Paradigma Pemikiran Tafsir Maqashidi Abdul Mustaqim

Kehadiran teks al-Qur’an telah melahirkan pusat lingkaran wacana kajian keagamaan yang tak kenal henti, bahkan kian membesar membentuk sebuah imperium raksasa peradaban, dengan dua pola gerak kecenderungan; sentripetal dan sentrifugal. Pola gerak pertama (sentripetal) memiliki pengertian bahwa teks al-Qur’an selalu menjadi sumber ilmiah utama dalam merespon berbagai persoalan kemanusiaan.

Sedangkan pola gerak kedua (sentrifugal) memiliki pengertian bahwa teks al-Qur’an selalu menjadi dorongan inspiratif yang sangat kuat untuk terus-menerus melakukan penafsiran dan pemaknaan, menjelajah, serta melakukan pengembangan intelektual dalam mengungkap kandungannya (Komarudin Hidayat, 1996: 15).

Bacaan Lainnya

Dari potret dua pola gerak kecenderungan di atas meniscayakan kehadiran salah satu pendekatan baru dalam diskursus penafsiran al-Qur’an, “tafsir maqashidi”. Istilah Tafsir Maqashidi semakin menggeliat diperbincangkan di kalangan para peminat studi al-Qur’an, maka tak ayal di era kontemporer ini Tafsir Maqashidi semakin menemukan relevansinya untuk terus didiskusikan.

Konstruksi Logis Tafsir Maqashidi: Ontologis dan Epistemologis

Sebelum menguraikan kontruksi logis Tafsir Maqashidi dan tinjauannya dari sisi ontologis dan epistemologis, perlu kiranya dijelaskan beberapa postulasi kontruksi yang menjadi basisnya. Pertama, jargon popular bahwa al-Qur’an bersifat shalih li kulli zaman wa makan, dalam arti lain al-Qur’an bersifat akomodatif terhadap ragam budaya (Wadud, 1996: 6). Kedua, al-Qur’an menawarkan perbedaan makna secara alami, dalam hal ini kerap disebut al-Qur’an hamalah al-wujuh (Mustaqim, 2012: 15).

Ketiga, al-Qur’an yang sebagai kitab meta-historis telah masuk ke dalam dialektika historis, sehingga meskipun al-Qur’an adalah firman Allah, tetapi bahasa yang digunakan memiliki dimensi kultural dan lokal-partikular. Oleh karena demikian, dalam konteks memahami al-Qur’an diperlukan sebuah nalar yang rasional dan pendekatan ilmiah (Riyadi, Ed. 2015: 211).

Berikutnya, menurut Mustaqim, secara ontologis Tafsir Maqashidi dapat dipetakan menjadi tiga bagian; adalah Tafsir Maqashidi sebagai filsafat tafsir (as philosophy), Tafsir Maqashidi sebagai sebuah metodologi (as methodology), dan Tafsir Maqashidi sebagai produk tafsir (as product). Ketiga rantai ontologis ini pada gilirannya saling berjalin berkelindan satu sama lain dan menjadi penting diungkapkan, sehingga body of knowledge dari Tafsir Maqashidi menjadi final.

Di sisi lain, secara epistemologis Tafsir Maqashidi dapat dijadikan salah satu alternasi dalam meneguhkan kembali wacana moderasi Islam, ketika kita harus berdialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis. Dalam terminologi yang sederhana, Tafsir Maqashidi adalah bentuk moderasi antara kelompok tekstualis-skriptualis (baca: menuhankan teks dan mengabaikan konteks) dan kelompok liberalis-substansialis (baca: mendesakralisasi teks dan menuhankan akal).

Sehingga selanjutnya dapat dikatakan bahwa Tafsir Maqashidi pada prinsipnya ingin menggapai sebuah tujuan, hikmah, maksud, dan signifikansi yang ada di balik teks, tentu dengan tetap menghargai teks itu sendiri, sehingga pada gilirannya tidak mudah terjebak pada sikap desakralisasi teks di satu sisi, dan menuhankan teks di sisi lain. Pertimbangan konteks dan maqashid dengan basis menciptakan maslahat dan menolak mafsadat inilah yang selanjutnya menjadi nilai fundamental dari tafsir maqashidi.

Tafsir Maqashidi: Maqashid Al-Qur’an dan Maqashid Al-Syari’ah

Menurut Mustaqim, Tafsir Maqashidi merupakan model pendekatan penafsiran al-Qur’an yang memberikan aksentuasi terhadap dua dimensi besar, maqashid al-Qur’an dan maqashid al-syari’ah. Eksistensi Tafsir Maqashidi tidak hanya terpaku pada penjelasan makna literal teks yang eksplisit, melainkan mencoba menelusuri maksud di balik teks yang implisit. Sebagai contoh, jika objek kajiannya perihal ayat-ayat kisah, maka ia akan menelusuri lebih dalam apa yang menjadi maqashid yang terkandung dalam narasi kisah al-Qur’an tersebut (Mustaqim, 2019: 12-13).

Maqashid al-Syari’ah dan maqashid al-Qur’an adalah dua hal dan memiliki konteks yang berbeda, kendati tak bisa dipungkiri bahwa keduanya saling berkaitan satu sama lain. Jika maqashid al-syari’ah hanya berfokus pada maksud ayat-ayat hukum, sedangkan maqashid al-Qur’an lebih luas kajiannya, yakni untuk seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Jika ditelusuri, fokus kajian maqashid al-syari’ah hanya sebatas pada ayat legal-formal, sedangkan maqashid al-Qur’an mencakup seluruhnya baik legal-formal, eskatologis, kisah, dan seterusnya.

Selanjutnya, metode Tafsir Maqashidi dapat diposisikan sebagai fondasi dalam menghasilkan maqashid al-syari’ah, dalam artian bahwa segala macam bentuk kemaslahatan pada gilirannya akan bermuara kepada maqashid al-Qur’an. Sebagai sebuah metode, Tafsir Maqashidi diproyeksikan sebagai upaya rekonstruksi penafsiran al-Qur’an yang berbasis maqashid (konteks kemaslahatan) sebagai sebuah teori.

Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Islam

Menurut Mustaqim, Tafsir Maqashidi menjadi penting sebagai alternasi pengembangan tafsir dan sebagai basis moderasi Islam. Pertama, Tafsir Maqashidi dinilai lebih memiliki basis epistemologi dalam tradisi pemikiran, kajian keislaman, dan penafsiran al-Qur’an (Mustaqim, 2019: 18). Kedua, paradigma Tafsir Maqashidi dinilai lebih memiliki perangkat metodologi yang lebih proporsional dibandingkan dengan hermeneutika Barat dalam konteks penafsiran teks al-Qur’an.

Keniscayaan serta keunggulan dalam tafsir maqashidi, bukan hanya perihal bagaimana memahami teks al-Qur’an dan menghubungkan teks dengan konteks masa lalu dan kekinian, melainkan juga perlu menghubungkan teori-teori maqashid secara integratif-interkonektif, baik pada tataran maqashid al-Qur’an, maqashid al-syari’ah, maupun teori-teori sains dan sosial-kemasyarakatan.

Ketiga, Tafsir Maqashidi dapat dipotret sebagai falsafah al-tafsir yang memiliki dua fungsi; adalah sebagai spirit untuk menjadikan penafsiran al-Qur’an lebih dinamis dan moderat, serta sebagai kritik terhadap produk-produk tafsir yang memandang ‘sebelah mata’ terhadap dimensi maqashid al-Qur’an dan maqashid al-syari’ah.

Keempat, tafsir maqshidi dinilai dapat menjadi ‘kubu penengah’ (baca: moderat) di antara dua kelompok tekstualis-skriptualis (baca: menuhankan teks dan mengabaikan konteks) dan kelompok liberalis-substansialis (baca: mendesakralisasi teks dan menuhankan akal) yang keduanya saling berkonflik dalam upaya mengungkap makna al-Qur’an (Mustaqim, 2019: 9).

Prinsip Metodologis Tafsir Maqashidi

Semua metode, baik deduktif atau induktif, rasional atau eksperimental, tentu memiliki aturan atau prinsip yang mesti diikuti dalam penafsiran al-Qur’an. Dalam hal ini, Mustaqim mencetuskan sepuluh prinsip metodologis dalam tafsir maqashidinya. Pertama, memahami maqashid al-Qur’an yang memuat nilai-nilai kemaslahatan individual, kemaslahatan sosial, dan kemaslahatan universal.

Kedua, memahami prinsip maqashid al-syari’ah yang termanifestasikan dalam tujuh syariatnya. Ketiga, mengembangkan aspek proteksi dan produktif. Keempat, menghimpun ayat-ayat yang memiliki tema relevan. Kelima, memotret konteks ayat baik secara internal atau eksternal, mikro atau makro, masa lampau atau kekinian. Keenam, memahami teori dasar ‘Ulum al-Qur’an dan Qawa’id al-Tafsir (Mustaqim, 2019: 39).

Ketujuh, memahami aspek-aspek kebahasaan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu seperti nahwu, Sharaf, balaghah, semiotik, dan hermeneutik. Kedelapan, membandingkan antara dimensi sarana (wasilah), pokok (ushul), cabang (furu’), dan tujuan (maqashid). Kesembilan, menginterkoneksikan hasil penafsiran dengan teori-teori sosial, humaniora, dan sains. Kesepuluh, terbuka dengan berbagai macam kritik dan tidak memonopoli penafsiran sebagai kebenaran tunggal (Mustaqim, 2019: 40-41).

Catatan Penutup

Dari uraian di atas, Tafsir Maqashidi pada prinsipnya ingin menegaskan bahwa dalam konteks memahami ayat-ayat al-Qur’an seharusnya mampu menggali maksud serta tujuan daripada ayat tersebut. Kemunculan Tafsir Maqashidi mampu menengahi dua kelompok besar, yakni yang menuhankan teks dan bahkan yang menuhankan akal. Maka disnilah posisi Tafsir Maqashidi senantiasa seiring dan seirama dengan jargon al-Qur’an shalih likulli zaman wa makan, lebih daripada itu, bahwa dapat dikatakan eksistensi Tafsir Maqashidi yang digagas oleh Abdul Mustaqim ini akan selalu relevan sebagai basis moderasi Islam.

Bahan Bacaan

Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina. 1996.

Mustaqim, Abdul. Al-Tafsir al-Maqashidi: al-Qadhaya al-Mu’ashirah fi Dhauil Qur’an wa al-Sunnah al-Nabawiyyah. Yogyakarta: Idea Press. 2019.

Mustaqim, Abdul. Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2019.

Mustaqim, Abdul. DInamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press. 2012.

Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rerading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press. 1996.

Riyadi, Hendar. Fikih Kebhinekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim. Ed. Wawan Gunawan. Bandung: Mizan Pustaka. 2015.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *