Informasi mengenai buku yang direview. Judul: Contemporary Perspectives on Revelation and Qur’ānic Hermeneutics: An Analysis of Four Discourses. Penulis: Ali Akbar. Penerbit: Edinburgh University Press, 2020. Tebal: 192 halaman. ISBN: 978-1-474-45618-0.
Selama abad ke-19, dunia Islam sangat dipengaruhi oleh pandangan dan nilai-nilai Barat yang muncul sejak Pencerahan. Itulah mengapa sebagian besar filsuf Muslim pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menafsirkan al-Qur’an berdasarkan konteks yang melingkupi masyarakat Muslim modern.
Sejumlah filsuf Muslim pada periode ini—seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rashid Rida—berusaha untuk menjembatani kesenjangan antara ajaran-ajaran Islam dengan norma-norma dan pandangan dunia modern. Aliran pemikiran inilah yang sering dianggap sebagai ‘Islam liberal’, dalam pengertian bahwa mereka melakukan rekonstruksi ajaran Islam tradisional sebagai respon terhadap budaya kontemporer.
Selama paruh kedua abad ke-20 hingga awal abad ke-21, beberapa pendekatan hermeneutika yang berada di bawah payung kontekstualisasi, muncul dalam wacana tafsir-tafsir Islam. Pendekatan ini hadir sebagai anti-tesis tekstualisme. Tekstualisme merujuk pada gagasan tradisional bahwa makna literal teks lebih utama daripada makna yang dihasilkan oleh konteks sejarah dan budaya.
Seperti yang ditulis oleh Abdullah Saeed dalam ‘Reading the Qur’an in the Twenty-First Century’ bahwa para tekstualis “menganggap makna literal sebagai dasar untuk mengeksplorasi makna teks,” alih-alih merujuk pada konteks historis di mana teks itu muncul (Saeed, 2014: 20). Tekstualisme sering kali mengabaikan relevansi konteks historis untuk memahami al-Qur’an sehingga menghasilkan penekanan pada universalitas makna literal al-Qur’an, yang mengharuskan makna teks diterapkan pada semua waktu dan kondisi.
Wacana filsuf Muslim kontemporer dalam beberapa dekade terakhir menetapkan prinsip-prinsip keislaman berdasarkan pendekatan hermeneutika dalam upaya untuk mengontekstualisasi makna al-Qur’an. Seperti keempat filsuf kontemporer yang secara khusus diulas oleh Ali Akbar dalam bukunya ‘Contemporary Perspetives on Revelation and Qur’ānic Hermeneutics’, yang dalam tulisan pendek ini akan sedikit saya ulas.
Menurut Ali Akbar, pendekatan hermeneutika di atas berasal dari berbagai disiplin seperti ilmu-ilmu sosial, semiotika, termasuk kritik sastra dan pendekatan historis-kritis terhadap penafsiran wahyu. Namun dalam buku ini, Ali Akbar mengakui bahwa dia tidak bertujuan untuk mengkaji masalah umum dalam pembacaan al-Qur’an secara kontekstualis, pun juga tidak mengusulkan metode komperhensif apapun untuk menentukan bagaimana seseorang harus menafsirkan al-Qur’an.
Sebaliknya, dia bertujuan untuk mengeksplorasi tren tertentu dalam pemikiran Islam kontemporer dalam rangka menganalisis kembali teori-teori wahyu tradisional—teori yang menganggap al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang didiktekan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril, dan menyatakan bahwa nabi tidak memainkan peran partisipatif dalam pembentukan wahyu.
Pemikiran Islam kontemporer yang dikaji oleh Ali Akbar dalam buku ini adalah pemikiran dari empat filsuf Muslim abad ke-20 dan 21, yaitu Fazlur Rahman, Abdolkarim Soroush, Muhammad Mujtahid Shabestari dan Nasr Hamid Abu Zayd. Keempat filsuf ini dikenal karena menantang pandangan umum tentang al-Qur’an. Ali Akbar menunjukkan bahwa upaya para pemikir tersebut memiliki implikasi penting, tidak hanya dalam perdebatan teologis tentang hubungan antara Tuhan dan manusia, tetapi juga tentang praktik penafsiran dan penerapan hukum Islam dalam konteks kekinian.
Sebagaimana yang dicatat Jahanbakhsh dalam ‘Introduction: Abdolkarim Soroush’s Neo-Rationalist Approach to Islam’, bahwa niat utama sebagian besar filsuf Muslim kontemporer berorientasi pada “menata ulang tradisi daripada merenovasi struktur itu sendiri.” (Jahanbakhsh, 2009: 22-23) Dengan demikian, wajar apabila konsep-konsep teologis fundamental, seperti teori-teori konvensional tentang wahyu, telah mengalami revisi substansial dalam pemikiran-pemikiran Rahman, Soroush, Shabestari, dan Abu Zayd, sebagaimana yang ditunjukkan Ali Akbar dalam bukunya.
Terlepas dari itu, gagasan-gagasan yang diajukan oleh Rahman, Soroush, Shabestari dan Abu Zayd tentang wahyu secara konvensional lazimnya dikaitkan dengan istilah ‘wahyu progresif’. Beberapa bahkan menyebut para pendukung mereka sebagai ‘Muslim progresif’. Namun, karena makna ‘progresif’ yang relatif ambigu, Ali Akbar sendiri tampaknya lebih suka menggunakan istilah ‘humanistik’ untuk merujuk pada pendekatan bahwa wahyu tidak hanya bergantung pada pemrakarsanya (Tuhan) semata tetapi juga penerimanya (Muhammad).
Dari perspektif humanistik, wahyu tidak melibatkan proses sepihak di mana sang nabi hanya menjadi penerima yang pasif dan tidak berkontribusi apa pun pada proses pewahyuan. Artinya, wahyu tidak hanya dikaitkan dengan kepengarangan Tuhan saja, tetapi juga kepada manusia yang menerimanya. Oleh karena itu, bagi keempat filsuf yang diulas oleh Ali Akbar dalam buku ini, al-Qur’an bukan sekadar kitab suci yang diwahyukan oleh Tuhan, tetapi juga ‘teks sejarah’ yang terkait erat dengan kondisi pikiran sang nabi sebagai manusia.
Keempat filsuf yang diulas oleh Ali Akbar dengan demikian membentuk tren baru dalam pemikiran Islam kontemporer—tren humanistik terhadap wahyu. Mereka tidak hanya melahirkan arah baru dalam wacana teologi Islam kontemporer karena penekanan mereka pada aspek sejarah dan manusiawi wahyu, tetapi juga membentuk landasan teoritis baru bagi penafsiran al-Qur’an.
Olehnya menurut saya, setelah menyelesaikan buku yang diterbitkan pada 2020 silam ini, ada empat poin penting mengapa karya Ali Akbar ini layak untuk Anda baca: Pertama, buku ini bukan hanya menyoroti gagasan-gagasan dari keempat filsuf sebagai simbol perubahan di antara para pemikir Muslim modern lainnya, tetapi juga melihat mereka sebagai bagian dari tren ‘teologi reformasi’ dalam pemikiran Islam kontemporer.
Kedua, buku ini menunjukkan bahwa Fazlur Rahman, Soroush, Shabestari, dan Abu Zayd memberikan model penafsiran yang bertujuan untuk mengkaji kembali pemahaman tradisional kita tentang wahyu, bukan semata-mata menafsirkan wacana sosial-politik Islam tradisional.
Ketiga, dengan menganalisis metode interpretasi dari keempat filsuf dan penerapannya dalam praktik hermeneutik, buku ini tidak hanya membahas inovasi metodologis mereka, tetapi juga melacak akar pemikiran mereka tentang wahyu, baik dalam tradisi filsafat Islam pra-modern maupun dalam wacana keagamaan Barat modern.
Keempat, buku ini juga memberikan perspektif yang kontras terhadap pendekatan tekstualisme yang hari ini telah menjadi pandangan populer, yang diinisiasi oleh gerakan Salafi tradisional. Umat Muslim umumnya enggan menghubungkan firman Tuhan dengan konteks sosial-budaya di mana al-Qur’an muncul. Seperti yang dicatat oleh Farid Esack dalam ‘Qur’an, Liberation and Pluralism’, bahwa keengganan ini “adalah konsekuensi langsung dari komitmen untuk melestarikan ciri khas al-Qur’an sebagai firman Tuhan. Alasannya adalah bahwa jika peristiwa-peristiwa duniawi juga memengaruhi peristiwa pewahyuan, maka entah bagaimana wahyu terkesan tidak sepenuhnya berasal dari dunia lain.” (Esack, 2002: 54)
Bersandar pada karya Rahman, Soroush, Shabestari dan Abu Zayd, Ali Akbar berpendapat bahwa pendekatan humanistik terhadap wahyu menilai situasi-situasi sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat Arab abad ke-7 memainkan peran yang signifikan dalam membentuk isi dan makna al-Qur’an. Dari sini dapat disimpulkan bahwa, menurut keempat filsuf, sebagian besar ajaran al-Qur’an tidak boleh dipahami secara harfiah (literal) tanpa mempertimbangkan konteks zamannya. Sebab, al-Qur’an bagaimanapun juga bagian dari sejarah dan fenomena masyarakatnya.
Referensi
Akbar, Ali. ‘Contemporary Perspetives on Revelation and Qur’ānic Hermeneutics’. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2020.
Esack, Farid. ‘The Qur’an: A Short Introduction’. Oxford: Oneworld, 2002.
Jahanbakhsh, Forough. ‘Introduction: Abdolkarim Soroush’s Neo-Rationalist Approach to Islam’. Dalam Abdolkarim Soroush’s, The Expansion of Prophetic Experience: Essay on Historicity, Contingency and Plurality in Religion. Leiden: Brill, 2009.
Saeed, Abdullah. ‘Reading the Qur’an in the Twenty-First Century’. New York: Routledge, 2014.