Tafsir Al-Qur’an sering kali didominasi oleh perspektif laki-laki, baik dari kalangan sahabat Nabi hingga mufasir klasik dan modern. Namun, di tengah dominasi ini, terdapat satu tokoh perempuan yang memiliki peran besar dalam dunia tafsir, yakni Aisyah r.a istri Nabi Muhammad Saw. Selain dikenal sebagai perawi hadis, Aisyah r.a. juga aktif memberikan pemahaman tentang ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan relasi suami-istri. Keilmuannya yang mendalam menjadikannnya rujukan utama bagi sahabat dan generasi setelahnya.
Sebagai bagian dari generasi sahabat, tafsir Aisyah r.a seringkali kurang mendapat perhatian yang setara dengan tafsir sahabat laki-laki, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Apalagi tafsir sahabat dinilai sebagai tafsir tradisional dan cenderung patriarki. Salah satu tesis yang menyebutkan kesimpulan ini yaitu riset Mida Hardianti yang menggali makna bidadari dalam berbagai tafsir dan tafsir sabahat yang diriset adalah tafsir Ibnu Abbas dan Tafsir Ibnu Mas’ud (Hardianti, 2020).
Sebenarnya, riset tersebut merupakan upaya untuk menjelaskan model penafsiran yang meliputi tafsir tradisional, reaktif dan holistik. Dalam hal ini, karya tafsir awal Islam seperti tafsir sahabat adalah bagian dari tafsir tradisional. Namun, pembagian ini perlu digali lebih lanjut, mempertanyakan ulang kedudukan tafsir sahabat sebagai tafsir tradisional dan dicerna lebih mendalam. Karena ada satu sosok sahabat bahkan ummul mu’minin (istri Nabi Muhammad Saw) yang dalam kacamata kontemporer pun menjadi inspirasi pendobrak pandangan patriarki. Ia adalah Aisyah r.a.
Fatih Harpci menyebutkan bahwa Aisyah r.a merupakan sosok ulama Perempuan yang ideal di masanya. Idealitas Aisyah memiliki karakter yang kritis, penuh rasa ingin tahu, dan bersemangat untuk memperlajari apa saja, sehingga membuatnya cocok disebut sebagai prototype ulama perempuan. Sehingga harpci menyebutkan Aisyah memiliki kontribusi di berbagai disiplin ilmu, seperti hadis, tafsir, fikih, dan sastra. Harpci dalam hal ini juga menggunakan kacamata kontemporer dengan istilah women ulama, yang secara terma dan praktek benar-benar berpengaruh di Indonesia (Harpci, 2015).
Kemudian beberapa karya feminis Muslim, seperti yang ditulis oleh Fatima Mernissi dan Nawal El-Saadawi, lahir dari dorongan untuk meningkatkan kesadaran terhadap status perempuan dalam dunia Islam kontemporer. Dalam upaya tersebut, mereka mengambil inspirasi dari peran Aisyah r.a., yang menjadi panutan dalam Islam. Aisyah r.a. merupakan figur intelektual yang aktif dalam berbagai aspek kehidupan publik. Oleh karena itu, gagasannya menjadi landasan penting dalam menegaskan urgensi partisipasi perempuan dalam ranah sosial dan keagamaan (D.A Spellberg,1994).
Aisyah r.a. sebagai Mufassirah Pertama Aisyah r.a. tidak hanya menjadi saksi kehidupan Rasulullah Saw., tetapi juga menjadi sumber ilmu bagi para sahabat setelah wafatnya Nabi. Banyak riwayat menunjukkan bahwa Aisyah r.a memiliki pemahaman mendalam tentang Al-Qur’an dan sering kali memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat yang ditanyakan kepadanya. Salah satu kitab yang merekam penafsirannya adalah Marwiyyât Ummi al-Mu’minîn Âisyah fî at-Tafsîr (1992) karya Saud bin Abdillah al-Funaisan yang mengumpulkan berbagai riwayat tafsir dari Aisyah r.a. Pada kitab ini terkumpul bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an ditafsirkan oleh Aisyah, hanya beberapa surah saja dan tidak semua ayat pada surah ditafsirkan oleh Aisyah r.a.
Dengan begitu, pada tulisan ini hanya mengambil beberapa ayat saja untuk memahami penafsiran Aisyah r.a tentang relasi suami-istri. Ayat ini diambil berdasarkan yang sesuai dengan makna relasi suami-istri yakni ada tiga prinsip yaitu prinsip kesatuan jiwa, prinsip kedudukan suami-istri, dan prinsip hak dan kewajiban suami-istri. Sehingga untuk memahami itu ada pada QS. an-Nisa’/4: 3, QS. an-Nisa’ / 4: 34, QS. al-Hujurat/ 49: 13, QS. al-Baqarah/ 1: 187, QS. at-Taubah/ 9: 71, QS. al-Ashr/ 103: 3, QS. al-Maidah/ 5: 2, QS. ar-Rum/ 30: 21, QS. an-Nisa’/ 4: 19 yang berdasarkan penafsiran Aisyah r.a.
Dalam menganalisis tafsir Aisyah r.a., metode analisis wacana kritis dapat digunakan untuk memahami bagaimana teks, konteks sosial, dan praktik diskursif yang membentuk pemahamannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Norman Fairclough, salah satu pelopor analisis wacana kritis, menekankan bahwa bahasa dan tafsir tidak netral, tetapi selalu dipengaruhi oleh struktur sosial dan ideologi (N Fairclough, 1997). Dalam hal ini, penafsiran Aisyah r.a. terhadap ayat-ayat tentang perempuan dan relasi suami-istri dapat dilihat sebagai upaya mendekonstruksi dominasi patriarki dalam pemahaman agama.
Tafsir Feminis: Dalam Tinjauan Wacana Keislaman Kontemporer Tafsir feminis adalah pendekatan kontemporer dalam memahami Al-Qur’an dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mempertimbangkan kesetaraan gender dan peran perempuan dalam masyarakat (E Zulaikha, 2006). Pendekatan ini lahir dari kritik terhadap tafsir klasik yang dianggap bias patriarkal. Tokoh-tokoh seperti Amina Wadud, Fatimah Mernissi, dan Nasr Hamid Abu Zayd mengembangkan metode ini dengan analisis gender untuk merekonstruksi makna ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan.
Gerakan feminisme sendiri awalnya merupakan perjuangan politik untuk membebaskan perempuan dari ketidakadilan. Dalam konteks tafsir, pendekatan feminis muncul karena adanya kesadaran terhadap historisitas Al-Qur’an dan perlunya reinterpretasi agar lebih adil gender, serta realitas sosial yang patriarkal dan pengaruh pemikiran Barat yang mendorong reinterpretasi teks keagamaan.
Pendekatan tafsir terhadap relasi laki-laki dan perempuan terbagi menjadi dua, yaitu pendekatan patriarkal dan pendekatan feminis. Pendekatan patriarkal dilakukan mayoritas mufasir laki-laki dan seringkali tidak mewakili pengalaman perempuan, sedangkan pendekatan feminis bertujuan menentang dominasi patriarki dalam tafsir agama dan mengutamakan keadilan gender (E Zulaikha, 2006).
Kemudian Aksin Wijaya menyebutkan paradigma ini dengan tafsir gender. Tafsir gender yang dimaksud yaitu tafsir yang berupaya membaca ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan secara umum tanpa membatasi produk tafsir dan siapapun mufasirnya ( A Wijaya, 2020). Aksin Wijaya membagi tafsir gender menjadi dua tipe, yaitu normatif dan rasional. Tafsir normatif memahami Al-Qur’an secara tekstual dan umumnya dikreasikan oleh mufasir klasik yang masih hidup di tengah horizon patriarki. Sementara tafsir rasional berfokus pada maqashid syari’ah (tujuan syariat) demi kemaslahatan manusia, termasuk kesetaraan gender.
Perdebatan dalam tafsir feminis berkisar pada apakah teks Al-Qur’an bersifat patriarkal atau egaliter. Sarjana Al-Qur’an mengidentifikasi elemen-elemen dalam teks yang bisa mendukung keduanya. Tafsir feminis hadir sebagai upaya merekonstruksi pemahaman keagamaan agar lebih adil bagi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Penafsiran Aisyah r.a. tentang Relasi Suami-Istri dalam Al-Qur’an Beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan relasi suami-istri sering kali dipahami secara patriarkis. Namun, Aisyah r.a. menawarkan perspektif yang berbeda, lebih berorientasi pada kesalingan dan keadilan dalam rumah tangga.
Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga Dalam menafsirkan QS. An-Nisa’/4:34, Aisyah r.a. tidak mendukung pemukulan terhadap istri yang nusyuz (membangkang). Menurut beliau, Rasulullah Saw. tidak pernah memukul istri-istrinya, sehingga tidak seharusnya ayat ini digunakan untuk membenarkan kekerasan dalam rumah tangga (A Saud, 1992). Pendekatan ini memperlihatkan bagaimana Aisyah r.a. memahami teks Al-Qur’an dalam konteks kehidupan Nabi yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Dari perspektif analisis wacana kritis, tafsir Aisyah r.a. terhadap ayat ini berfungsi untuk melawan wacana dominan yang menjustifikasi kekerasan terhadap perempuan dalam pernikahan. Ia tidak hanya menafsirkan teks, tetapi juga menantang norma sosial yang berkembang di masyarakat Arab saat itu.
Kesetaraan dalam Pernikahan QS. Ar-Rum/30:21 yang berbicara tentang konsep sakinah, mawaddah, dan rahmah dalam pernikahan menjadi dasar bagi Aisyah r.a. dalam menafsirkan hubungan suami-istri. Menurutnya, pernikahan bukanlah hubungan yang didasarkan pada dominasi satu pihak terhadap pihak lain, melainkan hubungan yang setara dan saling melengkapi (A Saud, 1992). Hal ini dapat dipahami bahwa konsep kesalingan dalam pernikahan yang dikemukakan oleh Aisyah r.a. adalah respons terhadap struktur sosial yang sering kali menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Dengan demikian, tafsirnya mencerminkan pemahaman yang lebih egaliter dan inklusif.
Tafsir tentang Poligami dan Keadilan Aisyah r.a. menafsirkan QS. An-Nisa’/4:3 yang sering digunakan untuk membenarkan poligami. Dalam beberapa riwayat, Aisyah r.a. menekankan bahwa ayat ini bukanlah perintah poligami, melainkan sebuah batasan agar laki-laki berlaku adil. Jika tidak mampu berbuat adil, maka lebih baik menikah dengan satu istri saja (A Saud, 1992). Perspektif ini menunjukkan keberpihakan Aisyah r.a. terhadap hak-hak perempuan dalam pernikahan. Penafsiran ini sebagai bentuk perlawanan terhadap pemaknaan dominan yang menganggap poligami sebagai hak prerogatif laki-laki. Dengan menekankan aspek keadilan, Aisyah r.a. memberikan interpretasi yang lebih berpihak pada kesejahteraan perempuan.
Feminis Versi Aisyah r.a: Merekonsiderasi, Memfasilitasi, Mendukung Progresifitas Perempuan
Meskipun ada tesis yang menyebut tafsir sahabat sebagai kategori tafsir tradisional yang cenderung bernuansa patriarki, namun penafsiran Aisyah r.a. tidak masuk pada kategori ini. Ditambah lagi, tafsir sahabat tidak bisa digeneralisir sebagai tafsir yang mengandung nuansa patriarki. Sebab, era Nabi dan sahabat memiliki konteks dan tantangan yang berbeda dengan zaman modern dalam merespons perempuan yang lebih kompleks meliputi terma, ideologi hingga pergerakan. Meskipun demikian, Al-Qur’an jelas memiliki perhatian khusus terhadap perempuan.
Terkait tafsir corak rasional, Aisyah r.a juga belum bisa disebut sebagai mufasirah rasional dalam arti modern. Sebab Aisyah r.a tetap merekonsiderasi penafsiran Al-Qur’an melalui ucapan atau tindakan Nabi Muhammad Saw. Dalam diskursus tafsir rasional modern, Aksin Wijaya menilai bahwa perlu melalui proses penalaran filosofis-dekonstruktif atas term Al-Qur’an, Wahyu Tuhan dan Mushaf Usmani (A Wijaya, 2020). Tentu ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Aisyah r.a. Tetapi, ada semangat yang sama jika melihat pada tujuan Wahyu Tuhan yakni berorientasi kemaslahatan manusia.
Oleh Syatibi, kemaslahatan manusia bisa disebut juga dengan maqashid syari’ah (A Wijaya, 2020). Jika ditarik pada relasi laki-laki dan perempuan, maksud dari kemaslahatan manusia di sini adalah laki-laki dan perempuan harus diletakkan secara sama dalam berbagai bidang apapun. Kondisi realitas dan sosial budaya masyarakat muslim telah mengalami perubahan, relasi laki-laki dan perempuan sudah mulai memberikan tanda harmonis dan emansipatoris.
Nampaknya dari beberapa kategori nalar tafsir feminis belum bisa menunjukkan Aisyah r.a berada diposisi tersebut. Sebab, Aisyah r.a memiliki cara kerja sendiri dalam melakukan penafsiran. Sedangkan, apa yang dilakukan Aisyah r.a ini merupakan penerapan dari usulun nidhâm al-ijtimâîy wal usrîy (landasan sistem tata kelola masyarakat dan keluarga).
Sistem keluarga merupakan miniatur terkecil dari masyarakat, yang tersusun adanya relasi suami istri. Kemudian keluarga merupakan bagian realitas alam yang diciptakan oleh Allah Swt. Sebab, semua makhluk diciptakan untuk berpasang-pasangan. Dan apa yang dilakukan Aisyah r.a merupakan bagian dari mengangkat derajat yang lemah atau mustad’afin. Namun, untuk mengangkat derajat masyarakat, harus dimulai dari miniatur yang terkecil, yakni keluarga.
Referensi
Fatih Harpci, “’Ā’isha, Mother of the Faithful: The Prototype of Muslim Women Ulama,” dalam Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 2015, Vol. 53 No. 01, hal. 159-179.
Mida Hardianti, “Geneologi dan Model Penafsiran Bidadari dalam Al-Qur’an”, Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2020, hal. 49.
Spellberg ,D.A, Politics, Gender, and The Islamic Past: The Legacy of Aisha bint Abi Bakr, New York: Columbia University Press, 1994.
Saud, bin Abdullah al-Funaisan. Marwiyyat Ummu al-Mukminin Aisyah fi Tafsir. Riyadh: Maktabah at-Taubah, 1992
Fairclough, Norman dan Ruth Wodak. Discourse as Social Interaction. London: Sage Publication, 1997.
Eni Zulaiha, “Tafsir Feminis: Sejarah, Paradigma dan Standar Validitas Tafsir Feminis”, Jurnal Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hadis, 2006
Aksin Wijaya, Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas Nalar Tafsir Gender, Yogyakarta: IRCiSoD, 2020