Haji dan Nasionalisme: Sebuah Gagasan Oleh Kira-kira PTIQ

Haji sudah sedemikian mendarah daging dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Masyarakat Muslim menganggapnya sebagai pencapaian tingkat religius tertinggi karena ada pengorbanan dana, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit yang tidak sama dengan ritual-ritual lainnya. Tanpa haji, masyarakat Muslim merasakan ada ruang kosong dalam kehidupan religiusnya.

Karena adanya penghargaan yang tinggi kepada religiusitas oleh masyarakat, maka tidak mengherankan jika jamaah haji juga mendapatkan penghargaan yang tidak biasa. Keramaian persiapan, pengantaran, prosesi, hingga penyambutan jamaah haji hanya kalah oleh upacara pernikahan. Konsekuensinya, ada prestise tersendiri bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji.

Bacaan Lainnya

Selain haji, nasionalisme umat Islam juga telah mendarah daging sedemikian rupa sehingga berislam dan berindonesia adalah dua hal yang ikatannya sangat erat. Islam di Indonesia unik jika dibandingkan Islam di belahan bumi lainnya, bahkan berbeda dengan Islam di negeri asalnya Islam itu sendiri.

Pada titik haji yang mendarah daging, Islam Indonesia yang khas, dan nasionalisme yang berkelindan erat dengan keislaman inilah tulisan ini hendak berpijak. Tujuannya adalah merumuskan sebuah nasionalisme berbasis haji atau haji untuk nasionalisme.

Haji Sebagai Ritual: Menyatunya Dua Kudus

Menurut Mircea Eliade, dunia adalah merupakan hasil intervensi yang kudus yang membuat segala hal menjadi eksis dan tampak. Karena itu, segala yang tampak hanyalah hierofani atau perwujudan dari yang sakral itu sendiri. Karena itu pula, homogenitas adalah mustahil. Nonhomogenitas lah yang pasti. Pada homogenitas, tidak ada titik referensi, tidak ada titik pusat, tidak ada orientasi. Sebaliknya pada nonhomogenitas, ada titik referensi, ada titik pusat, dan ada orientasi. (Mircea Eliade, 1987: 20-21)

Islam secara ortodoks mengakui dan mengandaikan ada dua bagian dari seluruh dunia, yang diketahui dan yang tidak dapat diketahui. Yang diketahui berarti segala yang profan dan yang tidak diketahui adalah segala yang kudus. Kudus berarti terlindung dari pelanggaran, pengacauan, dan pencemaran. Karena itu, yang kudus dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai (Marisasusai Dhavamony, 1995: 87).

Konsekuensi nonhomogenitas adalah adanya pusat dunia. Dunia sebagai hierofani tidaklah seragam. Ketidakseragaman itu, oleh Eliade dicontohkan Palestina sebagai halaman atau ruang yang lebih rendah, Yerusalem sebagai ruang suci, dan Kuil sebagai ruang yang paling suci. Setara dengan itu adalah Saudi Arabia, Makkah, dan Kakbah.

Selain ruang kudus, ada juga waktu kudus yaitu waktu lampau yang dikuduskan oleh Sang Ilahi yang lalu dihadirkan kembali lewat perayaan-perayaan atau ritual. Konsekuensinya, waktu tersebut menjadi tidak sama dengan waktu-waktu lain karena berdimensi ahistoris dan karena memang ada kehendak untuk mencerap keabadian Setara dengan itu, adalah bulan-bulan haji, terutama waktu wuquf di Arafah.

Haji mengumpulkan dua kudus dalam satu ikatan, yaitu ruang kudus dan waktu kudus. Ramadhan adalah waktu kudus, tetapi tidak terikat ruang sehingga tidak ada spesialisasi ruang tertentu padanya. Masjid di manapun adalah ruang kudus tetapi masjid selain tiga masjid utama (di Makkah, Madinah, dan Yerusalem) hanyalah tiruan, bukan ruang kudus yang sesungguhnya.

Pada ritual haji, kekudusan memuncak karena waktu kudus terjadi di ruang kudus, yaitu bulan-bulan kudus masa pelaksanaan ritual haji dilaksanakan di ruang-ruang kudus, yaitu Al-Masjid Al-Haram. Puncak kudus ini tidak akan pernah terjadi di ruang-ruang lain.

Kata dalam bahasa Inggris yang sering dikaitkan dengan haji adalah pilgrimage. Namun, menurut Gerald Hawting, pilgrimage berbeda karena lebih fokus kepada perjalanan menuju ruang kudus. Adapun haji lebih fokus kepada ritual yang dilaksanakan setelah sampai di ruang kudus. Meski demikian, ihrâm yang adalah dilakukan sebelum sampai ruang kudus dan sebelum melakukan aktivitas haji, justru berarti kudus.

Barangkali kata kudus bisa dilekatkan dengan bahasa Al-Qur`an harâm atau haram. Dalam hal haji, untuk membuktikan keterkaitan antara ruang dan waktu kudus, kata-kata Al-Masjid Al-Harâm (QS. Al-Baqarah/2:144), Al-Masy’ar Al-Harâm (QS. Al-Baqarah/2:198), dan Al-Asyhur Al-Hurum (QS. At-Taubah/9:36) bisa menjadi gambaran.

Haji untuk Nasionalisme: Sebuah Ikhtiar Berbangsa

Menurut catatan Carool Kersten, ditemukannya kapal uap, terbukanya Terusan Suez, dan kemajuan teknologi percetakan membuat kontak antara populasi umat Islam Indonesia dengan umat Islam sedunia menjadi lebih sering dan intensif. Kenyataan tersebut menyadarkan umat Islam Indonesia bahwa mereka adalah anggota umat Islam sedunia sekaligus menyadari bahwa betapa mereka berbeda dalam hal bahasa, budaya, dan suku bangsa. Kesadaran kedua itu diterjemahkan menjadi rasa kebangsaan, khususnya kebangsaan Islam dan belakangan disebut nasionalisme religius.

Sebelum fenomena itu, telah ada fenomena Reformasi Makkah, sebuah era yang menandai kebangkitan Islam Indonesia yang diisi tokoh-tokoh oleh Nawawi Al-Bantani (1813-1897/8) dan Ahmad bin Zaini Dahlan (1816-1886). Lalu ada Era baru Reformasi Makkah adalah dimulai oleh Ahmad Khatib (1860-1915/16). Sederhananya, mereka adalah yang belakangan membentuk apa yang disebut Islam Indonesia.

Ahmad Khatib secara khusus telah berkembang lebih modern karena telah besentuhan dengan karya Muhammad Abduh. Yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa Makkah memiliki peran sangat penting bagi Islam Indonesia sebelum belakangan muncul Reformasi Kairo yang juga sangat penting.
Makkah dan Indonesia adalah dua entitas yang seling memengaruhi dengan porsi sangat besar.

Besarnya pengaruh Makkah bagi Islam Indonesia juga berarti besarnya pengaruh Indonesia bagi Makkah dan Islam secara keseluruhan karena bukah hanya jumlah orang Indonesia yang banyak di Makkah, tetap bahkan sejak tahun 1860, menurut Martin van Bruinessen, bahasa Melayu adalah bahasa kedua di Makkah.

Posisi penting Makkah bagi orang Indonesia tidak hanya karena secara umum orang beragama mengakui adanya dua ruang kudus dan waktu kudus sebagaimana kata Mircea Eliade, tetapi menurut van Bruinessen, kosmologi Asia Tenggara memandang adanya pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dengan alam supranatural, seperti kuburan para leluhur dan para wali yang dipahami sebagai tempat mencari ilmu. Bahkan bisa menjadi tempat untuk mendapatkan sokongan supranatural yang berdampak bagi legitimasi politik. Makkah sangat memenuhi syarat untuk kategori itu bagi umat Islam.

Jauh sebelum era Reformasi Makkah yang disebutkan oleh Carool Kersten pada tahun 1800-an, pada abad ke-17 telah ada Syaikh Yusuf Al-Makassari yang berangkat haji tahun 1644 dan baru kembali ke Indonesia tahun 1670. Sepulangnya, Syaikh Yusuf menjadi ulama besar dan penasihat Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Abd Al-Rauf Singkel (1615-1693) juga pernah lama di Makkah dan Madinah. Terlihat bahwa fungsi Makkah dan Madinah bukan hanya sosiologis, tetapi juga intelektual dan spiritual yang sangat kuat.

Haji era millenium ketiga agak berbeda. Pengaruh kapitalisme membuat haji bukan lagi penegasan identitas keagamaan, apalagi peneguhan intelektual dan pencerahan spiritual, tetapi lebih didominasi oleh identitas kelas. Moeslim Abdurrahman bahkan menyebut haji bukan lagi ibadah egalitarian melainkan ibadah yang memecah belah masyarkaat kepada kelas-kelas elit dan biasa.

Perlukah haji dikembalikan menjadi sarana pendewasaan intelektual dan spiritual, serta peneguhan posisi sosial berdasarkan pada kewibawaan Makkah dan Madinah? Perlu, tetapi tidak lagi bisa persis seperti dahulu karena pertimbangan kondisi yang jauh berbeda. Yang paling penting adalah menjadikan Makkah dan Madinah kembali sebagai pusat intelektual jangan sampai malah melunturkan nasionalisme. Barangkali Universitas PTIQ Jakarta bisa memulainya dengan camp mahasiswa dan dosen semua strata selama tiga bulan lalu masing-masing pulang membawa buku karya sendiri.[]

Bahan Bacaan

Abdurrahman, Moeslim, “Ritual yang Terbelah: Perjalanan Haji dalam Era Kapitalisme Indonesia”, dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1998
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Yogyakarta: Gading Publishing, 2015
Dhavamony, Marisasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Eliade, Mircea, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, New York: A Harvest Book, 1987
Hawting, Gerald, “Pilgrimage”, dalam Jane MacAullife (ed.), Encyclopaedia of the Qur`an, London: Brill, 2001
Kersten, Carool, Mengislamkan Indonesia: Sejarah Peradabanj Islam di Nusantara, Tangerang Selatan: Baca, 2018

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *