Post Views: 130
Problematika Kepemimpinan Perempuan dalam Politik
Sistem demokrasi diterapkan untuk senantiasa menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia tanpa memandang ras, suku, agama, adat bahkan jenis kelamin sekalipun. Prinsip dasar mengenai hak-hak asasi manusia ini sebenarnya telah menjadi komitmen bersama. Namun, persoalan menjadi rumit ketika hal ini masuk kepada persoalan partikular seperti peran perempuan dalam politik, terkhusus kiprahnya dalam hal pemangku kebijakan, kepala pemerintahan atau bahkan kepala negara. Perempuan dengan pengalaman biologis dan sosialnya di tengah budaya patriarki yang mengakar di masyarakat, memerlukan partisipasi yang sejajar. Hal ini bertujuan agar kemudian kepentingan berdasarkan pengalaman khas perempuan dapat diperhitungkan.
Perjuangan kiprah politik perempuan agaknya mendapati hambatan dan tantangan tersendiri. Hal ini didorong oleh mental model yang tumbuh di masyarakat bahwa ‘pemimpin harus laki-laki bukan perempuan yang feminin’. Mental model ini lahir dari sumber-sumber penafsiran yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai legitimasi atas diskriminasi perempuan. Beberapa penafsiran dianggap melanggengkan status quo. Begitupun dalam penggalian hukum yang seringkali mengesampingkan konsep Maqashid Syariah yang dikhususkan bagi perempuan. Sehingga terkadang justru menjadi pembenar bagi aturan bahwa perempuan hanya berperan dalam bidang domestik tidak dalam bidang publik apalagi berpolitik, dibandingkan bersikap kritis terhadapnya.
Metode Maqāshid Syarῑah Li An-Nisā’
Metode Maqāshid Syarῑah Li An-Nisā’ mencoba mengelaborasikan Maqāshid Syarῑah dan perspektif maupun analisis gender. Yaitu, dengan menawarkan pembacaan teks-teks menggunakan kerangka triangulasi yang menghubungkan teks, realitas dan Maqashid Syariah yang dibaca menggunakan perspektif gender. Metode ini ditempuh dengan 3 cara yakni tahlῑl an-nushūṣ (analisis teks), tahlῑl al-Waqi ̒ (analisis realitas) dan analisis Maqāshid Syarῑah menggunakan perspektif gender. Metode ini dirumuskan oleh Achmad Hilmi, Jamaluddin Mohammad dan Rolland Gunawan selaku tim kajian Rumah KitaB, dan telah diuji dan didukung oleh Investing in Women pemerintah Australia. (Tim Kajian Rumah KitaB, 2023: 19)
Sebagai sebuah metode, Maqāshid Syarῑah Li An-Nisā’ dimaknai sebagai serangkaian metode penafsiran teks yang berpihak kepada kaum rentan termasuk di antaranya adalah Perempuan. Produk tafsir dari perangkat metode ini dapat menjadi bahan penting bagi perumusan produk hukum. Sebagai metode tafsir, metode ini berusaha mendudukkan teks di dalam ruang konteksnya. Selain itu, bertujuan untuk memproduksi makna dasar teks yang harus sesuai dengan tujuan luhur teks agama yakni menjadi maslahat bagi seluruh umat manusia. Sehingga pemahaman yang dihasilkan kemudian akan mengarah kepada humanisasi.
Kepemimpinan Politik Perempuan melalui Lensa Maqāshid Syarῑah Li An-Nisā’
Pertama, Tahlῑl an-nushūṣ (analisis teks) paruh pertama dalam surat An-Nisā’ ayat 34 yang berbunyi:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ
Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya.
Ayat ini seringkali digunakan sebagai legitimasi superioritas laki-laki, yang ditafsirkan oleh sebagian penafsir sebagai kelebihan laki-laki atas perempuan dalam hal ilmu pengetahuan, pikiran, kemampuan bahkan akal. Sejatinya, ayat ini tidak tepat jika dijadikan sandaran untuk menolak perempuan menjadi pemimpin. Muhammad Abduh dalam tafsirnya al-Manar tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Al-Qur’an tidak menggunakan frasa بما فضلهم عليهن melainkan menggunakan بما فضل الله بعضهم على بعض yang menunjukkan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki, begitupun laki-laki adalah bagian perempuan. Abduh mengartikan kata qiwāmah sebagai riyāsah, yakni mencakup hubungan antara yang memimpin dan yang dipimpin, dimana yang dipimpin tetap dapat berbuat sesuai kehendak dan pilihannya. (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, 1328 H: 69)
Ayat ini juga perlu ditinjau dari sisi sosiologis dan kontekstualnya, karena merujuk pada persoalan partikular. Posisi laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga sebenarnya muncul dalam suatu peradaban yang patriarkal dimana perempuan bergantung dalam hal ekonomi bahkan keamanan. Hal ini dikuatkan dengan asbābun nuzūl ayat yang memperkecil kekerasan penolakan masyarakat patriarki saat itu, dimana Nabi memberi kesempatan kepada Habibah binti Zaid yang dipukul oleh suaminya, untuk membalas perbuatannya. (Husein Muhammad, 2022: 22). Maka, apa yang terjadi saat itu dengan turunnya ayat ini, merupakan suatu respon atas kondisi yang masih kental dengan budaya patriarki.
Apabila penafsiran ini bersifat sosiologis, maka terbuka suatu kemungkinan bagi adanya perubahan sebagaimana kaidah fikih:
تغيرالأحكام بتغير ألأزمنة والأمكنة
Hukum berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat.
Eksistensi perempuan mengalami perubahan yang evolutif diiringi dengan kesadaran mereka. Perempuan di masa sekarang dapat berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bergantung dengan yang lain. Oleh karena itu, kepemimpinannya dalam bidang politik di masa sekarang dapat diperhitungkan sesuai dengan konteks yang ada.
Kedua, Tahlῑl al-Waqi ̒(analisis realitas) bahwa penafsiran-penafsiran terdahulu mungkin dianggap misoginis oleh sebagian orang, padahal boleh jadi pada masa itu dimaknai sebagai solusi. Sehingga jika ditarik ke masa sekarang konteksnya pun dapat berubah. Keadaan menunjukkan bahwa perempuan di masa sekarang banyak yang memiliki potensi dan keahlian di berbagai ruang kehidupan, termasuk politik Indonesia. Sebagai negara demokrasi juga telah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah dengan memberikan afirmasi 30% keterwakilan perempuan. Meskipun begitu, komitmen tersebut harus dimaknai lebih dalam menyoal keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dengan menggunakan kacamata adil gender dengan memperhatikan pengalaman khas perempuan.
Beberapa perempuan di Indonesia juga menduduki peran-peran penting. Sebut saja Kartini yang memperjuangkan demokrasi pendidikan perempuan di zamannya, kemudian beberapa perempuan yang berhasil menduduki kursi legislatif maupun yudikatif hingga Megawati yang berhasil menjabat sebagai presiden perempuan. Meskipun kenyataannya, kehidupan politik seringkali dipengaruhi oleh model maskulin yang sesuai dengan norma dan nilai laki-laki. Dalam beberapa kasus bahkan diatur menurut gaya hidup laki-laki, sehingga peran perempuan cenderung terbatasi. Oleh karenanya, perjuangan perempuan dalam hal kepemimpinan dan demokrasi sejatinya tidak pernah berhenti sampai sekarang.
Sebagai contoh, kita dapat mengikuti negara Swedia yang berhasil menetapkan 45% keterwakilan perempuan. Baik laki-laki dan perempuan yang menduduki parlemen, keduanya membawa pengalaman sosialnya masing-masing dalam mempertimbangkan segala keputusan. Baik laki-laki maupun perempuan tidak harus menyesuaikan diri terhadap peran tradisionalnya dan bila pola ini diterapkan menjadi norma maka perubahan yang nyata senantiasa terlihat. Dengan melihat gambaran negara yang berhasil menerapkan nilai-nilai keadilan dan demokrasi, Indonesia juga memiliki potensi untuk memberlakukan ketentuan yang serupa. Yakni dengan memberi kesempatan yang sama baik laki-laki dan perempuan untuk sama-sama berkiprah membangun bangsa. (International IDEA, 2002: 23)
Ketiga, Analisis Maqāshid Syarῑah menggunakan perspektif gender, melihat realitas yang telah digambarkan menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan di masa sekarang berhak untuk menjadi pemimpin, terkhusus aktif dalam hal politik. Melarang perempuan berkiprah dalam politik adalah suatu kemafsadatan, karena melanggar hak-hak asasi. Padahal sejatinya, tujuan luhur dari politik ialah menyejahterakan dan kemaslahatan umat manusia sekaligus mengimplementasikan tujuan islam sebagai rahmatan lil ‘ālamῑn, dan hal ini dapat diwujudkan oleh pemimpin yang adil baik dari laki-laki maupun perempuan. Analisis holistik menunjukkan bahwa perempuan boleh berkiprah dalam hal perpolitikan, hal ini didasari oleh argumen teologis lainnya yang menguatkan (Musdah Mulia, 2014: 73-77), yaitu:
Pertama, Surah At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Ayat ini menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki dapat saling bekerjasama utamanya dalam hal-hal yang menyangkut kebaikan. Quraish Shihab dalam Nasaruddin Umar mengisyaratkan kemungkinan perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat dengan mengutip ayat ini, kata اَوْلِيَاۤءُ berarti kerjasama dan bantuan, adapun kata ‘menyuruh mengerjakan yang makruf’ mencakup segala jenis kebaikan. Oleh karenanya, keduanya berhak untuk menjadi pemimpin dengan pengalamannya masing-masing dalam rangka menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan. (Nasaruddin Umar, 2023:136)
Kedua, Al-Qur’an mengajak laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bermusyawarah (As-Syura [42]: 38) yang berbunyi:
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Ayat ini meneguhkan prinsip demokrasi yaitu bermusyawarah. Pengambilan keputusan ataupun perumusan kebijakan dilandaskan dengan pertimbangan semua pihak. Dengan begitu, maka prinsip keadilan dapat ditegakkan. Hal ini penting agar aturan yang ditetapkan di setiap negara merupakan hasil representasi kepentingan seluruh masyarakat.
Oleh karenanya, baik laki-laki dan perempuan dapat saling bekerjasama membangun kebaikan melalui upaya pemberdayaan perempuan baik di ranah privat maupun publik, khususnya bidang politik. Keduanya, baik laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk mengembangkan dirinya, keduanya adalah hamba Allah yang berhak menjadi khalifah untuk menebarkan manfaat seluas-luasnya. Politik yang sehat dan baik dapat dicipta baik oleh laki-laki dan perempuan. Masing-masing berhak menyampaikan aspirasinya dalam pengambilan keputusan sesuai dengan pengalaman biologis dan sosial masing-masing. Konsep islam sebagai rahmatan lil ‘ālamῑn dapat diwujudkan dengan kemaslahatan yang diterapkan dalam setiap persoalan termasuk dalam persoalan kepemimpinan dalam politik.
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha. Tafsῑr al-Manār (Juz 5). Mesir: Mathba’ah al-Manar, 1328 H.
International IDEA. Perempuan di Parlemen Bukan Sekedar Jumlah, terj. Akmal Syams. Jakarta: AMEEPRO, 2002.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002.
Mulia, Musdah. Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014.
Tim Kajian Rumah KitaB. Maqāshid Syarῑah Li An-Nisā’: Metode Pembacaan Teks sebagai Upaya Perlindungan terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan. Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama Indonesia, 2023.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif A-Qur’an. Makassar: CV. Creatif Lenggara, 2023.