Definisi Hadis Sahih

wallpaperaccess.com

Pengertian hadis secara umum adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw baik dari ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat. Walaupun banyak ulama dalam menggunakan istilah hadis berbeda-beda penjabarannya, namun dari penjelasan ulama yang berbeda-beda tersebut dapat dipahami maknanya secara umum sebagaimana pengertian hadis di atas. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis menyampaikan makna hadis sebagaimana umumnya dipahami.[1]

Sahih menurut bahasa adalah lawan kata dari saqîm (sakit) yang artinya sehat. Arti sahih ini menjadi makna sebenarnya jika untuk badan dan menjadi makna majâz untuk hadis dan yang lainnya.[2]

Menurut istilah, hadis sahih adalah hadis musnad yang sanadnya bersambung dengan periwayatan perawi yang adil (‘adl) dan dhâbit yang berasal dari perawi yang adil dan dhâbit sampai akhir sanad tanpa adanya kejanggalan (syudzûdz) dan cacat (‘illat).

Hadis âhâd dilihat dari kuat-lemahnya terbagi menjadi dua:

  1. Hadis maqbûl (diterima), yaitu hadis yang informannya terbukti jujur. Hukumnya: wajib berhujjah dan mengamalkannya.
  2. Hadis mardûd (ditolak), yaitu hadis yang informannya terbukti tidak jujur. Hukumnya: tidak boleh berhujjah dengannya dan tidak wajib mengamalkannya.[3]

Hadis maqbûl secara global terbagi lagi menjadi hadis sahih dan hasan. Dalam artikel ini penulis hanya akan membahas seputar hadis sahih dan permasalahannya saja.

Para ahli hadis awal sampai abad ketiga hijriah tidak secara eksplisit mendefinisikan hadis-hadis yang dapat dianggap sahih. Mereka hanya menetapkan kriteria-kriteria informasi yang diperoleh, misalnya: (1) periwayatan hadis tidak dapat diterima, kecuali kalau diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (terpercaya); (2) riwayat orang-orang yang sering berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan adalah tertolak; (3) kita harus memperhatikan tingkah laku personal dan ibadah orang-orang yang meriwayatkan hadis; (4) apabila mereka terbiasa berkelakuan tidak terpuji dan tidak melakukan shalat secara teratur, maka riwayatnya harus ditolak; (5) riwayat orang-orang yang tidak dikenal piawai dalam ilmu-ilmu hadis tidak dapat diterima; dan (6) riwayat orang-orang yang kesaksiannya ditolak, maka riwayatnya pun tidak diterima (lâ tuhadditsû ‘amman lâ tuqbalu syahâdatuhu).[4]

Kriteria-kriteria ini berhubungan dengan kualitas dan karakter perawi yang menentukan diterima dan ditolaknya riwayat mereka. Namun demikian, kriteria ini belum mencakup secara keseluruhan syarat sanad autentik yang ditetapkan kemudian, apalagi kriteria mengenai kesahihan matn. Kriteria ini hanya berdasar pada penyandaran terhadap isnâd. Bagi sebagaian sarjana, tidak ada bukti yang pasti apakah para ahli hadis pertama dan kedua benar-benar mengadopsi kriteria tersebut, belum lagi kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh ushûl al-hadîts klasik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian kritis terhadap riwayat-riwayat mereka.[5]

al-Syâfi’î menyatakan bahwa syarat minimum yang dibutuhkan untuk menjadikan sebuah informasi sebagai hujjah adalah informasi dari seorang yang berasal dari Nabi atau seseorang di bawah Nabi (sahabat). Dengan kata lain, sebuah hadis hanya dianggap autentik apabila memiliki isnâd yang dapat ditelusuri lewat jalur yang tidak terputus sampai kepada Nabi. Akan tetapi terhadap sejumlah persyaratan untuk validitas seorang perawi. al-Syâfi’î telah menjelaskan kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang perawi hadis, yaitu: (1) harus terpercaya dalam agamanya; (2) harus dikenal selalu benar dalam penyampaian berita; (3) harus memahami isi berita; (4) harus menyampaikan laporan secara verbatim (lafzhiy) sesuai dengan yang ia dengar, dan tidak menyampaikan dengan kalimatnya sendiri; (5) harus memiliki daya ingat yang tinggi apabila ia menyampaikan atau menerimanya lewat hafalan dan harus menjaga catatannya apabila ia menyampaikan/menerimanya dari catatan atau kitabnya; (6) riwayatnya harus sesuai dengan riwayat mereka yang dikenal memiliki tingkat akurasi hafalan yang tinggi, apabila mereka juga turut meriwayatkan hadis yang sama, laporannya tidak berbeda dari laporan-laporan orang-orang tsiqah; dan (7) tidak membuat laporan atau riwayat atas nama mereka yang pernah ia temui, tetapi tidak pernah belajar darinya. Syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh seluruh perawi mulai dari generasi pertama sampai terakhir.[6]

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria kesahihan hadis yang ditetapkan al-Syâfi’î berintikan tiga hal: [1] diriwayatkan oleh orang yang adil (‘adl) dan kuat ingatannya (dhâbit); [2] memiliki kebersambungan sanad; [3] materi hadis tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang dikenal terpercaya (tsiqah).[7]

Kriteria atau syarat yang dikemukakan oleh al-Syâfi’î di atas disempurnakan oleh Ibn al-Shalâh sebagai berikut: [1] sanad hadis harus bersambung sampai Nabi Muhammad; [2] diriwayatkan oleh para periwayat yang adil; [3] diriwayatkan oleh para periwayat yang dhâbit; [4] tidak mengandung kejanggalan (syudzûdz); [5] tidak mengandung cacat (‘illat).[8] Kriteria kesahihan hadis menurut Ibn al-Shalâh inilah yang kemudian banyak dipilih oleh jumhûr al-muhadditsîn (mayoritas ahli hadis).[9]

[1] Miftahul Asror dan Imam Musbikin, Membedah Hadis Nabi, Madiun: Jaya Star Nine, cet. I, 2015, h. 59.

[2] Mahmûd al-Thahhân, Taysîr Mushthalah al-Hadîts, Alexandria: Markaz al-Hudâ li al-Diraâsât, 1405 H, h. 30.

[3] Mahmûd al-Thahhân, al-Manhaj al-Hadîts fî Mushthalah al-Hadîts, Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 2004, cet. I, h. 22 dan Mahmûd al-Thahhân, Taysîr Mushthalah al-Hadîts, h. 29.

[4] al-Râzî, Kitâb al-Jarh wa al-Ta’dîl, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, cet. I, 1952, Vol. 2, h. 27-30 dalam Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis, Bandung, Hikmah, cet. I, 2009, h. 16.

[5] Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 16-17.

[6] al-Syâfi’î, al-Risâlah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th, h. 369-370; Ar-Râzî, Kitâb al-Jarh wa al-Ta’dîl, Vol. 2, h. 29-30; dan al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Kifâyah fî Ma’rifat Ushûl ‘Ilm al-Riwâyah, Mît Ghamr: Dâr al-Hudâ, 2002, Vol. I, h. 102 dalam Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 17-18.

[7] Umma Farida, “Pemaknaan Kriteria Kesahihan Hadis Muhammad Nâshir al-Dîn al-Albânî dan Implementasinya Dalam Penilaian Hadis,” dalam Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 6, No. 1, 2016, h. 57-58.

[8] Ibn al-Shalâh, ‘Ulûm al-Hadîts, Dimasyq: Dâr al-Fikr, 1986, h. 11-12.

[9] Di antaranya adalah al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawawî, Riyâdh: Dâr al-‘Âshimah, cet. I, 2003, h. 79-80 dan Syarh Alfiyyah al-Suyûthî fî al-Hadîts, al-Madînah al-Munawwarah: Maktabah al-Ghurabâ’ al-Atsariyyah, Vol. I, cet. I, 1993, h. 17; al-Qâsimî, Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn al-Mushthalah al-Hadîts, t,tp, Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, cet. II, 1961, h. 79; Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, Riyâdh: al-Riâsah al-‘Âmmah li Idârah al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ, cet. II, 1984, h. 25; al-Nawawî, Muqaddimah al-Nawawî fî ‘Ulûm al-Hadîts, Beirut: al-Maktab al-Islâmî, cet. I, 1996, h. 24; al-‘Irâqî dalam Syarh Alfiyyah al-‘Irâqî, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th., h. 12-13.

Editor: DM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *