memiliki kesadaran. Hal ini memungkinkan bagi penyelidikan tentang alasan-alasan tersembunyi dibalik perbuatannya yang dapat diamati.[5]
Karya-karya tertulis yang ingin dipahami seperti surat-surat atau kitab-kitab suci dapat dianggap teks-teks yang sudah selesai. Tetapi dunia sosial-historis, seperti praktik ritual, problem gender atau krisis sosial adalah teks-teks yang belum selesai dan terus berubah. Maka, maknanya dapat terus berubah menurut perubahan komunikasi para pelaku.
Ketika menempati dunia sosial-historis yang sama dengan orang lain, maka kita akan menemukan kesamaan cara berpikir atau cara hidup. Pada akhirnya, ada juga cara yang kurang lebih sama dalam menghayati sesuatu. Dengan cara tersebut, seseorang akan tersambung dengan orang lain. Dengan kata lain, kesamaan konteks sosial-historis dan empati merupakan akses menuju kehidupan batiniah orang lain. Dilthey dengan metode geisteswissenschaften nya dapat dikatakan sebagai pembaharu bagi pemahaman Schleiermacher.
Geisteswissenschaften merupakan dasar bagi hermeneutika Dilthey. Dilthey melibatkan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya sekaligus merupakan bentuk pemahaman yang khusus. Ada tiga unsur penting yang terkandung dalam geisteswissenschaften dan sebagai ciri khas bagi metode hermeneutika Dilthey, yaitu verstehen (memamahi), erlebnis (dunia pengalaman batiniyah) dan ausdruck (ekspresi hidup) dimana ketiganya saling berkaitan dan saling mengadalkan.[6]
Seorang penafsir yang ingin memahami suatu kejadian maka harus mempunyai kesamaan dari sisi psikologis dan historisnya. Dengan mengetahui sosial-historisnya, penafsir bisa memahamai dan menggambarkan sebuah teks dalam kurun waktu dan budaya di masa lampau agar bisa dipahami, dimengerti dan bermakna pada konteks situasi sekarang. Dengan mengetahui setting sosial-historis, diharapkan mampu melacak bagaimana masyarakat pada saat itu yang menjadi penerima teks dan memahami teks tersebut. Maka, konsekuensinya perbedaan setting sosial-historis akan memunculkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda pula sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut dan ini yang sangat menonjol dari hermeneutik historis [7]
Salah satu bukti bahwa kondisi historis dan situasi masyarakat berpengaruh terhadap penafsiran al-Qur’an adalah pencurian yang terjadi pada masa khalifah Umar bin Khathab. Beliau tidak menghukum pelaku pencuri tersebut dengan hukuman potong tangan dikarenakan kondisi saat itu sedang mengalami musim paceklik, padahal secara nash sudah jelas di dalam Q.S. Al-Maidah/5: 38 dijelaskan “Lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
DAFTAR PUSTAKA
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’an: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2007.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermeutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Mulyono, Edi. Belajar Hermeneutika. Yogyakarta : Diva Press, 2012.
Soebarna, Ahmad Baihaqi. “Nilai-Nilai Kemanusiaan Dalam Semangat Kenabian Muhammad Perspektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey”, dalam Jurnal Himma, Vol. 3, No. 1, 2019. Wisarja, I. Ketut. “Hermeneutika sebagai Metode Ilmu Kemanusiaan: Perspektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey” , dalam Jurnal Filsafat , Jilid. 35 No. 3, 2003.
[1] Ahmad Baihaqi Soebarna, “Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Semangat Kenabian Muhammad Perspektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey”, dalam Jurnal Himma, Vol. 3, No. 1, 2019, hal. 320.
[2] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 65.
[3] F.Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal.76.
[4] Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika, Yogyakarta: Diva Press, 2012. hal. 29.
[5] I Ketut Wisarja, Hermeneutika sebagai Metode Ilmu Kemanusiaan (Perspektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey), dalam Jurnal Filsafat , Jilid 35, No. 3, 2003. hal. 206.
[6] Ahmad Baihaqi Soebarna, “Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Semangat Kenabian Muhammad Perspektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey”, dalam Jurnal Himma, Vol. 3 No. 1, 2019. hal. 325.
[7]Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Yogyakarta: Qalam, 2007, hal. 115.