Al-Qur’an dan Bioetika

Di persimpangan kemajuan sains modern dan khazanah kearifan tradisional, bioetika dan bioteknologi menjadi medan kontemplasi yang menuntut pemikiran mendalam. Keduanya, sebagai cabang ilmu yang saling berkelindan, menghadirkan tantangan epistemologis sekaligus membuka gerbang baru bagi peradaban manusia. Kitab suci Al-Quran, sebagai sumber pedoman hidup umat Islam, tidak pernah secara eksplisit menyebutkan istilah “bioetika” atau “bioteknologi”. Namun demikian, lembaran-lembaran sucinya menyimpan prinsip-prinsip fundamental yang dapat dijadikan landasan dalam menghadapi dilema moral yang muncul dari kemajuan bioteknologi kontemporer.

Prinsip Dasar Bioetika dalam Al-Quran

Bacaan Lainnya

Bioetika, sebagai disiplin yang menelaah aspek moral dalam ilmu biologi dan kedokteran, menemukan resonansinya dalam konsep maqāṣid al-sharī’ah (tujuan-tujuan syariat) yang mencakup perlindungan terhadap lima hal esensial: agama (dīn), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Sebagaimana ditegaskan oleh Yusuf Al-Qaradawi dalam karyanya “Fiqh al-Awlawiyyat” (Fikih Prioritas), kelima aspek ini membentuk kerangka etis yang komprehensif dalam menghadapi berbagai persoalan bioetika (Qaradawi, 1995).

Al-Quran mengukuhkan penghormatan terhadap kehidupan manusia sebagai prinsip yang tak tergoyahkan. Dalam Surah Al-Maidah ayat 32, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

Ayat ini merefleksikan nilai universal tentang kesucian hidup manusia yang menjadi dasar berbagai pertimbangan bioetis. Sachedina Abdul Aziz dalam bukunya “Islamic Biomedical Ethics: Principles and Application” menekankan bahwa ayat ini menjadi landasan penting dalam memformulasikan etika biomedis Islam yang memandang setiap manusia sebagai entitas yang memiliki kemuliaan intrinsik (karamah) (Aziz, 2009).

Konsep kemuliaan intrinsik manusia yang ditegaskan dalam ayat tersebut menjadi pijakan utama dalam merespons berbagai perkembangan bioteknologi seperti sekarang ini, dengan berbagai manifestasinya seperti rekayasa genetika, kloning, dan teknologi reproduksi berbantuan dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan etis yang tentu membutuhkan panduan normatif. Meskipun Al-Quran tidak secara spesifik mengatur teknik-teknik bioteknologi modern, prinsip-prinsip umumnya dapat diaplikasikan melalui pendekatan ijtihad (penalaran intelektual) dan qiyas (analogi).

Al-Quran mengajak umat manusia untuk merenungkan keajaiban penciptaan. Dalam Surah Ar-Rum ayat 20, Allah SWT berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.” Ayat ini, menurut Mohammed Ghaly dalam “Islamic Bioethics in the Twenty-First Century“, membuka ruang bagi manusia untuk mengeksplorasi rahasia penciptaan sambil tetap mempertahankan sikap takjub dan penghormatan terhadap keagungan pencipta (Ghaly, 2019).

Dalam konteks rekayasa genetika, Al-Quran menyinggung tentang perubahan ciptaan Allah yang ditafsirkan berbeda-beda oleh para ulama. Dalam Surah An-Nisa ayat 119, disebutkan tentang orang-orang yang “mengubah ciptaan Allah” (falayughayyirunna khalqa Allah). Ebrahim Moosa (2007) dalam “Muslim Ethics and Biotechnology” menegaskan bahwa ayat ini tidak serta-merta melarang semua bentuk modifikasi genetik, tetapi lebih menitikberatkan pada perubahan yang melanggar fitrah atau sifat alamiah yang ditetapkan Allah.

Dialektika Kemajuan dan Batasan Moral

Dunia bioetika dan bioteknologi merupakan sebuah manifestasi dimana kemajuan ilmiah bertemu dengan pertimbangan moral. Dalam menyikapi kemajuan tersebut, Al-Quran memberikan kerangka etis yang fleksibel namun kokoh. Konsep maslahah (kebaikan umum) dan la dharar wa la dhirar (tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain) menjadi pilar penting dalam membangun bioetika Islam.

