Hermeneutika Bultmann dan Dinamika Tafsir Ayat-Ayat Kisah dalam Al-Qur’an: Antara Mitos, Sejarah, dan Eksistensi

Hermeneutika merupakan pendekatan baru dalam ruang lingkup kajian tafsir al-Quran. Terdapat sikap pro dan kontra antar kelompok dan aliran dalam penggunaannya di dunia Islam. Kelompok pro, kerap kali menyatakan bahwa adanya penggunaan hermeneutika dalam kajian tafsir al-Quran merupakan suatu keniscayaan dari ungkapan al-Qur’ān ṣāliḥ li kull zamān wa makān. Adapun kelompok yang kontra, menyatakan bahwa hermeneutika tidak cocok digunakan untuk mengkaji atau menafsirkan ayat-ayat al-Quran, sebab metode ini bukan bagian dari sistem keilmuan Islam, melainkan bagian dari metode penafsiran kitab Bibel.

Hermeneutika yang tidak bisa lepas dari aktivitas penafsiran ini sebenarnya merupakan persoalan berpikir teknis. Hal ini terkait dengan menafsir, maka penggunaan hermeneutika tidak hanya dalam menafsir Alkitab namun juga dapat dipakai untuk menafsirkan hal-hal yang lebih luas dan umum untuk mencari makna sesungguhnya dari sebuah teks. Ruang lingkup hermeneutik lingkupnya sangat luas tidak hanya terbatas pada filsafat, dapat diterapkan pula diantaranya pada bidang, sejarah, teknologi, lingusitik, hukum hingga juga pada kitab suci. Akan tetapi yang lebih khusus digunakan pada bidang filsafat, sebab merupakan bagian dari seni berpikir (Sumaryono, 1993:38).

Bacaan Lainnya

Pada sejarah perkembangan modernisme Islam muncul gagasan yang dicetuskan oleh para pembaharu atau modernis Islam yaitu kembali kepada al-Quran dan hadis. Muhammad Abduh misalnya dengan serius mempelopori gerakan kembali kepada al-Quran dan berpegang teguh dengannya sehingga diperlukan penafsiran atau interpretasi baru terkait ajaran-ajaran dasar Islam yang relevan dengan tuntunan dan perkembangan zaman. Demikian pentingnya upaya memahami kandungan al-Quran agar dapat mengambil pelajaran berharga darinya (Ibrahim, 2024: 24-25). Upaya pembacaan terhadap teks terus mengalami perkembangan hingga mengadopsi metode penafsiran Bibel terhadap al-Quran yaitu metode hermeneutik.

Hermeneutika demitologisasi Bultmann menekankan pentingnya menafsirkan elemen-elemen mitos dalam kitab suci sebagai simbol yang menyampaikan pesan eksistensial. Pendekatan ini menawarkan cara alternatif dalam memahami kisah-kisah Al-Qur’an seperti kisah para Nabi, kaum terdahulu serta kisah-kisah lainnya dalam al-Quran. Dalam analisis ini, kisah-kisah tersebut dipahami bukan hanya sebagai narasi historis, tetapi sebagai sumber inspirasi moral dan spiritual yang relevan untuk pembaca modern.

Pendekatan ini memindahkan fokus dari historisitas kisah menuju pesan-pesan universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan kontemporer, seperti perjuangan menghadapi penindasan, ketabahan dalam keimanan, dan peringatan terhadap konsekuensi kesombongan. Meski demikian, penerapan hermeneutika Bultmann dalam tafsir Al-Qur’an menghadapi berbagai tantangan, termasuk kritik terhadap reduksi elemen historis dan perbedaan konsep mitos dalam tradisi Islam dan Barat.

Hermeneutika Rudolf Bultmann

Rudolf Bultmann seorang teolog Kristen Protestan memperkenalkan konsep demitologisasi dalam hermeneutika, yaitu sebuah upaya mengungkap pesan inti teks dengan membedakan elemen mitos dan makna eksistensial agar relevan dengan kehidupan manusia modern. Menurut Bultmann, teks kitab suci seperti Injil tidak dapat dipahami hanya sebagai narasi literal maupun historis. Ia berargumen bahwa teks kitab suci itu sarat dengan cerita-cerita mitos yang berfungsi untuk menyampaikan pesan-pesan eksistensial kepada manusia.

Dalam kajian hermeneutika Bultmann ini bertujuan menjembatani jurang antara teks suci kuno dan manusia postmodern tanpa mengorbankan substansi spritualnya. Bultmann ingin memahami mukjizat bukan sekedar fakta historis melainkan sebagai makna eksistensial. Ada dua pokok gagasan penting mengenai pemikirannya ini.

Pertama, demitologisasi bukan sebuah ajaran, melainkan sebuah metode hermeneutik. Kedua, tujuan metode ini bukan untuk menghilangkan mitos, melainkan untuk memahami pemaknaan teks suci (Subrata, 2023: 75). Meski tujuan awal pengembangannya untuk teks injil, namun pendekatan ini mulai diterapkan pula oleh penafsir muslim dalam memberikan perspektif menarik untuk diterapkan pada ayat-ayat dalam al-Quran.

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam mengandung banyak kisah yang sarat dengan pesan moral dan spiritual. Kisah-kisah ini, seperti cerita tentang Nabi Nuh, Musa, kaum ‘Ad, dan Tsamud, tidak hanya berfungsi sebagai narasi sejarah tetapi juga sebagai sarana pendidikan keimanan dan perenungan eksistensial. Namun, pendekatan tradisional dalam memahami kisah-kisah ini sering kali berfokus pada aspek literal dan historis, yang kadang sulit diterima oleh pembaca modern yang lebih kritis terhadap dimensi simbolis atau metaforis teks suci.

