Kisah Dua Sahabat Lama
Barangkali kini bisa disebutkan bahwa agama dan filsafat adalah dua sahabat lama yang tidak saling akur, tetapi saling merindukan. Salah satunya tidak bisa hidup tanpa kehadiran yang lain, tetapi untuk hidup bersama, itu tidak mungkin. Saat hidup bersama, selalu saja ada konflik yang bahkan bisa bertumbal korban jiwa dan berdarah-darah. Saat hidup terpisah, lama-kelamaan keduanya kehabisan darah. Dahulu kala, tidak selalu demikian.
Pada era Mesir Kuno, sekitar 3150 SM, telah ada peradaban juga telah ada filsafat. Bahkan para filsuf terkenal Yunani seperti Thales, Pythagoras, dan Plato dikabarkan berutang pemikiran kepada filsafat Mesir Kuno. Julian Scott—mengutip Pierre Hadot, filsuf Perancis—menyebutkan filsafat pada waktu itu dicirikan dengan dua kata: belajar untuk hidup dan belajar untuk mati. Dengan kata lain, filsafat itu sangat praktis di satu sisi dan metafisik di sisi lain. Kita menemukan kedua kutub ini dalam filsafat Mesir: ‘literatur kebijaksanaan’, atau filsafat moral, berurusan dengan bagaimana cara hidup; dan ‘teks-teks pemakaman’ mereka berkaitan dengan ‘belajar bagaimana cara mati’ (Julian Scott, 2016). Begitu terang filsafat pada era Mesir Kuno bahwa filsafat sangat dekat dengan agama.
Mengutip Agnis Uzdavanyis, filsuf Lithuania, Gilad Sommer mengatakan bahwa filsafat pada dasarnya adalah “untuk merenungkan tatanan kosmik dan keindahannya; untuk hidup selaras dengannya dan untuk melampaui keterbatasan yang dipaksakan oleh pengalaman indera dan penalaran diskursif,” dan bahwa filsuf kuno “mencoba membangkitkan cahaya Ilahi di dalam diri, dan menyentuh Akal Ilahi di dalam kosmos” (Gilad Sommer, 2023). Betapa filsafat pada era awal sangat dekat dengan mistisisme dan betapa filsafat di masa kini menjauhinya.
Seorang filosof Stoa bernama Epictetus pernah berdendang indah: “Jika aku adalah burung bulbul, aku akan melakukan pekerjaan burung bulbul, dan jika aku adalah angsa, pekerjaan angsa. Namun, aku adalah makhluk yang rasional, dan aku harus menyanyikan pujian bagi Tuhan. Inilah pekerjaanku, dan aku menyelesaikannya, dan aku tidak akan pernah meninggalkan jabatanku selama aku masih diberi kesempatan untuk tetap berada di dalamnya; dan aku mengundang kalian semua untuk bergabung denganku dalam nyanyian yang sama” (Gilad Sommer, 2023).
Di masa-masa kemudian, filsafat melalui berbagai nuansa era yang berbeda dan juga turut mewarnai perjalanan filsafat itu sendiri. Memasuki Abad Pertengahan—abad ke-5 hingga abad ke-15 Masehi—filsafat berubah warna karena dibajak oleh dogma-dogma agama untuk menjadi pembenaran intelektual atas keimanan yang sudah ada sebelumnya. Kembali terbukti bahwa agama begitu dekat dengan filsafat, tetapi Abad Pertengahan lebih merupakan era agama menunggangi filsafat untuk kepentingan dogma-dogmanya.
Filsafat lalu mengalami kejenuhan dan orang-orang merasa terbelenggu oleh doktrin-doktrin agama yang berwajah filsafat. Dalam kejenuhan tersebut, filsafat mengambil jalan yang berlawanan dengan agama. Segala yang berkaitan dengan agama, dilepaskan dari filsafat. Jadilah filsafat semata-mata rasional dan empiris dan juga materialistis hingga memuncak pada positivisme. Agama dianggap masa lalu yang tidak akan pernah lagi dilongok.
Beberapa saat sebelum filsafat meninggalkan agama di era setelah Abad Pertengahan, ada era peradaban Islam. Saat itu, filsafat disapa tetapi penampikan terbit. Penampik tidak peduli apakah filsafat yang mereka tampik adalah filsafat awal atau filsafat Abad Pertengahan. Yang pasti penampik tidak mengandaikan sedang menampik filsafat modern yang memang belum ada pada waktu itu. Namun jika dicermati, penampikan yang ada pada era Modern, sepertinya penampik memang tidak peduli. Mereka hanya tidak suka pada filsafat. Titik.
Permusuhan terhadap filsafat biasanya didasarkan pada anggapan bahwa rasionalitas bisa mengganggu dogma agama padahal dogama agama itulah cara untuk mensakralkan Yang Ilahi. Pertanyaan yang layak diajukan kepada permusuhan itu adalah bagaimana bisa filsafat dianggap berpotensi mengganggu Yang Ilahi atau mengganggu dogma yang mensakralkan Ilahi? Jika yang dianggap terganggu adalah Yang Ilahi, apakah tidak terasa aneh jika Yang Ilahi bisa-bisanya terganggu? Jangan-jangan yang terganggu adalah para penguasa dogma yang merasa telah mensakralkan Ilahi, padahal sesungguhnya mereka sedang mensakralkan pikiran mereka sendiri.
Islam, Filsafat, dan Al-Qur`an
Dalam disiplin keilmuan Islam, filsafat sangat dekat dengan Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawwuf. Keduanya membicarakan tentang posisi manusia dan semesta di hadapan Allah SWT. Filsafat sendiri memiliki beberapa elemen, yaitu: pengetahuan yang benar tentang realitas, pencapaian kesempurnaan jiwa manusia, dan kesempurnaan manusia itu sendiri. (Seyyed Hossein Nasr, 2022: 42). Karena itu, filsafat adalah pengetahuan yang benar tentang realitas yang sesuai dengan kemampuan manusia untuk mencapai kesempurnaan jiwa dan kesempuranaan manusia sebagai manusia.
Realitas di dalam Islam tidak hanya realitas kasat mata, tetapi juga yang tidak kasat mata; bukan hanya dunia, tetapi juga akhirat; dan bukan hanya alam semesta, tetapi juga Tuhan. Penyebutan tentang realitas ini penting untuk ditegaskan karena akan memengaruhi bagaimana filsafat versi Islam itu sendiri. Di dalam Islam, realitas yang sesungguhnya hanya Allah SWT. Selain-Nya hanyalah fatamorgana. Selain realitas, perlu pula disebutkan bahwa ilmu pengetahuan di dalam Islam tidak pernah untuk ilmu itu sendiri tetapi untuk kesempurnaan manusia sebagai manusia. Karena itu, filsafat dalam Islam adalah relasi manusia, alam semesta, dan Allah SWT.
Bagi manusia, relasi sesungguhnya hanyalah dengan Allah SWT dengan alam semesta (makrokosmos) sebagai tanda (âyah/âyât)Kehadiran Allah SWT (al-Haqq). Bahkan manusia (mikrokosmos) sendiri adalah tanda Kehadiran-Nya. Tanda-tanda hadir untuk dipahami atau dibaca (Iqra`). Karena itu, Ibn al-Arabi menyebutkan ada dua al-Kitâb, yaitu Al-Qur`an dan alam semesta (Alexander D. Knysh, 2001: 154). Membaca adalah upaya untuk memahami mana realitas yang sesungguhnya dan mana yang bukan. Realitas yang bukan sesungguhya adalah sarana untuk menggapai realitas yang sesungguhnya.
Realitas yang sesungguhnya disebut al-Haqq di dalam dunia Tasawwuf dan itu dipahami sebagai Allah SWT. Sebutan al-Haqq bukan hanya berarti Tuhan, tetapi juga berarti Kebenaran, Kehidupan, Cahaya, bahkan Kecerdasan Kreatif (Milad Milani, 2013: 109). Beberapa ayat Al-Qur`an meyebutkan kata al-haqq berdampingan dengan kata Allah seperti QS. Taha/20: 114, QS. al-Hajj/22: 6 dan 62, dan QS. Lukman/31: 30. Meski demikian, tidak semua kata al-haqq di dalam Al-Qur`an berarti Allah SWT secara langsung.
Di dalam terjemahan versi Kementerian Agama RI, kata al-haqq selalu diartikan kata sifat dari Allah SWT. Di dalam Tasawwuf, al-haqq diartikan sebagai realitas yang sesungguhnya, bukan sifat bahkan cenderung bukan merupakan nama. Allah SWT adalah nama dari realitas yang sesungguhnya itu. Karena itu, Allah adalah nama untuk membedakan Tuhan dengan selain-Nya; sedangkan al-haqq adalah istilah untuk membedakan antara realitas yang sesungguhnya dengan realitas semu.
Perlunya penegasan tentang realitas yang sesungguhnya adalah konsekuensi dari syahadat, Lâ ilâha illal Lâh, Muhammadun rasûlul Lâh. Muhammad sebagai simbol ketidaksempurnaan diliputi oleh Allah SWT sebagai simbol kesempurnaan; yang tidak kekal dipadamkan oleh yang kekal. QS. al-Isra/17: Katakanlah, “Yang benar (al-Haqq) telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap” (William Stoddart, 2012: 26)
al-Haqq sebagai istilah untuk menggambarkan realitas memang tidak bisa diletakkan semata-mata pada ayat-ayat yang menyebutkan kata haqq (dengan semua derivasinya) di dalamnya karena tidak semua menggambarkan hal itu. Ada ayat-ayat lain yang tidak menyebutkan kata haqq tetapi justru menggambarkan hal itu seperti QS. al-Fatihah/1: 1-7, QS. al-Baqarah/2: 115, QS. Qaf/50: 16, QS. al-Hadid/57: 3, dan QS. al-Rahman/55: 26-27.
Al-Qur`an sangat sarat dengan ayat yang menampung ide-ide filosofis, terutama ide-ide yang memandang bahwa alam raya dan manusia adalah realitas yang menakjubkan. Tidak jarang Allah SWT bersumpah atas nama waktu dan benda-benda tertentu. Karena begitu menakjubkannya, maka patut “dicurigai” ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik realitas tersebut yang merupakan realitas yang sesungguhnya. Namun, realitas yang sesungguhnya tidak mampu ditangkap oleh panca indera, maka muncul pula kecurigaan jangan-jangan panca indera dan penalaran diksursif tidak cukup untuk mencapai kebenaran. Lebih mendalam, di dalam Al-Qur`an disebutkan bahwa realitas yang sesungguhnya itu tidak jauh, bahkan lebih dekat daripada dekat. Saking dekatnya, jangan-jangan realitas tersebut adalah diri manusia itu sendiri, Sang al-‘Âlam al-Shagîr.[]
Bahan Bacaan
Knysh, Alexander D., “Sufism and the Qur`an”, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur`an, Vol. 5, Leiden: Brill, 2001
Nasr, Seyyed Hossein, Filsafat Islam: Dari Mula hingga Sekarang, Sumedang: Yayasan Al-Ma’arij Darmaraja, 2022.
Scott, Julian, “Philosophy in Ancient Egypt”, dalam https://library.acropolis.org/philosophy-in-ancient-egypt/, 2016
Sommer, Gilad, “Philosophy and the Sacred”, dalam https://library.acropolis.org/philosophy-and-the-sacred/, 2023
Stoddart, William, Outline of Sufism: The Essentials of Islamic Spirituality, Indiana: World Wisdom,2012