Hathout (2008) dalam “Bioethics: An Islamic Perspective” menekankan bahwa Al-Quran memposisikan manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi yang diberikan amanah untuk mengelola alam semesta dengan kebijaksanaan. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, Allah SWT berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Hathout, 2008).

Posisi ini memberikan manusia hak untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan alam, termasuk melalui bioteknologi, namun dengan tanggung jawab moral yang besar. Seperti dikatakan oleh pemikir Muslim kontemporer, Seyyed Hossein Nasr, “Manusia modern telah memperoleh kekuatan untuk mengubah alam, tetapi telah kehilangan pengetahuan tentang mengapa dan untuk apa tujuan perubahan itu” (Nasr, 2001).

Dalam konteks ini, prinsip keseimbangan antara maslahat dan mafsadat menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan etis. Hal ini tercermin dalam fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami (Badan Fiqih Islam yang berada di bawah Organisasi Rabithah Alam Islami), yang membedakan antara kloning reproduktif dan terapeutik (pengobatan), menunjukkan bahwa Islam tidak serta-merta menolak kemajuan ilmiah, tetapi mengarahkannya agar tetap sejalan dengan nilai-nilai moral dan perlindungan terhadap martabat manusia.

Begitu juga dengan rekayasa genetika, Al-Quran sudah menekankan konsep keseimbangan (mizan) dalam penciptaan. Dalam Surah Al-Infitar ayat 7-8, Allah SWT berfirman: “Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” Dalam hal ini, Sachedina (2011) dalam “Islamic Perspectives on Cloning” berpendapat bahwa terapi gen yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit genetik dapat dibenarkan atas dasar prinsip “memelihara kehidupan” (hifz al-nafs) dan “menghilangkan kesulitan” (raf’ al-haraj). Namun, modifikasi genetik untuk tujuan peningkatan non-terapeutik, seperti meningkatkan intelegensi atau mengubah sifat-sifat fisik, masih menjadi perdebatan karena berpotensi melanggar prinsip keseimbangan ilahi.

Menakar Jalan Tengah

Dalam menghadapi perkembangan bioetika dan bioteknologi yang pesat, Al-Quran memberikan landasan etika yang memungkinkan umat Islam untuk merespons secara konstruktif tanpa kehilangan integritas spiritual. Kerangka etis Al-Quran menekankan keseimbangan antara kemajuan ilmiah dan pertimbangan moral, antara pemanfaatan pengetahuan untuk kesejahteraan manusia dan penghormatan terhadap batasan-batasan yang ditetapkan oleh Pencipta. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tariq Ramadan (2010), “Bioetika Islam bukanlah tentang melarang atau mengizinkan begitu saja, tetapi tentang menetapkan prinsip-prinsip yang memungkinkan kita untuk menavigasi wilayah kompleks ini dengan integritas dan kebijaksanaan.”

Dalam perjalanan menuju sintesis harmonis antara bioetika dan bioteknologi dalam perspektif Al-Quran, kita diingatkan akan pesan fundamental dalam Surah Al-Baqarah ayat 269: “Allah menganugerahkan hikmah (kebijaksanaan) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”

Hikmah inilah yang menjadi kompas dalam mengeksplorasi tentang bioetika dan bioteknologi, menawarkan jalan tengah yang mengakomodasi kemajuan ilmiah sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip moral yang mengakar dalam tradisi Al-Quran.

Referensi

Al-Qaradawi, Y. (1995). Fiqh al-Awlawiyyat (Fikih Prioritas). Cairo: Al-Maktab al-Islami.
Ghaly, M. (2019). Islamic Bioethics in the Twenty-First Century. Leiden: Brill.
Hathout, H. (2008). Bioethics: An Islamic Perspective. London: Islamic Foundation.
Moosa, E. (2007). Muslim Ethics and Biotechnology. Oxford: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2001). Science and Civilization in Islam. Harvard: Harvard University Press.
Ramadan, T. (2010). The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism. London: Penguin Books.
Sachedina, A. (2009). Islamic Biomedical Ethics: Principles and Application. Oxford: Oxford University Press.
Sachedina, A. (2011). Islamic Perspectives on Cloning. Washington: Georgetown University Press.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *