Al-Qur`an merupakan sumber asasi seluruh umat manusia dalam menghadapi realitas kehidupan, sebagaimana dalam al-Baqarah/2: 185. Kemukjizatan al-Qur`an, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dengan ungkapan lain shâlih li kulli zâmân wa makân (Suyuti, 2023: 24)
Kendati demikian, hal tersebut tidak serta-merta menjadikan al-Qur`an sebagai kitab yang masif menuntun manusia ke arah yang tepat. Untuk itu, manusia selaku mitra bicara Tuhan yang menjadi pilar utama dalam mendialogkan antara al-Qur`an yang tunggal, dengan realitas manusia yang plural. Dalam hal ini, Muhammad diutus sebagai sentra rujukan bagi manusia dalam memahami al-Qur`an (Wijaya, 2020: 15).
Seiring perkembangan zaman, manusia terus dihadapkan dengan dinamika kontemporer yang semakin kompleks. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mendialogkan antara al-Qur`an dengan isu-isu kontemporer, sebagai bukti progresivitas al-Qur`an. Tentunya, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para cendekiawan muslim untuk memacu nalar interpretasinya dalam berijtihad (Refki Saputra, 2022: 43).
Salah satu di antara pemikir muslim tersebut adalah Jasser Auda. Ia menggunakan Maqâshid al-Syarî’ah sebagai basis pondasi berpikirnya dengan memanfaatkan Pendekatan Sistem (System Approach) sebagai pisau analisisnya. Problem utama yang ingin diselesaikan Auda adalah menyusun kembali Maqâshid al-Syarî’ah yang kontemporer dan relevan dengan perkembangan zaman (Auda, 2015: 11-12).
Auda menyarankan bagi para pemikir muslim untuk lebih aktif dalam berijtihad dengan tetap mempertimbangkan nas suci dan kemaslahatan publik —tema utama dalam Maqâshid al-Syarî’ah. Menurutnya, perkembangan Maqâshid al-Syarî’ah selama ini didominasi oleh logika tradisional yang bergerak secara kausalitas, yaitu hanya berfokus pada sebab dan cenderung mengabaikan tujuan (Ferdiansyah, 2018: 116).
Logika tradisional menurut Auda, masih terbatas pada persoalan-persoalan individu dibanding problem yang lebih universal seperti masyarakat atau umat. Adapun sumber ijtihad dari kaum tradisionalis, dideduksi dari literatur-literatur fiqih yang menjadikannya terkesan kontra-produktif dan defensif-apologetik, kaum tradisionalis belum dapat menemukan relasi antara nas suci dengan konteks sosial (Auda, 2015: 36).
Oleh karena itu, Auda bermaksud melakukan perbaikan pada aspek jangkauan dan sumber konsep Maqâshid al-Syarî’ah klasik yang dikotomis dan partikular, menjadi lebih holistik. Selain itu, Auda juga hendak mengangkat problematika terkait pembangunan Sumber Daya Manusia sebagai barometer konsep Maqâshid dalam mewujudkan kemaslahatan yang lebih komprehensif (Auda, 2015: 60).
Ada enam fitur sistem saling berkaitan yang dipandang Auda dapat menjadi pondasi berpikir dalam memahami hukum Islam, akan tetapi hanya lima fitur yang dijelaskan lebih jauh oleh Auda. Ia tidak membahas lebih jauh salah satu fitur sistem, yaitu fitur Hierarki Saling Berkaitan (Interrelated Hierarchy/al-Harâkiriyah al-Mu’tamadah Tabaduliyyan) yang ditawarkannya (Ferdiansyah, 2018: 133).
Oleh karena itu, hanya akan ada lima fitur sistem yang akan didiskusikan pada tulisan ini, di antaranya:
Pertama, Watak Kognitif (Cognitive Nature/al-Idrâkiyah). Fitur yang pertama menjadi usulan dari Auda untuk memisahkan antara nas suci/wahyu dengan kognisinya “pengetahuan keagamaan/fikih”. Salah satu penyebab terjadinya kemandekan dalam pondasi berpikir tradisionalis, adalah karena mereka gagal membedakan antara nas suci (wahyu/syariat) dengan fikih (Auda, 2015: 12).
Syariat yang bersifat abstrak dan universal, berada di haribaan ilahi dan telah diyakini kebenarannya. Sedangkan fikih, hanya merupakan pemahaman rasio dari para fakih yang bersumber dari “pengetahuan ilahi”, dari fikih inilah kemudian lahir hukum/fatwa. Merujuk pada dua definisi di atas, dapat dikatakan keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat diyakini secara sama.
Oleh karena itu, fitur cognitive nature ini akan menuntun untuk menemukan maksud syariat Islam yang dinilai sebagai “kebenaran” paling mungkin, kemudian menghasilkan distingsi pendapat terkait hukum fikih yang merupakan ekspresi sah kebenaran. Hal tersebutlah yang kemudian mencerminkan “watak kognitif” sistem manusiawi (Auda, 2015: 254).
Kedua, setelah membedakan antara wahyu dan fikih, selanjutnya Auda menawarkan fitur “kemenyeluruhan” (Wholeness/al-Kulliyah) untuk menyanggah pemikiran klasik, khususnya pemikiran ushul al-fiqh klasik yang cenderung dikotomis-atomistis. Fitur “kemenyeluruhan” ini dapat direalisasikan dengan tafsir tematik yang tidak hanya terkungkung pada dalil-dalil hukum, melainkan dengan seluruh dalil Al-Qur`an (Ferdiansyah, 2018: 138).
Ketiga, untuk membenahi dinamika falsafah klasik, fitur selanjutnya yang ditawarkan Auda adalah fitur “Keterbukaan” (Openness/al-Infitâhiyah). Fitur ini merupakan perluasan jangkauan ‘urf (adat kebiasaan yang terbatas pada ruang, tempat, dan waktu) dalam kajian ushul al-fiqh. Fitur ini menekankan pada pandangan dunia/worldview dan wawasan keilmuan para fakih.
Dengan fitur ini, diharapkan dapat membawa falsafah pemikiran Islam dari paradigma pemikiran literalis dan dikotomis menuju falsafah pemikiran Islam yang integralistik dan kompeten, yaitu dengan mempertimbakan ilmu-ilmu alam, sosial, dan antropologi sesuai dengan pandangan dunia.
Keempat, fitur Multi-Dimensionalitas (Multi-Dimensionality/Ta’addud al-Ab’âd). Fitur ini menawarkan sebuah sudut pandang yang berbeda dari dua hal biner yang bertentangan. Menurut Auda, apabila atribut dipandang secara mono-dimensi dan partikular, besar kemungkinannya akan terjadi perdebatan panjang, seperti hitam dan putih, fisik dan metafisik, agama dan sains, empiris dan rasional, dan seterusnya (Auda, 2015: 92).
Dengan fitur multi-dimensionalitas ini, akan memberikan khazanah baru dari dua hal biner yang seakan bertentangan tersebut. Seperti pada sketsa gambar hitam dan putih, terdapat warna kelabu yang akan memberikan nuansa berbeda dalam sebuah gambar.
Begitupun antara “agama dan sains”, mungkin saja terdapat kontradiksi antara keduanya dari aspek sentralitas ketuhanan, akan tetapi dua hal tersebut dapat menemukan nuansa baru apabila dikaitkan dengan konsep kebahagiaan manusia. Agama menghendaki keindahan, sedangkan sains mengurai teori untuk memelihara keindahan.
Kelima, Kebermaksudan (Purposefulness/al-Maqâshidiyah). Dari beberapa fitur di atas, fitur ini menjadi hal yang paling fundamental dari sistem hukum Islam, bahwa segala sesuatu yang disyariatkan memiliki tujuan pokok (maqâshid). Dalam perumusan suatu hukum Islam, penting untuk melihatnya berdasarkan tujuan hukum Islam.
Keberhasilan suatu sistem dapat dilihat berdasarkan sejauh mana kumpulan sub-sistem di dalamnya dapat merealisasikan tujuan universal yang mencakup seluruh sistem. Begitupun pada sistem hukum Islam, keberhasilan sebuah sistem hukum Islam dapat dilihat dari sejauh mana tujuan hukum Islam dapat terealisasikan dengan baik. Dalam perumusan sistem hukum Islam, harus sejalan dengan tujuan awalnya, yaitu untuk mencapai kemaslahatan (Ferdiansyah, 2018: 159).
Referensi
Auda, Jasser. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâshid al-Syari’ah. Bandung: Mizan, 2015.
Ferdiansyah, Hengki. Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda. Tangerang Selatan: Yayasan Pengkajian Hadits el-Bukhari, 2018.
Saputra, Refki, dkk. “Mengonstruksi Nalar dan Kompetensi Maqashid Syariah Menuju Fikih Kontemporer Progresif.” Maro: Jurnal Ekonomi Syariah dan Bisnis 5, No. 1 2022.
Suyuti, Masduki A. “Cahaya Al-Qur`an untuk Manusia Modern” Karimiyah, Journal of Islamic Literature and Muslim Society, Vol. 3, No. 1, (2023).
Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulumul Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.