Penerapan hermeneutika Bultmann dalam studi Al-Qur’an tidak lepas dari berbagai tantangan. Sebagian ulama menganggap kisah dalam Al-Qur’an sebagai bagian integral dari wahyu yang harus diyakini secara literal, sehingga pendekatan demitologisasi dapat dianggap bertentangan dengan prinsip keimanan. Meski demikian, pendekatan ini dapat menjadi alternatif untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an secara simbolis, kontekstual, dan relevan bagi pembaca modern. Maka tulisan ini berusaha menjawab bagaimana konsep demitologisasi dalam hermeneutika bultmann diterapkan pada ayat-ayat kisah dalam al-Quran serta sejauh mana pendekatan ini membantu menggali pesan eksistensial di balik ayat-ayat kisah dalam al-Quran.

Demitologisasi dan Analisis Ayat-Ayat Kisah dalam Al-Quran

Bultmann mendefinisikan demitologisasi sebagai upaya menafsirkan elemen-elemen mitos dalam kitab suci untuk mengungkap pesan eksistensial agar dapat dengan mudah dipahami dan diterima oleh manusia postmodern. Salah satu ciri khas dari cara pandang postmodern adalah mengedepankan relativisme. Pada era ini, segala sesuatu yang telah sekian lama dianggap mapan dan mutlak mulai dipertanyakan (Elizabeth, 2023:4). Kebenaran di zaman ini tidak lagi objektif akan tetapi dilihat sebagai sesuatu yang relative.

Pada dasarnya ayat-ayat kisah yang sering dianggap “mitos” bahkan sejak masa turunnya wahyu (An-Nahl: 24) sampai zaman hari ini dapat diinterpretasikan sebagai simbol penyampaian nilai spiritual dan moral tanpa terikat pada fakta historisnya. Misal kisah nabi Nuh dalam surah Hud: 25-49 yang menceritakan banjir besar yang sampai hari ini diperdebatkan historisitasnya.

Melalui pendekatan demitologisasi, fokus yang ingin diambil bukan mengenai perdebatan tentang fakta banjirnya, melainkan yang difokuskan adalah pesan moralnya. Bagaimana orang-orang beriman pada waktu itu bersama nabinya, Nuh A.S, diuji keimanannya, kesabarannya dalam berdakwah dan konsekuensi bagi orang yang menolak kebenaran serta keselamatan bagi mereka yang mengikuti jalan tuhan. Maka itulah pesan eksistensial yang diinginkan dari ayat tersebut. Bagaimana manusia postmodern membentuk hubungan kesetian pada Tuhannya dengan taat pada perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Demikian juga pada kisah nabi Musa A.S yang diceritakan berulang kali dibeberapa surah al Quran tentang dakwahnya kepada Bani Israil dan Fir’aun, seorang raja yang zalim. Secara historis negeri Mesir yang menjadi latar belakang kisah ini dapat ditelusuri. Namun, yang ingin difokuskan melalui pendekatan demitologisasi bukan pada detail historisnya seperti lokasi atau detail kronologi peristiwa, melainkan ingin menonjolkan pesan universal tentang perlawanan terhadap penindasan dan kezaliman serta perjuangan keadilan. Inilah pesan eksistensial yang diharapkan berupa keberanian untuk menghadapi tirani dan memperjuangkan nilai-nilai keimanan.

Hermeneutika Bultmann mencoba menggeser fokus kisah dari narasi literal menuju pesan spritual dan moral yang relevan dengan pembaca postmodern. Menurutnya, yang ingin disampaikan bukan mengenai mitologi maupun fakta historisnya, melainkan pemahaman manusia di masa silam atas eksistensinya. Demitologisasi atas teks-teks sakral berarti menafsirkan teks-teks tersebut sehingga makna eksistensialnya dapat difahami oleh pembaca di zaman ini (Hardiman, 2015: 145).

Penerapan hermeneutika Bultmann pada ayat-ayat kisah dalam Al-Qur’an memungkinkan kita untuk melihat teks suci ini dari perspektif yang lebih relevan dengan pembaca modern. Meskipun menghadapi tantangan teologis dan metodologis, pendekatan ini menawarkan cara baru untuk menggali pesan spiritual dan moral yang terkandung dalam kisah-kisah Al-Qur’an, sekaligus menjadikannya lebih dekat dengan realitas eksistensial manusia masa kini. Tulisan ini menyimpulkan bahwa hermeneutika Bultmann jika diterapkan dengan kehati-hatian dan tetap berlandaskan prinsip-prinsip akidah Islam dapat memperkaya tafsir ayat-ayat kisah dengan menghadirkan dimensi eksistensial yang relevan bagi manusia masa kini tanpa mengabaikan nilai-nilai teologis yang mendasarinya.

Referensi

Elizabeth, Jessica, Abraham dkk. Demitologisasi Bultmann sebagai Analogi Jembatan Dialektika kepada Manusia Posmodern. Jurnal Teologi Gracia Deo. Vol 6, No. 1. 2023.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami; Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2015).
Ibrahim, Sulaiman. Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana dalam Metode Tafsir al-Quran. Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol. 11, No. 1. 2024.
Subrata, Jaka. Memahami Sebagai Menyingkap (Rudolf Bultmann Dan Hermeneutika Demitologisasi), Pemberontakan Terhadap Kuasa Kata. (Jakarta: PTIQ Press, 2023).
Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuab Metode Filsalat. (Yogyakarta: Kanisius, 1993).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *