Qirâ’ah Mubâdalah sebagai perspektif dengan berbagai platform yang mewadahi transmisi serta para agensinya, seperti mubadalah.id, menandai pergeseran dari sebuah perspektif menuju gerakan sosial. Perlu untuk diulas sedikit bahwa model klasik dalam cara pandang menilai gerakan sosial mengasumsikan adanya hubungan kausal antara ketegangan struktural dengan ketidaknyamanan psikologis, yang nantinya mengarah pada kemunculan tindakan kolektif. Seperti halnya femonena demonstrasi yang terjadi akibat kekecewaan terhadap suatu kebijakan tertentu dari penentu kebijakan.
Sementara model yang lebih baru mengatakan bahwa dalam sebuah gerakan sosial terdapat dimensi purposif, politik dan organisasi dari kontestasi gerakan, yang memperlihatkan bahwa sebuah gerakan tidak hanya berfungsi sebagai sebuah mekanisme alternatif dalam pengelolaan psikologis (ketidakpuasan) namun lebih dari itu, sebuah gerakan juga bisa saja secara terorganisir difokuskan dan diarahkan pada wilayah kontestasi dengan strategis politis tertentu (Buechler, 1993).
Pergeseran ini sekaligus memberikan ruang diskusi baru mengenai sesuatu yang coba diraih oleh sebuah perspektif dalam jangkauan yang lebih luas. Dalam dinamika kontestasi wacana ke-Islaman, cara pandang ini menarik untuk diterapkan. Sebab bisa dikatakan bahwa di era digital saat ini terjadi perjumpaan antara agama dan media baru sehingga memantik asumsi bahwa aktivisme Islam mulai melirik dunia digital sebagai salah satu sumber dayanya (Campbell, 2013,: 57). Dengan narasi lain, kontestasi wacana dalam gerakan sosial maupun keagamaan kontemporer tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas gaya komunikasi dan media baru yang menyertainya (Lim, 2018: 92).
Beralih kembali pada perkembangan wacana Islam progresif di Indonesia, termasuk gender, tidak bisa dilepaskan dari geliat kebangkitan para “cendekiawan muslim baru”. Mereka adalah yang berhasil menghidupkan semangat modernitas dalam pemikiran dalam wacana Islam yang selama ini mungkin terkesan “stagnan”. Perhatian terhadap dinamika konteks serta kebutuhan sosial masyarakat menjadi salah satu elemen penting yang dipertimbangkan dalam menginisiasi lahirnya produk pemikiran baru maupun mengeritisi produk pemikiran lama yang dianggap telah kehilangan relevansinya. Meskipun hampir bisa dipastikan bahwa selalu muncul kontestan yang menantang produk-produk pemikiran “baru” yang mereka tawarkan (Jameah, 1999: 24).
Para kontestan, dalam hal ini, di satu sisi bisa diidentifikasi sebagai “petahana” yang merupakan pemegang otoritas keagamaan tradisional seperti kyai, ulama, da’i maupun semisalnya. Di sisi lain bisa juga merupakan pengusung wacana baru, termasuk gerakan Islam Kanan, yang turut andil dalam percaturan wacana yang satu sama lain saling berproses memperkuat basis konstruksi pemikiran yang ditawarkan serta basis pendukungnya. Maka menarik untuk kemudian melakukan observasi terhadap pergulatan kontestasi otoritas yang terjadi terutama jika dikaitkan dengan perkembangan media penyebaran informasi yang tidak terlepas dari inovasi-inovasi teknologi informasi dan komunikasi (Ibrahim, 2020: 28-33).
Para cendekiawan muslim baru ini memiliki peran yang sangat masif terutama jika dikaitkan dengan perkembangan wacana-wacana di perguruan tinggi Islam. Namun sayangnya, pada level grassroot kiprah mereka seakan tidak dihiraukan atau bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak mampu untuk “dicerna”. Maka pada level masyarakat tersebut, peran para “petahana” masih sangat dominan dan bahkan tidak terkalahkan. Selanjutnya, pada era saat ini, penting juga untuk mencantumkan level masyarakat “media sosial” sebagai salah satu tipologi baru yang tidak bisa dikesampingkan. Pada tipologi masyarakat tersebut juga, cendekiawan muslim baru kurang berhasil memainkan perannya dan tertinggal oleh gerakan Islam Kanan (sebagai bagian dari kontenstan baru) khususnya dalam meraih simpatisan dan audiens.
Kegagalan gerakan cendekiawan muslim baru untuk memperoleh posisi yang diakui (otoritas) pada dua kelas masyarakat tersebut bukanlah disebabkan mereka tidak otoritatif. Secara intelektual, banyak dari mereka yang otoritas keilmuannya telah mencapai level advance dan bahkan diakui dalam level internasional. Maka dalam hal ini, jika merujuk uraian Azhar Ibrahim pada artikelnya, “Being Authoritative but No. Authority” (2020: 28-47) didapati tiga alasan mendasar yang menyebabkannya. Pertama, adanya tuduhan atau labelisasi terhadap cendekiawan muslim baru dengan label “Islam liberal” oleh para kontestannya. Labelisasi ini seakan “membunuh” aktor-aktor cendekiawan muslim baru untuk masuk dan menjalin engagement dengan masyarakat selain pada level akademik.
Kedua, adanya budaya di masyarakat Indonesia yang melihat otoritas keagamaan berdasarkan garis keturunan terutamanya dari keturunan pendiri pondok pesantren maupun keturunan Nabi Muhammad, “syarif/ah maupun habib”. Fenomena ini menyebabkan banyak dari cendekiawan muslim baru yang “gagal” mendapatkan otoritasnya sebagai sosok yang otoritatif dalam diskursus keilmuan agama sebab bukan berasal dari kalangan yang memiliki “darah biru”. Selain itu juga, cendekiawan muslim baru biasanya dianggap kurang memperlihatkan “ke-Islamannya” sebab kurangnya perhatian mereka terhadap penggunaan simbol-simbol keagamaan maupun gaya-gaya tradisional para da’i yang konteks masyarakat akar rumput masih menjadi preferensi mereka menentukan siapa yang berhak dinilai orotitatif.
Ketiga, para cendekiawan muslim baru kurang terlibat dalam aktivisme-aktivisme sosial yang diinisiasi oleh para kontestannya melalui media-media yang dapat dijangkau oleh masyarakat di luar masyarakat akademik. Seperti halnya keterlibatan dalam organisasi-organisasi pergerakan maupun diseminasi-diseminasi pemikiran maupun wacana yang bersifat umum seperti melalui media sosial. Kurang aktifnya mereka dalam melalukan upaya-upaya yang potensial untuk menyebarkan pemikiran maupun tawaran wacana keagamaan progresif yang mereka perjuangkan, juga turut memperlemah posisi mereka dalam kontestasi otoritas di level masyarakat baik grassroot maupun media sosial.
Beragam tantangan yang dihadapi oleh cendekiawan muslim baru juga secara otomatis berpengaruh terhadap tersebarnya wacana keagamaan progresif. Kurang optimalnya diseminasi wacana progresif selanjutnya memperkecil potensi terjadinya reformasi dalam tubuh masyarakat beragama (Islam). Wacana gender, misalnya, masih dianggap sebagai sebuah wacana yang berasal dari kepentingan “Barat” dan dibawa oleh agensi-agensinya di Indonesia (mahasiswa lulusan universitas Barat), ketimbang wacana yang mencerahkan dan salah satu cara pandang keagamaan yang harus diperhatikan khususnya dalam mengurai benang kusut patriarkisme serta dampak-dampak yang ditimbulkannya. Kasus-kasus kejahatan seksual yang bahkan terjadi di ruang lingkup pendidikan keagamaan tradisional seperti pesantren memperlihatkan bahwa wacana gender masih dianggap sebagai wacana pinggiran yang tidak mendapatkan tempat dalam institusi-institusi pengajaran agama tradisional.
Sekat-sekat yang membatasi diseminasi wacana-wacana Islam progresif, yang saat ini dibutuhkan kehadirannya, dalam ruang-ruang sosial mulai terpangkas dengan munculnya model baru yang mencoba membawa perspektif menjadi gerakan sosial. Adanya media sosial, dalam hal ini, menjadi shortcut dalam kapasitasnya sebagai penghubung antara dâ’i atau diseminator dengan mad’u atau audiens. Maka tidak mengherankan jika media sosial saat ini menjadi pusat kontestasi wacana khususnya yang berkaitan dengan wacana-wacana yang punya agenda aksiologis seperti mengubah mindset manusia atau masyarakat (from science to social reform). Terlebih intensitas pengguna media sosial saat ini semakin masif sehingga peluang ini semestinya menjadi ruang kontestasi terbaik bagi cendekiawan muslim baru untuk semakin masif mendiseminasikan wacana-wacana segarnya.
Pergeseran tersebut secara spesifik dapat diidentifikasi dari pembacaan terhadap mubadalah.id yang memperlihatkan adanya pergeseran dari sebuah cara pandang (perspektif) menuju gerakan sosial. Pergeseran ini setidaknya memperlihatkan keberhasilan jika ditinjau dari engagement yang berhasil diperoleh oleh mubadalah.id melalui jumlah pengikut (lebih dari 40 ribu di Instagram) maupun kontributornya di website (ratusan kontributor). Namun secara lebih lanjut jika fenomena ini diurai dalam kerangka pembacaan kontestasi otoritas, maka ada beberapa hal-hal lainnya yang bisa dipertegas di balik upaya yang dilakukan dan capaian mubadalah.id dalam upaya “merebut” otoritas keagamaan di ruang digital.
Ada beberapa faktor yang bisa diidentifikasi dari proses capaian mubadalah.id yang bisa melenggang dan eksis sampai saat ini. Pertama, mubadalah.id meskipun berakar dari pendekatan mubadalah yang dipopulerkan oleh salah satu kalangan yang bisa dianggap cendekiawan muslim baru, Faqihuddin Abdul Kodir (2019), namun sosoknya juga dekat dengan para pemegang otoritas keagamaan tradisional seperti KH. Husein Muhammad, serta karya-karyanya yang berbahasa Arab juga turut serta membangun “citra” keulamaannya.
Faktor ini secara tidak langsung menancapkan kakinya pada dua sisi sekaligus; sebagai cendekiawan muslim baru dan sekaligus sebagai ulama (tradisional). Posisi ini setidaknya memberikannya “kenyamanan” dalam upayanya untuk menyebarkan gagasannya sekaligus meminimalisir “gangguan” dari para kontestan lainnya. Meskipun pada saat yang sama bisa saja posisinya tersebut justru memperbesar peluangnya untuk ditekan dan dijadikan sasaran “tembak” bagi para kontestannya, sebagaimana yang terjadi pada Quraish Shihab dan Said Aqiel Siradj misalnya (Ibrahim, 2020: 33).
Kedua, sebagai seorang yang bisa diidentifikasi sebagai cendekiawan muslim baru, sosok Kang Faqih tidak seperti para pendahulunya yang terfokus pada diseminasi wacana pada level masyarakat akademik. Ia bahkan membangun jejaring dan wadah pergerakan yang mampu menjadi ruang bertemu bagi para cendekiawan muslim baru dan para “petahana” melalui KUPI (Konferensi Ulama Perempuan Indonesia) yang dihelat pertama kali pada tahun 2017.
Konferensi kedua yang dilangsungkan tahun 2022 lalu bahkan didukung secara penuh oleh sejumlah otoritas fungsional politis di Indonesia, seperti Kementerian Agama melalui kontribusi UIN Walisongo sebagai venue acara. Pada taraf ini, Kang Faqih telah membawa isu atau wacana gender dan agama (Islam) menjadi salah satu wacana yang secara politis juga harus diperhatikan dan didukung oleh para elit politik. Maka tidak heran jika mubadalah dan gerakan-gerakan yang mengusung keadilan gender sebagai wacana yang diusungnya mulai dianggap sebagai salah satu calon “rezim wacana” baru—dalam bahasa Foucault.
Jika kontestasi wacana dilihat dari kacamata Foucault (1990), maka wacana dapat dikatakan mengalami skema produksi, sebab ia dianggap sebagai sesuatu yang bergerak secara sistematis dan bertendensi politis, Proses produksi wacana setidaknya tentu memiliki tendensi untuk membentuk suatu episteme baru ataupun ingin menggeser suatu episteme lama. Maka apabila suatu wacana berhasil menyebar secara terlembaga dan langgeng—ternormalisasi, wacana tersebut bisa menjadi “rezim wacana” yang akan menjadi kontrol sosial bagi suatu masyarakat dan membentuk sebuah karakter ideal yang diinginkan—sebab konsep dasar teori Relasi Kuasa Foucault ialah disiplinary power. Implikasinya sebagai wacana dominan, suatu konsep akan bisa menyimpul relasi antara pengetahuan dan kekuasaan.
Maka jika apa yang telah dirintis oleh Kang Faqih dan para cendekiawan muslim yang concern pada isu gender nantinya berhasil menjadi rezim wacana, maka proses reformasi sosial yang berkaitan dengan keadilan gender tinggal menunggu waktu. Selain itu, kiprah Kang Faqih juga sekaligus dapat dijadikan role model bagi para cendekiawan muslim baru agar mampu mengoptimalkan kiprahnya dalam menyebarkan wacana-wacana yang progresif dan memiliki daya dorong bagi kemajuan peradaban serta kemaslahatan manusia, terlebih di Indonesia.
Referensi
Buechler, Steven M.. 1993. “Beyond Resource Mobilization? Emerging Trends in Social Movement Theory.” Sociological Quarterly 34, 2: 217-35.
Campbell, Heidi A.. 2013. “Introduction: The Rise of Study of Digital Religion”. Dalam Heidi A. Campbell (ed.). Digital Religion: Understanding Religious Practice in New Media Worlds. London & New York: Routledge.
Foucault, Michele. 1990. History of Sexuality I. New York: Vintage Books.
Ibrahim, Azhar. 2020. “Being Authoritative But No Authority”: Muslim Religious Intellectuals in Shaping Indonesian Islam Discourse” pada Saat Norshahril dan Ahmad Najib Burhani (ed.). The New Santri: Challenges to Traditional Religious Authority in Indonesia. Singapura: ISEAS.
Jameah. 1999. “Jameah Interview with Dr. Soroush”. https://drsoroush.com/en/jameah-interview-with-dr-soroush/
Lim, Merlyna. 2018. “Roots, Routes, Routers: Communication and Media of Contemporary Social Movements”. Journalism & Communication Monographs. Vol. 20. No. 2. 92- 137.
Kodir, Faqihuddin Abdul. 2019. Qira’ah Mubadalah. Yogyakarta: Ircisod.