Hak kesehatan reproduksi perempuan menjadi salah satu topik yang lantang diperjuangkan oleh aktivis gender belakangan ini pasalnya banyak orang-orang yang buta dengan masalah kesehatan reproduksi bagi perempuan. Di Indonesia sendiri berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), jumlah kasus HIV (human immunodefiency virus) di Indonesia di tahun 2023 meningkat dan didominasi oleh Ibu rumah tangga.
Fakta tersebut mencerminkan bahwa pengetahuan mengenai masalah kesehatan reproduksi masih minim. Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat terwujudnya kesehatan reproduksi antara lain: Perempuan tidak memiliki kontrol terkait keputusan reproduksi dan dituntut untuk tidak menolak kehendak pria, minimnya informasi mengenai pelayanan kesehatan reproduksi, perilaku seksual yang tidak aman, dan stigma serta diskriminasi terkait masalah penyakit reproduksi.
Lebih lanjut mengenai ketimpangan gender di Indonesia yang akan menjadi fokus pembahasan di artikel ini yaitu stereotip yang berkembang di masyarakat yang membuat laki-laki aktif sementara perempuan pasif secara seksual sekaligus dikontrol (sebagai contohnya sunat bagi perempuan dengan tujuan untuk mengendalikan nafsu perempuan), mengenai hak kehamilan dan melahirkan perempuan juga dituntut untuk menjaga dan bertanggung jawab agar tidak terjadi kehamilan yang mana hal ini berkaitan dengan penggunaan alat kontrasepsi.
Sebagai langkah antisipatif pemerintah untuk mengurangi ledakan jumlah penduduk yaitu dengan menciptakan program Keluarga Berencana (KB). Menurut UU No 10 tahun 1992, KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
Adapun perencanaan yang dilakukan untuk dapat membatasi jumlah kelahiran yaitu dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, IUD, dan lainnya.
Sementara itu program ini sendiri dianggap kurang responsif terhadap kesetaraan dan keadilan gender mengingat program ini lebih didominasi oleh perempuan sementara keikutsertaan laki-laki di dalamnya masih sangat minim. Padahal isu gender dalam pembangunan keluarga berencana sendiri telah lama didiskusikan di tingkat internasional yaitu pada International Conference on Population and Development (ICPD) yang dilaksanakan di Kairo tahun 1994.
Di dalam konferensi tersebut membahas mengenai pengendalian pertumbuhan penduduk yang mana harus menggunakan pendekatan dengan lebih memperhatikan kesehatan reproduksi melalui terwujudnya hak-hak reproduksi, kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan peran serta laki-laki dalam program keluarga berencana yang memperhatikan kesehatan reproduksi.
Selain itu digagaskan pula mengenai adanya 4 hak reproduksi perempuan, yaitu: 1. Kesehatan reproduksi sebagai bagian dari kesehatan masyarakat; 2. Hak untuk membuat keputusan tentang pernikahan dan melahirkan anak; 3. Perempuan dan laki-laki harus mendapat kesetaraan dan keadilan; 4. Hak untuk keamanan seksual dan reproduksi dan hak untuk mengakses informasi dan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan keputusan dan terbebas dari paksaan maupun kekerasan oleh pihak lain.
Di Indonesia, regulasi mengenai jaminan kesehatan tercantum dalam berbagai pasal di Undang-undang dan ketentuan hukum HAM yang menetapkan jaminan dan layanan kesehatan reproduksi untuk mempertimbangkan kebutuhan perempuan mengingat resiko yang dialami perempuan jauh lebih besar seperti angka kematian ibu dan ketidakadilan gender lainnya yang dialami perempuan.
Salah satu undang-undang yang membahas mengenai hal tersebut yaitu Undang-undang nomor 52 tahun 2009 Bab II Pasal 3 poin g yang menyatakan bahwa perkembangan kependudukan dan Pembangunan keluarga berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan gender. Namun demikian, berbagai aspek peraturan perundang-undangan dan produk hukum yang dibahas diatas masih belum dilaksanakan secara efektif.
Adanya ketimpangan gender terkait pelaksanaan program keluarga berencana sendiri diakibatkan oleh adanya faktor-faktor yang menjadi pengaruh rendahnya partisipasi pria dalam program KB terutama berkaitan dengan penggunaan alat dan obat kontrasepsi.
Faktor tersebut antara lain: 1. Faktor individu seperti pengetahuan, sikap, dan praktek yang diinginkan, serta kebutuhan yang diinginkan; 2. Faktor lingkungan (sosial, budaya, masyarakat, dan keluarga/istri), keterbatasan informasi dan aksesibilitas terhadap layanan KB untuk pria, berbagai jenis kontrasepsi yang tidak tersedia untuk pria, dan adanya stereotip dimasyarakat bahwa KB hanyalah untuk perempuan semata karena perempuan yang hamil, padahal laki-laki memegang peran penting disini.
Resiko kematian yang dialami oleh perempuan terkait dengan kehamilan seakan dianggap sebagai hal yang wajar bisa dialami oleh perempuan. Penggunaan alat kontrasepsi pada perempuan pun juga membawa efek samping antara lain mengalami gangguan haid, penurunan ataupun kenaikan berat badan, kesuburan tertunda bahkan setelah berhenti memakai, kurangnya gairah seksual, infeksi menular (Hasna., dkk: 2022, 1795).
Hak kesehatan reproduksi sebenarnya juga menjadi diskursus dalam Islam yangmana dibahas mengenai bagaimana seharusnya perlakuan suami terhadap istri. Adapun ayat Al-Qur’an yang membahas hal tersebut dapat dilihat di QS. Al-Baqarah [2]:223 yang berbunyi :
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ ٢٢٣
223. Istrimu adalah ladang bagimu. Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai. Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menghadap kepada-Nya. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin.
Penafsiran terhadap ayat ini seringkali menerjemahkan perempuan sebagai ladang (حَرْثٌ) merupakan tempat laki-laki melampiaskan hasrat seksualnya untuk memperoleh keturunan dan istri dapat didatangi kapan saja sesuai kehendak suami. (Hasyim, 1999). Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan bahwa حَرْثٌ memiliki makna yang sama seperti biji yang membuahkan tumbuhan.
Seorang suami sebagai petani harus pandai memilih dan mengelola ladangnya. Ladang tentunya harus dirawat dan dijaga agar tetap subur, bersih dari hama, diberi pupuk dengan pupuk yang sesuai serta memilih waktu yang tepat untuk menanam dan panen. Proses konsepsi terjadi dirahim setiap perempuan. Setelah terjadi pembuahan, janin akan berkembang dan membutuhkan nutrisi dari perut perempuan tersebut (Shihab: 2021, 587).
Berdasarkan hal tersebut berarti tanggung jawab seorang suami tidak terbatas pada mencampuri istrinya saja melainkan menjaga dan memperhatikan istrinya, memenuhi kebutuhan istri dan kandungannya, sehingga nanti pada saat bayi tersebut lahir dan dewasa dapat memberikan bermanfaat bagi orangtuanya.
Dalam interpretasi mubadalah, ungkapan ladang juga berlaku bagi perempuan. Suami juga menjadi ladang kebaikan bagi istri. Suami juga menjadi ladang bagi istri untuk menikmati hubungan seksual dan kenikmatan. Oleh karena itu baik suami ataupun istri berhak atas kenikmatan, kesenangan, kebahagiaan, dan kebaikan sehingga laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga, memelihara, dan menumbuhkan relasi melalui ladang kebaikan tersebut (Kodir: 2022, 70).
Penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab bersama antara suami istri sehingga seharusnya laki-laki juga ikut berperan dalam masalah pemilihan kontrasepsi. Idealnya pasangan suami istri memilih metode kontrasepsi yang terbaik dengan mempertimbangkan tingkat bahaya penggunaannya atau resiko yang akan didapatkan kemudian saling mendukung dalam penggunaannya, karena sudah seharusnya penggunaan kontrasepsi ini dibarengi dengan pemahaman terhadap pentingnya kesehatan reproduksi.
Keterbatasan pilihan kontrasepsi pria menyebabkan penggunaan kontrasepsi pria yang rendah. Sampai saat ini, belum ada metode pengaturan kelahiran pria yang sempurna. Karena masalah ketaatan, pantang berkala sulit dilaksanakan. Kegagalan senggama terputus cukup tinggi; kondom tidak disukai oleh banyak orang karena tidak nyaman; dan vasektomi memiliki beberapa masalah dengan akseptabilitas dan reversibilitas (Ahmad, 2009; 203).
Namun jika dilihat resiko penggunaan kontrasepsi pada perempuan nyatanya lebih beresiko dibanding laki-laki. Seperti yang telah kita kaji diatas dalam QS. Al-Baqarah ayat 223 menyatakan pentingnya hak kesehatan reproduksi bagi perempuan maka dari itu perlu ada dorongan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya peran akseptor laki-laki dan merubah mindset mengenai KB yang selama ini dipandang hanya untuk perempuan.
REFERENSI
Ahmad. (2009). “Frekuensi dan Determinan Kontrasepsi Pria di Indonesia”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasiona.l Vol. 3, No. 5.
Bunyamin, Bubung. (2014). “Isu Gender dalam Program Keluarga Berencana”. Jurnal Parallela, Volume 1, Nomor 2.
Hasna, Fira Nur., dkk. (2022). “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Kb Suntik 3 Bulan”. Jurnal Health. Vol. 3, No.12.
Hasyim, Syafiq. (1999). Menakar Harga Perempuan. Bandung. Mizan
Kodir, Faqihuddin Abdul. (2022). Perempuan (bukan) Makhluk Domestik. Bandung: Afkaruna.id.
Ratu Matahari, dkk. (2018). Buku Ajar Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Ilmu.
Shihab, M Quraish. (2021). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume I. Tangerang: PT Lentera Hati.