Materi Ulumul Qur’an #2: Interaksi Manusia dengan Al-Qur’an

Menurut M. Quraish Shihab (selanjutnya disebut Shihab), antara manusia (umat Islam, penafsir) dengan Al-Qur’an terjadi interaksi timbal-balik, bukan interaksi satu arah. Interaksi tersebut terjadi intensif dan tidak hanya sekali. Dengan kondisi tertentu di dalam masyarakat yang dituju, maka Al-Qur’an juga turun dengan redaksi tertentu. Lalu, dengan redaksi tertentu, masyarakat merespon ayat yang turun dengan cara mereka sendiri. Demikianlah terjadi secara interaktif dan timbal balik.

Interaksi sebagaimana disebutkan di atas berlangsung sejak pertama kali turunnya Al-Qur’an. Tentu saja Al-Qur’an turun dengan membawa ajakan, pesan, ajaran, atau maksud spesifik. Shihab menyebutnya ajakan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Interaksi tersebut dibuktikan dengan turunnya Al-Qur’an secara bertahap selama kurang lebih 22 tahun. Turunnya Al-Qur’an secara interaktif dan juga bertahap seperti hendak mengajak manusia untuk secara perlahan namun pasti mengikuti ajaran yang datang. 

Bacaan Lainnya

Turunnya Al-Qur’an secara bertahap bisa bermakna Al-Qur’an tidak ingin terjadi keterkejutan atau shock pada penerima pesan akibat yang turun adalah seperangkat ajaran yang sudah jadi. Keterkejutan tersebut bisa diumpamakan dengan pengisian botol dengan air seember yang ditumpahkan secara bersamaan dalam satu waktu. Seember air telah tumpah tetapi tidak banyak yang bisa masuk ke dalam botol atau tidak banyak pesan yang bisa diterima dan dipahami, apalagi diamalkan.

Sedangkan turunnya Al-Qur’an secara interaktif bisa bermakna Al-Qur’an memerhatikan kenyataan objektif manusiawi dengan segala adat, kebiasan, dan tradisi yang telah ada. Semua itu tidak bisa tiba-tiba berubah karena sudah mengakar begitu lama. Pemaksaan yang tiba-tiba dalam satu waktu hanya akan menimbulkan penolakan hingga ajakan malah sama sekali tidak bisa diterima dengan baik.

Demikianlah cara Al-Qur’an turun. Namun bagaimana cara manusia merespon Al-Qur’an? Tentu saja juga secara interaktif dan bertahap, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada dan juga kemampuan manusia. Shihab menyebutkan bahwa dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, manusia harus ikhlas, jernih dalam motivasi, dan tulus dalam niat. Tujuannya adalah tumbuh kesungguhan dalam mempelajarinya.

Tampak dalam pandangan Shihab tentang cara respon manusia terhadap Al-Qur’an di atas adalah cara yang khas Muslim dan tentu saja tidak selalu demikian dengan non-Muslim karena mereka tidak beriman kepada Al-Qur’an.

Pandangan Shihab di atas bisa dipahami dan dimaklumi karena memang bagi seorang Muslim, Al-Qur’an adalah Kitab Suci. Karena itu, diperlukan keikhlasan, kejernihan, dan ketulusan dalam interaksi dengan Kitab Suci. Hanya setelah semua kesucian itu bertemu, maka akan hadir inspirasi yang juga suci dari Al-Qur’an. Lalu lahirlah pemahaman (penafsiran) yang lebih baik.  

Pertanyaan yang layak diajukan kepada Shihab selanjutnya adalah apakah karena ada interaksi, maka antara manusia dan Al-Qur’an saling memengaruhi? Lebih jelasnya pertanyaan itu adalah apakah kenyataan manusiawi memengaruhi teks Al-Qur’an dan sebaliknya apakah teks Al-Qur’an memengaruhi keyataan manusiawi. 

Untuk pertanyaan kedua, jelas jawabannya adalah bahwa teks Al-Qur’an memengaruhi kenyataan manusiawi. Saat ini, bukti untuk itu sangat banyak. Misalnya, segala peradaban Islam yang tampak saat ini seperti bangunan, sistem, tatanan ilmu pengetahuan, dan adat adalah pengaruh teks Al-Qur’an terhadap kenyataan manusiawi. 

Lalu untuk pertanyaan pertama, jawabannya masih banyak diperdebatkan. Namun jawaban mereka yang mengatakan bahwa kenyataan manusiawi memengaruhi teks Al-Qur’an dibutkikan misalnya, karena kenyataan manusiawi masyarakat Arab sudah sangat mengakar dalam kebiasaan minum khamar, maka teks Al-Qur’an tidak langsung mengharamkannya. Diperlukan beberapa ayat dahulu yang mendahului ayat yang akhirnya menetapkan keharaman minum khamar.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah interaksi tersebut masih berlangsung hingga saat ini sedangkan Al-Qur’an tidak lagi turun? Interaksi dalam bentuk kedua, yaitu perubahan teks Al-Qur’an atau penyesuaian teks ayat Al-Qur’an untuk kenyataan sosial tidak lagi mungkin terjadi karena Al-Qur’an sudah tidak turun lagi dan teks Al-Qur’an tidak akan lagi ada perubahan. Yang mugkin dan harus masih terjadi adalah interaksi kenyataan sosial dengan penafsiran Al-Qur’an. 

Antara kenyataan sosial dengan penafsiran Al-Qur’an harus tetap terjadi interaksi karena hanya dengan itu, penafsiran bisa terus-menerus berkembang dan kenyataan manusiawi juga terus diusahakan untuk tetap mengikuti ajakan Al-Qur’an untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, sebagaimana inti ajaran Al-Qur’an yang disebutkan oleh Shihab di awal.[]

Bahan Bacaan

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2019.

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *